MAKALAH SEJARAH INDONESIA KELAS 11 : PERANG MELAWAN KOLONIALISME

BAB I
PENDAHULUAN
       A.    Latar Belakang
Pentingnya pembahasan topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana penderitaan bangsa Indonesia ketika di jajah oleh bangsa-bangs Eropa, sehingga terjadi perlawanan-perlawanan di berbagai daerah untuk menusir para penjajah, khususnya para penjajah Belanda.
Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan meluas, bukan hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar dan meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan perang melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua periode, yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun 1800. Pembagian waktu tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman mengenai sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat tersebut. Perlawanan sebelum tahun 1800, yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram, Perlawanan Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat Makasar, Pemberontakan Untung Surapati. Sedangkan perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu : Perlawanan Sultan Nuku(Tidore), Perlawanan Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi, Perang Aceh, Perang Bali, Perang Banjarmasin.
Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan cukup tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah dialami maupun berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang masih banyak menyimpan rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap.
     B.     Rumusan Masalah
1)      Bagaimana strategi yang dilakukan di setiap daerah untuk melawan Belanda?
2)      Siapa tokoh yang paling berperan dalam perlawanan tersebut?
3)      Kapan peristiwa tersebut berlangsung?
4)      Apakan perlawanan yang mereka lakukan dapat berhasil mengusir para penjajah?
     C.     Tujuan Pembahasan
1)      Supaya kita dapat mengetahui susah payahnya para pejuang yang peduli akan keadaan Bangsa Indonesia.
    D.    Sistematika
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan
C.     Tujuan
D.    Sistematika
BAB II PEMBAHASAN
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

BAB II
PEMBAHASAN
     A.    Perlawanan Sebelum Tahun 1800
1.      Perlawanan Rakyat Mataram
Pada awalnya Mataram dengan Belanda menjalin hubungan baik. Belanda diizinkan mendirikan benteng(loji) untuk kantor dagang di Jepara. Belanda juga memberikan dua meriam terbaik untuk Kerajaan Mataram. Dalam perkembangannya, terjadi perselisihan antara Mataram dengan Belanda. Pada tanggal 8 November 1618, Gubernur Jendral VOC Jan Piterzoon Coen memerintahkan Van Der Marct menyerang Jepara. Peristiwa tersebut memperuncing perselisihan antara Mataram dengan Belanda. Sultan Agung mempersiapkan serangan terhadap kedudukan Belanda di Batavia. Serangan pertama dilakukan tahun 1628. Pasukan Mataram yang dipimpin Tumenggung Baurekso tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628. Pasukan ini kemudian disusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, yang dibantu dua bersaudara, yakni Kiai Dipati Mandurojo dan Kiai Upa Santa. Upaya serangan pertama gagal untuk menghalang mundur pasukan Belanda. Tidak kurang 1.000 prajurit Mataram gugur dalam perlawanan tersebut. Mataram mempersiapkan serangan kedua ini pun gagal. Selain kelemahan pasukan pertama, lumbung padi persediaan makanan banyak dihancurkan Belanda. Di samping Sultan Agung, perlawanan terhadap kekuasaan VOC juga dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Mas Said.
2.      Perlawanan Rakyat Banten
Konflik dalam urusan kerajaan serta persaingan dalam tahta kerajaan juga menyebabkan perlawanan terhadap kekuasaan barat mengalami kegagalan. Misalnya konflik internal kesultanan Banten yang menyebabkan Banten jatuh ke tangan VOC Belanda. Setelah sultan Ageng Tirtayasa mengangkat anaknya yang bergelar Sultan Haji sebagai Sultan Banten, Belanda segera ikut campur dalam urusan Banten dengan cara mendekati Sultan Haji. Sultan Ageng yang anti terhadap VOC segera menarik kembali tahta untuk anaknya. Tentusaja tindakan itu tidak disukai oleh sang putra mahkota, sehingga dia meminta bantuan ke VOC untuk mengambil kembali tahtanya. Akhirnya, melalui kerjasama dengan VOC, Sultan Haji memperoleh kembali tahtanya dengan imbalan menyerahkan sebagian wilayah banten kepada VOC.
3.      Perlawanan Rakyat Makasar
Di Pulau Sulawesi, perlawanan untuk mengusir kekuatan VOC juga tidak berhasil. Penyebabnya hampir sama dengan daerah lainnya di Nusantara, yaitu karena adanya konflik dan persaingan diantara kerajaan-kerajaan Nusantara. Misalnya konflik antara Sultan Hasanudin dari Makasar dengan Aru Pallaka dari Kesultanan Bone yang memberi jalan Belanda untuk menguasai Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi tersebut.
Untuk memperkuat kedudukannya di Sulawesi, Sultan Hasanudin menduduki Sumbawa sehingga jalur perdagangan di Nusantara bagian timur dapat dikuasainya. Oleh karena itu, penguasaan ini dianggap oleh Belanda sebagai penghalang dalam melakukan aktifitan perdagangan. Pertempuran antara Sultan Hasanudin dan Belanda selalu terjadi. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis Spelman selalu dapat dihalau pasukan Sultan Hasanudin.
Untuk menghadapi Sultan Hasanudin, Belanda meminta bantuan kepada Aru Pallaka yang bersengketa dengan Sultan Hasanudin. Dengan kerjasama tersebut akhirnya Makasar jatuh ke tangan Belanda dan Sultan Hasanudin harus menandatangani Perjanjian Bonghaya pada tahun 1667 yang berisikan hal berikut :
(1)  Sultan Hasanudin harus memberikan kebebasan kepada VOC untuk berdagang dikawasan Makasar dan Maluku
(2) VOC memegang monopoli perdagangan di wilayah Indonesia bagian timur dengan pusatnya Makasar
(3) Wilayah kerajaan Bone yang diserang dan diduduki pada zaman Sultan Hasanudin dikembalikan kepada Aru Pallaka dan dia diangkat menjadi Raja Bone.
4.      Pemberontakan Untung Surapati.
Untung ialah seorang budak dari Bali. Ia dibeli oleh pedagang dari Belanda dan dijadikan pegawai VOC. Kesalahan yang dibuatnya, yaitu menjalin hubungan dengan seorang gadis yang merupakan putri dari tuannya, sehingga dia dipenjara. Di dalam penjara ia memimpin teman-temannya untuk membongkar pintu penjara dan kemudian ia merampok orang orang Belanda. Untung kemudian menjadi buronan, Belanda selalu menemui kegagalan dalam menangkapnya.
Di sisi lain, VOC sedang berusaha melakukan penangkapan terhadap Pangeran Purbaya, putra Sultan Ageng Tirtayasa yang meloloskan diri. Dalam usahanya VOC menarik kelompok Untung untuk membantunya menangkap Pangeran Purbaya. Kelompok Untung berhasil menangkap Pangeran Purbaya. Namun, setelah hampir mendekati Batavia, Untung berubah pikiran karena mendapat penghinaan dari pimpinan pasukan VOC dan ia memutuskan untuk kembali melawan VOC.
Ketika bergerilya melawan VOC di wilayah Priangan dan melanjutkan perjalanan ke Cirebon, ia terlibat perkelahian dengan seorang pangeran Cirebon yang bernama Surapati. Untung dituduh telah melakukan pembangkangan terhadap Sultan Cirebon. Namun, ia selamat dari tuduhan tersebut dan Surapati yang kemudian dipersalahkan, dan akhirnya dihukum mati. Setelah kejadian itu, Untung dijuluki nama baru, yaitu dengan sebutan Untung Surapati.
Ketika mataram dipimpin oleh Sunan Amangkurat II, Untung Surapati melanjutkan perjuangan di wilayah Mataram. Dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, Sunan Amangkurat II merangkul Untung. Namun ia menyadari akan kelicikan sunan ketika menjerumuskan Trunojaya. Maka, setelah membunuh Kapitan Tack dan anak buahnya Untung pun menyingkir ke Jawa Timur. Kaptain Tack adalah utusan Belanda yang bertugas untuk menangkap Untung Surapati.
Perjuangan Untung Surapati semakin kuat dengan dibangunnya pusat perjuangan untuk  melawan VOC di Pasuruan Jawa Timur yang bernama Wiranegara. Wiranegara dipimpin dan diperintah oleh Untung Surapati.
Konflik lain terjadi antara Pangeran Pugar yang merupakan adik dari Amangkurat II dan Amangkurat III atau Sunan Mas. Konflik ini terjadi karena perbedaan prinsip. Pangeran Pugar memihak Belanda, sedangkan Sunan Mas anti Belanda. Dalam konflik ini, tentu VOC memilih Pangeran Pugar.
Kemudian Pangeran Pugar dan VOC membuat perjanjian dan menandatanganinya di Semarang. Isi dari perjanjian tersebut, antara lain sebagai berikut.
(1)   Seluruh daerah Priangan, Cirebon dan Madura bagian timur diserahkan kepada VOC.
(2)   Pangeran Pugar dibebaskan dari segala utangnya terdahulu, tetapi selama 25 tahun Sunan wajib menyerahkan 8000 koyan beras kepada VOC.
(3)   Di daerah Kartasura VOC bersedia menempatkan pasukannya untuk melindungi sunan.
Karena telah berhasil memperoleh kemenangan, Pangeran Pugar dinobatkan menjadi susuhunan oleh VOC dengan nama Pakubuwono I.
Sunan Mas yang meninggalkan Kartasura setelah kalah oleh Pangeran Pugar bergabung dengan Untung Surapati yang bertahan di Kediri, Banggil, Pasuruan dan Belambangan pada 1706. Untung Surapati gugur dalam pertempuran besar di Banggil. Lalu, Sunan Mas menghentikan perlawanan dan menyerahkan diri ke VOC sehingga dia diasingkan kedaerah Sailan.
Perlawanan dilanjutkan oleh keturunan Untung Surapati dengan semangat berkobar dan pantang menyerah. Namun akhirnya, mereka kalah dan Herman de Wilde, seorang panglima VOC, berhasil menduduki Pasuruan. Ia kemudian menemukan dan membongkar makam Surapati, sisa-sisa jenajah pahlawan perkasa itu kemudian dibakar dan abunya dibuang ke laut.
     B.     Perlawanan Sesudah Tahun 1800
1.      Perlawanan Sultan Nuku(Tidore)
Kesultanan Tidore di bawah pimpinan Sultan Nuku melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Untuk menghadapi kekuatan Belanda, Sultan Nuku melakukan persiapan perang dengan cara meningkatkan kekuatan perangnya hingga 200 kapal perang dan 6000 orang pasukan. Setelah itu, perjuangan Sultan Nuku untuk mengusir kekuatan Belanda tersebut dilakukan pula jalur diplomasi.
Upaya diplomasi yang ditempuh Sultan Nuku tersebut ialah mengadakan hubungan dengan inggris. Upaya diplomasi tersebut dilakukan dalam rangka meminta bantuan dan dukungan dari Inggris, terutama dalam memperkuat senjata untuk menghadapi persenjataan Belanda yang lebih maju dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki kesultanan Tidore. Siasat untuk mengadu domba antara inggris dan belanda berhasil dilakukan, sehingga pada 20 Juni 1801 Sultan Nuku berhasil membebaskan Kota Soa-Siu dari kekuasaan Belanda. Maluku Utara akhirnya dapat dipersatukan dibawah kekuasaan Sultan Nuku.
2.      Perlawanan Patimura
Pada tahun 1817, terjadi perubahan penguasaan di Indonesia. Belanda kembali berkuasa di Indonesia menggantikan Inggris. Perkembangan itu telah menggelisahkan masyarakat Maluku. Belanda menerapkan kebijakan yang sangat berbeda dengan Inggris. Rakyat pun kecewa, rakyat dipaksa menyerahkan berbagai macam hasil bumi, seperti kopi dan rempah-rempah. Rakyat mendapat bayaran yang sangat kecil, bahkan kadang kadang tidak dibayar. Pada bulan Mei 1817, rakyat Maluku di Saparua melancarkan perlawanan yang dipimpin oleh Thomas Matulessy atau patimura. Thomas Matulessy  dilahirkan di Haria, Pulau Saparua Maluku. Pada tahun 1783. Pada masa pemerintahan Inggris, Patimura masuk dinas militer berpangkat sersan.
“Di Pulau Saparua pertemuan-pertemuan pertama dilakukan di sebuah tempat yang dinamakan Hutan Kayuputih” (Poesponegoro et al. 2010 :183). Sehari sebelum penyerbuan ke benteng Duurstede, mereka berkumpul untuk merundingkannya dan memilih pemimpin perangnya, Sebagaimana dikemukakan oleh (Poesponegoro et al.2010 :184), bahwa :
“Pada pertemuan tanggal 14 Mei 1817 di Pulau Saparua, para pemuda dan penguasa-penguasa desa(raja atau patih dan orang kaya) memutuskan untuk menghancurkan pusat kekuasaan kolonial di benteng Duurstede yang terletak di Pulau Saparua. Keputusan yang sangat dirahasiahkan ini diteruskan kepada setiap negeri di pulau itu. Selain itu, dalam musyawarah di tempat itu mereka juga memilih Thomas Matulesy sebagai pimpinan perang dengan julukan Pattimura”
 Pada malam hari tanggal 15 Mei 1817 para pemuda Saparua dibawah pimpinan Patimura, mulai melakukan perlawanan terhadap Belanda. Mereka membakar perahu-perahu pos di pelabuan. Setelah itu, mereka mengepung Benteng Duursted. Pada tanggal 16 Mei 1817, Benteng tersebut berhasil diduduki oleh barisan Patimura dan kawan-kawan. Setelah itu, Benteng Deverdijk dapat dikuasai dan Residen Van Der Berg berhasil ditembak mati. Sebagaimana dikemukakan oleh (Poesponegoro et al. 2010 :28), bahwa : “Setiap penghuni benteng tersebut, termasuk Residen Van Der Berg beserta keluarganya tewas...”
 Perlawanan terhadap Belanda juga terjadi di daerah Maluku lainnya, seperti di Haruku, Pulau Seram, Larike, Asilulu, Wakasihu. Perlawanan rakyat Maluku tersebut sempat menghancurkan pertahanan Belanda. Pada bulan Juli 1817, pihak Belanda mendatangkan bantuan dengan kekuatan yang lebih besar dari Batavia. Pasukan ini dipimpin oleh Laksamana Muda Buykes. Kemudian belanda melancarkan serangan besar-besaran, sehingga pasukan Patimura terdesak oleh Belanda. Pada Bulan Agustus 1817, Patimura terpaksa menyingkir ke hutan dan melakukan perang gerilya. Dengan tipuan muslihat, Belanda berhasil menguasai kembali Benteng Deverdijk pada tanggal 18 November 1817. Belanda juga berhasil menangkap dan menghukum mati kapitan Paulus Tiahahu. Setelah itu, perlawanan lainnya dilakukan oleh pehlawan wanita, yaitu Cristian Martha Tiahahu yang berusia 17 tahun yang pergi ke hutan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sekitar bulan November 1817, Patimura terdesak dan akhirnya dapat ditangkap oleh Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817, Patimura dihukum gantung di alun alun Ambon di depan Benteng Victoria. Sebagaimana dikemukakan oleh (Poesponegoro et al. 2010 : 195), bahwa : “Dalam bulan Desember 1817 kapitan patimura bersama tiga orang panglimanya dijatuhi hukuman mati yang dijalankannya di benteng Niuew Victoria di Ambon”. Sebelum hukuman gantung dilakukan, Patimura berkata Patimura akan mati, tetapi Patimura-Patimura muda akan bangkit.
3.      Perang Diponegoro
Sejak Daendels berkuasa, maka wilayah kekuasaan raja-raja Jawa, terutama Yogyakarta dan Surakarta, makin dipersempit. Hal ini disebabkan karena banyak daerah yang diberikan kepada Belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Adapun daerah yang diinginkan Belanda adalah daerah Pantai Utara Jawa. Karena itu daerah-daerah tersebut berangsur-angsur diambil-alih oleh Belanda. Daerah Kerawang dan Semarang dikuasai oleh Belanda pada tahun 1677, dan pada tahun 1743 Daerah Cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan dan Madura. Dengan hilangnya daerah-daerah pesisir, Kerajaan Mataram makin melepaskan kegiatan pelayaran dan perdagangannya, dan memusatkan kegiatannya pada bidang pertanian.
Di samping makin sempitnya wilayah kerajaan yang bias memperkecil kekuasaan raja, juga dapat menyebabkan kecilnya penghasilan kerajaan. Raja makin lama makin tergantung kepada Belanda. Untuk membiayai pemerintahan kerajaan saja ia semakin tergantung pada uang pengganti dari Belanda di samping dari hasil pajak penghasilan dari daerah yang masih dikuasainya.
Untuk menambah penghasilan, banyak dilakukan penarikan cukai sebagai sumber penghasilan tertentu yang diborongkan kepada orang Cina. Pemborongan itu misalnya terjadi pada cukai jalan, jembatan dan sarang burung. Akibat dari sistem pemborongan ini beban rakyat makin berat. Pemborong banyak melakukan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga pemungutan pajak sering dilakukan secara sewenang-wenang.
Jembatan-jembatan, pasar dan sebagainya terdapat gerbang cukai. Orang-orang yang melalui gerbang itu harus membayar cukai. Hal ini sangat menyusahkan lalu lintas, meninggikan harga barang dan menyusahkan kehidupan rakyat. Juga gerbang-gerbang ini disewakan kepada orang Cina dengan akibat-akibatnya yang tak menyenangkan. Pemerintah Belanda tidak mau menghapuskan gerbang-gerbang itu, lantaran gerbang-gerbang mendatangkan penghasilan yang bukan sedikit bagi pemerintah.
Pada tahun 1823 Gubernur Jenderal Van Der Capellen memerintahkan agar tanah-tanah yang disewa dari kaum bangsawan dikembalikan lagi kepada yang punya, dengan perjanjian, bahwa uang sewa dan biaya lainnya harus dibayar kembali kepada si penyewa. Dengan demikian beban para bangsawan juga sangat berat karena uang sewa itu sudah dibelanjakan.
Perpecahan di kalangan keluarga kerajaan di Mataram tidak saja melemahkan kerajaan, tetapi juga menyebabkan pengaruh Belanda makin menjadi kuat. Setiap pertentangan antar keluarga bangsawan di keraton akan mengundang campur tangan pihak Belanda, yang pada
akhirnya merugikan kerajaan itu sendiri sebagai keseluruhan. Pada masa Daendels terdapat usaha mencampuri urusan tata cara di istana. Misalnya, Daendels menghendaki persamaan derajat dengan Sultan pada waktu upacara kunjungan resmi diadakan di kraton. Dalam upacara tersebut pembesar Belanda supaya diijinkan duduk sejajar dengan raja, dan sajian sirih supaya dihapuskan. Raffles juga meneruskan usaha yang sama terhadap kehidupan keraton.
Kondisi seperti itu menimbulkan rasa kekecewaan dan ketidaksenangan di antara beberapa golongan bangsawan. Mereka menganggap bahwa martabat kerajaan menjadi merosot akibat tindakan Belanda tersebut. Tambahan lagi setelah kebiasaan minum-minuman keras beredar di kalangan kaum bangsawan atau rakyat umum, kekhawatiran dan kekecewaan di kalangan golongan agama di istana makin meningkat.
Kekecewaan di kalangan keraton dan semakin beratnya beban rakyat menyebabkan sebagian besar rakyat merasa tertekan hidupnya. Ibarat api dalam sekam, kebencian rakyat sewaktu-waktu dapat meledak, bila sumbu letupnya sudah terbakar. Suasana pada umumnya
gelisah dan jika ada seseorang saja yang dapat menyusun tenaga rakyat, niscaya akan meletus api pemberontakan yang besar. Pada saat segenting itu muncullah seorang pemimpin besar, yang dapat membimbing rakyat, yaitu Pangeran Diponegoro. Ia adalah putra sulung Sultan Hamengku Buwono (HB) III dari Garwa Ampeyan. Dilahirkan pada tanggal 11 November 1785 dengan nama kecil Raden Mas Ontowiryo. Sejak kecil beliau dididik oleh neneknya, Kanjeng Ratu Ageng di Tegalrejo, terkenal sebagai orang yang amat saleh. Buah usahanya ternyata sekali pada diri Diponegoro. Beliau selalu berusaha memperdalam soal agama.
Untuk memperkuat imannya, beliau sering mengasingkan diri di tempat-tempat yang jauh, bertapa dan mengembara, sehingga dengan sendirinya banyak orang tertarik oleh kepribadiannya. Sebagai orang yang sangat saleh, beliau tidak mementingkan keduniawian, dan selalu mengingat kepentingan umum. Terdesak oleh keadaan maka beliau bertindak untuk mempertahankan kedudukan para bangsawan dan membela nasib rakyat kecil.
Sewaktu Inggris masih berkuasa, Sultan Hamengku Buwono III dan Raffles pernah menjanjikan kepada Pangeran Diponegoro akan naik tahta sebagai pengganti ayahnya. Namun setelah Sultan Hamengku Buwono III wafat tahun 1814, yang menggantikan bukan Diponegoro
tetapi adiknya yakni Mas Jarot dengan gelar Sultan Hamengku Buwono IV (HB IV), sedang Pangeran Diponegoro diangkat sebagai penasehatnya.
Pengaruh Pangeran Diponegoro terhadap Sultan HB IV besar sekali. Atas desakan Pangeran Diponegoro, Sultan HB IV pernah mencabut keputusannya yang telah disampaikannya kepada residen Belanda. Karena kehidupan HB IV yang kebarat-baratan, maka wafatnya yang tiba-tiba tahun 1822, dianggap oleh Diponegoro sebagai kutukan.
Sepeninggal HB IV, yang diangkat sebagai Sultan bukan Pangeran Diponegoro tetapi Raden Mas Menol dengan gelar Sultan HB V. Karena raja tersebut baru berusia tiga tahun, maka pemerintah Belanda mengangkat beberapa orang wali yaitu Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, Ibu dan Nenek Sultan. Dengan kedudukannya itu, pengaruh Pangeran Diponegoro semakin bertambah besar.  Melihat pengaruh Diponegoro yang sebesar itu, baik di kalangan istana maupun di segala lapisan masyarakat, sebetulnya pemerintah Belanda menyesal memilih beliau sebagai wali Sultan. Dari sebab itu diaturnya supaya wali-wali tersebut jangan sampai ikut campur dalam pemerintahan.
Melihat kondisi Kesultanan dinilai mengancam kekuasaan Belanda, maka Belanda menetapkan bahwa pemerintahan diserahkan kepada Patih Danurejo dan di bawah pengawasan residen. Pangeran Diponegoro yang menyadari maksud dan tujuan siasat Belanda itu menganggap bahwa kedudukannya sebagai wali Sultan bertentangan dengan aturan-aturan agama sehingga ia menolak pengangkatan tersebut. Lebih-lebih karena Pangeran Diponegoro melihat sendiri tindakan-tindakan pegawai pemerintah Belanda yang benar-benar menyakitkan hati, misalnya:
(1) Residen Nahuys memasukkan adat-istiadat dan pakaian Eropa di kraton.
(2) Makin banyak tanah disewakan kepada orang-orang Eropa, bahkan Nahuys sendiri membuka kebun yang luas.
(3) Tindakan-tindakan pegawai pemerintah Belanda yang bersikap mengejek terhadap Pangeran Diponegoro.
Kebijaksanaan lain yang dianggap melecehkan Diponegoro adalah perbuatan residen dan patih yang selalu mengambil keputusan-keputusan dengan tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi. Misalnya, mengangkat seorang penghulu itu adalah hak Sultan. Tetapi waktu penghulu Rachmanudin berhenti lantaran berbeda pendapat dengan patih, maka residen dan patih mengangkat penggantinya tidak dengan persetujuan para wali. Pangeran Diponegoro menganggap pengangkatan itu tidak sah. Sekali peristiwa Pangeran Diponegoro diperlakukan tidak pantas oleh dua orang pegawai Belanda, dalam pesta di rumah patih. Beliau terus meninggalkan perayaan tersebut, lalu mengasingkan diri di Tegalrejo.
Pada waktu residen dan patih menyuruh menyambung jalan dari kota ke Tegalrejo (Jalan Notoyudan) yang akan melalui tempat yang dianggap keramat oleh Diponegoro, maka Diponegoro menentangnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :229), bahwa : “Pada suatu hari, Smissaert dan Danurejo memerintahkan memasang anjir (pancung) sebagai tanda akan dibuatnya jalan baru, yang sengaja melintasi tanah milik Diponegoro di Tegalrejo”
Di samping akan melalui tempat yang keramat dan tidak dirundingkan lebih dahulu, Pangeran Diponegoro menilai bahwa jalan tersebut akan digunakan untuk memperlancar serangan Belanda ke Tegalrejo. Peristiwa tersebut menyebabkan Pangeran Diponegoro tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Beliau meminta agar patih dipecat, tetapi ditolak oleh residen. Karena itu Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti tonggak-tonggak pemancang jalan yang akan dibuat dicabut diganti dengan bambu runcing. Sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :229), bahwa : “Diponegoro memerintahkan anak buahnya untuk mencabuti pancung-pancung tersebut”.
Pemerintah Belanda mengutus Pangeran Mangkubumi ke Tegalrejo untuk memanggil Diponegoro mempertanyakan tindakan-tindakan Diponegoro itu. Beliau tahu bahwa beliau akan ditangkap jika beliau mengabulkan panggilan itu. Pangeran Mangkubumi sendiri akhirnya tidak mau pulang ke kota. Akibatnya pasukan Belanda menyerbu ke Tegalrejo sehingga akhirnya pada tanggal 25 Juli 1825 berkobarlah perlawanan Diponegoro. Dalam pertempuran tersebut, Pangeran Diponegoro bersama keluarganya berhasil melepaskan diri dari serbuan Belanda itu.
Setelah pertempuran di Tegalrejo ini, Diponegoro dengan pasukannya menyingkir ke Gua Selarong, sekitar 15 km sebelah barat daya kota Yogyakarta, guna mengatur siasat perang selanjutnya. Keluarga Pangeran Diponegoro diungsikan ke Dekso (Kulon Progo) . Kabar mengenai meletusnya perlawanan Diponegoro terhadap Belanda meluas ke berbagai daerah. Rakyat petani yang telah lama menderita dalam kehidupannya, banyak yang segera datang untuk ikut serta dalam perlawanan. Demikian pula para ulama dan bangsawan yang kecewa terhadap Belanda bergabung dengan Diponegoro. Daerah-daerah lain juga menyambut perlawanan Diponegoro dengan melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Kyai Mojo, seorang ulama dari daerah Surakarta, datang untuk bergabung dengan Diponegoro. Bersama dengan Kyai ini dibentuklah kelompok pasukan. Semboyan Perang Sabil dikumandangkan ke segenap pengikutnya, baik yang ada di daerah Selarong maupun yang
ada di daerah lain. Malahan seorang Kyai yang bernama Hasan Besari diutus Diponegoro untuk menyebarkan Perang Sabil di daerah Kedu. Di samping para tokoh ulama, Diponegoro juga mendapat dukungan para Bupati Monconegoro. Di antaranya yang terkenal adalah Alibasya Sentot Prawirodirjo dari Madiun yang kemudian menjadi Panglima Perang Diponegoro. Itulah sebabnya pada tahun-tahun pertama pertempuran dengan cepat meluas sampai ke daerah Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Kertosono dan Madiun.
Sementara itu tokoh-tokoh yang memihak Belanda untuk menentang perlawanan Diponegoro antara lain Patih Danurejo, Sunan Surakarta, raja-raja dari Madura. Dalam pertempuran di Kertosono, rakyat dipimpin langsung oleh Bupati Kertosono, pertempuran di Banyumas, rakyat dipimpin oleh Pangeran Suriatmojo, perlawanan di Madiun dipimpin oleh Bupati Kertodirjo dan Pangeran Serang, sedang perlawanan di Plered dipimpin oleh Kertopengalasan. Dalam pertempuran di daerah Lengkong (1826), Belanda dipukul mundur, seorang letnan Belanda tewas dan dua orang bangsawan gugur.
Dalam pertempuran-pertempuran dari tahun 1825 sampai 1826 kemenangan ada di pihak Diponegoro. Hal ini disebabkan :
(1) Semangat perang pasukan Diponegoro masih tinggi,
(2) Siasat gerilya yang dilakukan Diponegoro belum tertandingi,
(3) Sebagian pasukan Belanda masih berada di Sumatera Barat dalam rangka Perang Padri.
Karena itu tawaran Belanda untuk melakukan perdamaian selalu ditolak oleh Diponegoro.Melihat semakin kuatnya Diponegoro dan semakin meluasnya medan pertempuran, maka Belanda menilai bahwa perlawanan Diponegoro sangat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia. Itulah sebabnya Belanda lalu menggelar berbagai siasat untuk menumpas atau menghentikan perlawanan Diponegoro itu. Dalam rangka untuk menghadapi perlawanan Diponegoro itu, Belanda melakukan siasat-siasat sebagai berkut:
(1) Sultan HB II (Sultan Sepuh) yang dibuang Raffles ke Pulau Penang, dikembalikan ke Yogyakarta dengan tujuan mendatangkan perdamaian sehingga para bangsawan yang memihak Diponegoro diharapkan kembali ke kraton. Usaha tersebut gagal karena Sultan Sepuh kurang berwibawa lagi bahkan tidak lama kemudian terus wafat sehingga para bangsawan tetap melakukan perlawanan.
(2) Jenderal de Kock berusaha memecah belah pengikut Diponegoro. Para bangsawan dibujuknya supaya pulang ke ibu kota. Mereka tidak akan dituntut. Juga kedudukan, uang dan sebagainya kerap kali dipergunakan sebagai pemikat hati. Usaha de Kock ini rupanya berhasil juga, sebab Kyai Mojo, Pangeran Kusumonegoro, Sentot dan lain-lain meninggalkan Diponegoro, sehingga akhirnya beliau tinggal seorang diri. Kyai Mojo diasingkan ke Minahasa, sedang Sentot dikirim ke Sumatera untuk memerangi kaum Padri, namun akhirnya ditangkap lagi dan dibuang ke Bangkahulu.
(3) Untuk mempersempit ruang-gerak Diponegoro, Jenderal de Kock menggunakan taktik Benteng Stelsel (perbentengan), yaitu mendirikan benteng-genteng di tiap daerah yang direbut dan kemudian dijaga oleh pasukan prajurit, dan benteng itu saling berhubungan. Penduduk daerah itu tetap tenang dan tidak ikut bertempur. Benteng-benteng tersebut dibangun di Gombong, Purworejo, Magelang, Ambarawa dan Salatiga.
(4) Sesudah Diponegoro semakin terjepit, Belanda melakukan pendekatan agar Diponegoro mau diajak untuk melakukan perundingan perdamaian. Perundingan semacam itu pernah di Klaten tahun 1827, tetapi gagal.
Karena bala bantuan Belanda terus berdatangan, maka posisi tentara Pangeran Diponegoro semakin terjepit sehingga sering terjadi pertempuran terbuka. Akibatnya pengikut-pengikut setianya semakin kecil sebab Pangeran Suryomataram dan Prangwadono tertangkap, sedangkan Pangeran Serang dan Pangeran Notoprojo menyerah.
Pangeran Ario Papak dan Sosrodilogo (Rembang) juga menyerah. Pada tahun 1829 Pangeran Mangkubumi dan Alibasya Sentot Prawirodirjo mengambil keputusan menyerahkan diri sebelum dikalahkan Sebagaimana dikemukakan oleh (Poesponegoroet al. 2010 :247), bahwa : “Akibat tekanan dan kejaran terus menerus yang dilakukan oleh pasukan de Kock, akhirnya Sentot menyerah pada bulan Oktober 1829”.  Sampai tahun 1829 tersebut kira-kira 200 ribu pasukan Diponegoro telah gugur. Oleh karena kondisinya yang semakin terdesak dan melihat kedudukannya yang sudah tidak ada harapan lagi, maka Diponegoro bersedia untuk melakukan perundingan.
Melalui Kolonel Kleerens, pada tanggal 16 Pebruari 1830 Diponegoro mau melakukan pertemuan di desa Romo Kamal. Dalam pertemuan itu dibuat syarat-syarat perundingan sebagai berikut:
(1)   Bila mana dasar perundingan tidak dapat disetujui oleh Diponegoro, beliau boleh kembali  secara bebas.
(2)  Dalam perundingan itu Diponegoro harus jauh dari tentaranya,sedang tentaranya tidak boleh membawa senjata. Rencana perundingan perdamaian itu dilakukan di kota Magelang.
Karena pada saat itu kebetulan bulan Puasa, maka perundingan itu ditunda. Pada SAAT itu bertambah pengikut Diponegoro yang masuk kota Magelang. Sehabis Puasa Jenderal de Kock mengajak melakukan perundingan. Namun Diponegoro belum bersedia karena masih dalam suasana Lebaran. Setelah berunding, Jenderal de Kock mendesak Diponegoro mengemukakan tuntutan-tuntutannya. Pada saat itu Diponegoro menghendaki menjadi kepala agama Islam (Panatagama) di Jawa agar supaya dapat memelihara kerohanian rakyat. Tuntutan itu ditolak oleh pemerintah Belanda.
De Kock takut kalau-kalau Diponegoro akan menyerang lantaran pengikutnya kian hari kian banyak yang masuk kota Magelang. Sementara pemerintah Negeri Belanda mendesak de Kock agar segera menghentikan perlawanan dengan cara apapun agar melapangkan jalan bagi pelaksanaan Culturstelsel. Di samping itu, de Kock juga terancam dipecat jika Diponegoro sampai lepas kembali.
Dengan berbagai alasan tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap di tempat perundingan tersebut. Diponegoro kemudian dibawa ke Menado dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makasar dan di sana beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Makam beliau hingga kini menjadi tempat ziarah bangsa Indonesia.
Perlawanan Pangeran Diponegoro membawa akibat yang cukup berat. Korban di pihak Belanda sebanyak 15.000 tentara, terdiri dari 8000 ribu orang Eropa, dan 7000 orang serdadu pribumi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang itu tidak kurang dari 20 juta
gulden. Di samping itu, tidak sedikit perkebunan-perkebunan swasta asing yang rusak. Kemakmuran rakyat lenyap sama sekali.
Akibat perlawanan Diponegoro, maka batas-batas Surakarta dan Yogyakarta diubah, daerahnya diperkecil. Berhubungan dengan tindakan ini, maka Sunan Paku Buwono VI merasa kecewa sekali, lalu meninggalkan ibu kota. Pemerintah Belanda menaruh curiga, lalu Sunan
ditangkap dan dibuang ke Ambon (1849) . Dengan demikian maka berakhirlah perlawanan penghabisan dari raja-raja Jawa.
4.      Perang Paderi
Meskipun masyarakat Minangkabau sudah lama memeluk agama Islam tetapi sebagian besar dari mereka masih memegang teguh adat dan menjalankan kebiasaan lama. Kebiasaan seperti minum minuman keras, berjudi dan menyabung ayam masih banyak yang melakukannya, sekalipun dalam ajaran Islam termasuk perbuatan yang terlarang.
Keadaan semacam itu terutama terjadi di lingkungan golongan masyarakat yang memang kepercayaan Islamnya masih belum tebal. Sampai beberapa lamanya tata hidup menurut Islam dan kebiasaan menurut adat masih dapat hidup berdampingan dalam masyarakat Minangkabau.
Pada permulaan abad ke-19 kembalilah tiga orang haji, yaitu Haji Miskin, Haji Piabang dan Haji Sumanik dari Mekah ke Minangkabau. Mereka menganut aliran Wahabi, suatu aliran di dalam agama Islam yang menjalankan dengan keras ajaran-ajaran agama. Mereka sangat
kecewa melihat di Minangkabau merajalela perbuatan-perbuatan yang terlarang oleh agama. Mereka kurang menaati ajaran agama dan lebih dipentingkannya adat dari aturan-aturan agama, terutama di kalangan kaum bangsawan dan raja-raja (kaum adat) .
Bertolak dari kondisi tersebut, orang-orang yang baru pulang dari Mekah itu membulatkan tekad membersihkan agama Islam dari perbuatan-perbuatan yang melanggar ajaran agama dan dari adat yang masih dipegang teguh. Barang siapa melanggar ajaran agama dihukum
dengan berat sekali. Kewajiban agama harus ditepati betul-betul. Orang-orang yang ikut gerakan tiga orang ulama itu juga berpakaian putih-putih sehingga disebut Orang Putih atau Orang Padri.
Nama Padri mungkin juga asalnya dari nama Pedir, suatu daerah di Aceh. Pada waktu itu Pedir menjadi pusat orang-orang yang pergi naik haji. Namun ada juga yang mengatakan bahwa nama Padri berasal dari kata Portugis padri yang berarti pastor (ulama) agama Katolik, karena kaum Padri memakai jubah seperti pastor. Gerakan Padri makin besar pengaruhnya di Minangkabau. Mula-mula dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh, kemudian oleh Datuk Bendaharo, Tuanku Pasaman dan Malim Basa. Di antara pemimpin itu yang sangat terkenal adalah Malim Basa yang kemudian dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol.
Kedudukan raja-raja dan kaum bangsawan menjadi genting. Di bawah pimpinan Suraaso, kaum adat melakukan perlawanan. Namun mereka kehilangan kekuasaan dan pengaruh mereka, bahkan perlawanan mereka dipatahkan oleh kaum Padri, dan banyak di antara mereka diusir dari Minangkabau. Karena para raja dan bangsawan itu kedudukannya makin terdesak, maka mereka minta bantuan kepada Raffles (1818) yang berkedudukan di Bangkahulu (Bengkulen) . Mula-mula ia menyanggupi bantuan itu, tetapi atas protes pemerintah Belanda yang kembali lagi di
Padang, ia mendapat peringatan dari pemerintah pusat Inggris, sehingga ia mengurungkan pemberian bantuan itu. Karena itu kaum adat minta bantuan Belanda.
Pada tahun 1821 datanglah tentara Belanda dibawah pimpinan Kolonel Raaff, yang dapat memukul mundur kaum Padri, lalu mendirikan benteng Fort van der Capellen di Batusangkar tahun 1822. Kemudian Jenderal de Kock mendirikan benteng Fort de Kock di Bukittinggi. Walaupun kota-kota besar dikuasai Belanda, tetapi dengan menjalankan siasat perang gerilya kaum Padri tetap berkuasa. Dalam konflik itu kaum adat cenderung kepada pihak Belanda, dan memang kaum adat meminta pihak Belanda untuk melawan kaum Padri.
Pada tahun 1825 di Jawa mulai berkobar perang Diponegoro. Belanda menilai bahwa perang Diponegoro lebih berbahaya dari pada Perang Padri. Karena itu, pasukan Belanda yang bertugas di Sumatera Barat harus dikurangi untuk dikerahkan ke Jawa. Karena kondisi tersebut Belanda menggunakan taktik berdamai dengan pihak Padri. Perdamaian itu diadakan pada tahun 1825.
Pada saat terjadi gencatan senjata tersebut, ternyata Belanda melakukan tekanan-tekanan kepada penduduk setempat, sehingga akhirnya meletuslah perlawanan kembali dari pihak kaum Padri diikuti oleh rakyat setempat. Perlawanan segera menjalar kembali ke berbagai tempat. Tuanku Imam Bonjol mendapat dukungan Tuanku nan Gapuk, Tuanku nan Cerdik, dan Tuanku Hitam, sehingga mulai tahun 1826 volume pertempuran semakin meningkat. Setelah Perang Diponegoro selesai (1830), pasukan Belanda yang berada di Jawa dikerahkan kembali ke Sumatera Barat untuk menghadapi kaum Padri. Salah satu markas kaum Padri yang berada di Tanjung Alam diserang oleh pasukan Belanda (1833) . Akibat pertempuran tersebut, pasukan Padri melemah karena beberapa pemimpin Padri menyerah, misalnya Tuanku nan Cerdik. Sejak itu perlawanan-perlawan terhadap Belanda dipimpin sendiri oleh Tuanku Imam Bonjol.
Sejak tahun 1830 kaum Padri mendapat bantuan dari kaum adat. Mereka mau bersatu dengan kaum Padri karena ingin mempertahankan kemerdekaan mereka dari penjajah Belanda. Mereka sadar, bahwa pemerintahan Belanda bagi mereka adalah rodi, menyediakan keperluan
Belanda, pemerasan dan ekspedisi-ekspedisi yang kejam. Walaupun telah mendapat bantuan dari kaum adat, tetapi kekuatan kaum Padri semakin merosot. Sebaliknya, kekuatan Belanda semakin bertambah kuat. Pasukan Diponegoro yang menyerah kepada Belanda dikerahkan untuk menumpas kaum Padri, termasuk Basah Sentot Prawiradirja (walaupun akhirnya ia dicurigai mengadakan hubungan dengan kaum Padri sehingga ditangkap lagi) .
Untuk mempercepat penyelesaian Perang Padri, Gubernur Jenderal van den Bosch datang ke Sumatera Barat untuk menyaksikan sendiri keadaan di medan pertempuran. Ia mengeluarkan pernyataan gubernemen yang terkenal dengan nama Pelakat Panjang. Pernyataan itu memberi hak-hak istimewa kepada mereka yang memihak Belanda. Dalam kondisi terjepit, pihak Belanda mengajak Imam Bonjol untuk berunding. Tetapi perundingan perdamaian itu oleh Belanda
hanyalah dipakai untuk mengetahui kekuatan yang terakhir di pihak Padri, yang ada di Benteng Bonjol, sementara mengharapkan Imam Bonjol mau menyerahkan diri.
Perundingan gagal karena pihak Belanda memang telah melakukan persiapan untuk mengepung benteng tersebut. Jenderal Michiels memimpin sendiri pengepungan kota Bonjol. Dengan susah payah Kaum Padri menghadapi kekuatan musuh yang jauh lebih kuat. Pada akhirnya benteng Kaum Padri jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Imam Bonjol beserta sisa-sisa pasukannya tertawan pada tanggal 25 Oktober 1837. Imam Bonjol lalu dibuang ke Cianjur, lalu dipindah ke Ambon dan akhirnya dibuang ke Minahasa.
Tertangkapnya Imam Bonjol memang tidak berarti berhentinya perlawanan-perlawanan, tetapi penyerahan itu cukup melumpuhkan kegiatan kaum Padri. Secara kecil-kecilan pertempuran masih dilakukan oleh pimpinan kaum Padri yang lain, yaitu Tuanku Tambose. Namun setelah itu akhirnya patahlah perlawanan kaum Padri. Semenjak itu Minangkabau diperintah langsung oleh Belanda.
5.      Perang Aceh
Setelah Perang Padri berakhir, pada tahun 1873 di Sumatera berkobar lagi perlawanan terhadap Belanda yakni Perang Aceh. Penyebab terjadinya Perang Aceh terutama karena nafsu Belanda untuk menguasai daerah ini. Sebelumnya, mereka tidak berani menduduki Aceh karena terikat Traktat London 1824. Traktar London II itu mewajibakan Belanda menghormati kedaulatan Aceh. Namun setelah terjadi Traktat Sumatera tahun 1871 sebagai perbaikan Traktat London II, Belanda bebas meluaskan wilayahnya ke seluruh Sumatera, termasuk Aceh Sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :285), bahwa :
“Kekhawatiran Aceh semakin meningkat ketika pada tahun 1871 Belanda dan Inggris mencapai persetujuan dan menandatangani suatu perjanjian yang disebut traktat sumatra. Menurut perjanjian ini orang Belanda diberi kebebasan untuk mengadakan perluasan kekuasaannya di seluruh Sumatra, termasuk ke Aceh yang selama ini tikak boleh diganggu kedaulatanya”.
Dengan terjadinya traktat tersebut, Belanda khawatir kalau Aceh jatuh ke tangan bangsa asing lain seperti Turki, Italia, Perancis atau Amerika. Sesudah tersiar kabar bahwa Aceh mengadakan hubungan dengan Amerika, maka pemerintah Belanda mengirimkan Nieuwenhuisen (komisaris Belanda) ke Aceh, untuk menuntut, supaya Aceh mengakui kekuasaan Belanda. Perundingan-perundingan yang diadakan tak berhasil. Dari sebab itu Belanda menyatakan perang kepada Aceh.
Pada tahun 1873 Belanda mengirimkan ekspedisi pertama dengan 3193 prajurit dipimpin oleh Jenderal Kohler. Setelah beberapa lama terjadi tembak menembak di daerah pantai, pasukan Aceh mengundurkan diri dan berkubu di sekitar Mesjid Raya. Belanda langsung menyerbu Mesjid Raya dengan tembakan-tembakan meriam, sehingga mesjid itu terbakar. Pasukan Aceh mundur dan Mesjid Raya diduduki Belanda. Namun pasukan Aceh berhasil menembak Jenderal Kohler sehingga tewas, sehingga pimpinan tentara Belanda diambil alih oleh Kolonel van Dalen dan menarik diri dari Mesjid Raya.
Pasukan Aceh melakukan konsolidasi di sekitar istana Sultan Mahmudsyah. Pasukan-pasukan itu terus digerakkan untuk melakukan serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda. Dengan demikian usaha Belanda untuk menundukkan Aceh dengan serangan terbuka mengalami kegagalan, sehingga Belanda memilih memblokade Aceh.
Ketika itu muncullah tokoh-tokoh pemimpin seperti Panglima Polem, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta, Teungku Cik di Tiro, Teuku Umar, dan istrinya Cut Nya’ Din, dan masih banyak pemimpin Aceh lainnya yang memimpin perlawanan di daerahnya masing-masing.
Dalam ekspedisi kedua (1874), digerakkanlah 8000 prajurit Belanda dengan pimpinan Jenderal J. van Swieten menyerbu Aceh. Sasaran utama adalah istana Sultan Mahmudsyah. Istana itu berhasil direbut Belanda, lalu dijadikan pusat pemerintahan Belanda di daerah yang disebut Kotaraja. Belanda lalu memproklamasikan bahwa Aceh sudah berada di bawah kekuasaan Belanda.
Sementara itu Sultan Mahmudsyah meninggal, dan baru 10 tahun kemudian diganti oleh anaknya, Sultan Muhammad Daudsyah. Ia memerintah dibantu oleh dewan Mangkubumi, dan pusat pemerintahannya berada di daerah pengungsian, serta berpindah-pindah untuk menghindari penyergapan Belanda. Walaupun perlawanan panglima-panglima dan hulubalang-hulubalang lebih kuat dari sangkaan Belanda, tetapi tentara Belanda yang dipersenjatai lebih lengkap, di bawah pimpinan Jenderal van der Heyden (Jenderal Buta), akhirnya dapat menguasai Aceh Besar (1879) . Pemerintah Belanda menyangka bahwa dengan peristiwa ini perang Aceh benar-benar berakhir. Dari sebab itu pemerintrahan militer diganti dengan pemerintahan sipil. Perhitungan itu salah. Sebab tak lama kemudian perlawanan menghebat kembali, sehingga terpaksa pemerintah sipil diganti dengan pemerintah militer.
Untuk memadamkan perlawanan rakyat Aceh, pemerintah Belanda memisahkan daerah Aceh sebelah utara dari Aceh sebelah selatan, sedangkan pantai laut dijaga oleh angkatan laut Belanda. Siasat ini disebut konsentrasistelsel, yaitu daerah yang dikuasai Belanda dimakmurkan agar orang-orang Aceh yang melakukan perlawanan meletakkan senjata dan kembali ke daerah yang aman dan makmur itu. Dalam perkembangannya, siasat tersebut gagal, sebab pagar kawat berduri sebagai daerah pembatas tersebut sering dirusak kaum gerilya dan penjaganya mati terbunuh. Sementara itu Teuku Umar yang sudah menyerah kepada Belanda (1893) pada tahun 1896 kembali melawan Belanda setelah berhasil membawa banyak senjata Belanda. Dalam kondisi sulit ini muncullah seorang ahli bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam Dr. Snouk Hurgronye sebagai penasehat dalam urusan pemerintahan sipil. Ia mempelajari bahasa, adad istiadat, kepercayaan dan waktu orang-orang Aceh. Dari hasil penelitiannya akhirnya dapat diketahui bahwa sebenarnya Sultan Aceh itu tidak mempunyai kekuatan apa-apa tanpa persetujuan dari kepala-kepala yang ada di bawahnya. Selain itu juga dijelaskan bahwa pengaruh kaum ulama pada rakyat adalah sangat besar. Karena itu dirasa sulit untuk menundukkan rakyat yang berkeyakinan agama yang kuat sepeti rakyat Aceh itu.
Berdasarkan hasil penelitian itu, lalu dilakukan langkah-langkah yang jitu, yaitu dengan menggunakan taktik memecah belah kekuatan yang ada di kalangan rakyat Aceh. Kaum ulama yang memimpin pertempuran harus dihadapi dengan kekuatan senjata, sedangkan para bangsawan dibuka kesempatan untuk masuk ke dalam kelompok pamongpraja di lingkungan pemerintah Belanda. Untuk menghadapi kaum ulama, Belanda melakukan serangan habis-habisan. Jenderal van Heutz membentuk pasukan marsose (istimewa) untuk mengejar tentara Aceh sampai tertangkap atau terbunuh. Sewaktu menyerbu kedudukan Belanda di Meulaboh (1899), Teuku Umar gugur. Sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :300), bahwa : “Pada tanggal 11 Februari 1899, Belanda menyerang markas pertahanan Teuku Umar dan Gugurlah pemimpin Aceh...”.
Panglima Polem terus melakukan perlawanan di daerah bagian timur. Pihak Belanda terus berusaha untuk menangkapnya tetapi sulit. Oleh karena itu pihak Belanda menggunakan taktik baru, yakni dengan mengadakan penculikan isteri Sultan. Dengan mengadakan tekanan-tekanan yang keras akhirnya Sultan Muhhamad Dawud menyerah kepada Belanda tahun 1903.
Dalam upayanya untuk menangkap Panglima Polem, Belanda juga menggunakan siasat menangkap isteri, ibu dan anak-anak Panglima Polem sambil menekan terus menerus terhadapnya. Setelah mengalami tekanan yang berat, maka akhirnya Panglima Polem menyerah pada tahun 1903 pula. Sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoroet al. (2010 :306), bahwa : “...panglima Polem dengan sisa pasukannya yang berjumlah 150 orang terpaksa menyerah kepada belanda pada tanggal 6 September 1903”
Dengan hilangnya pemimpin-pemimpin yang tangguh itu, maka perlawanan rakyat Aceh makin kendor, dan di lain pihak Belanda dapat memperkuat kekuasaannya di daerah itu. Sekalipun demikian perlawanan rakyat Aceh boleh dikatakanmerupakan perlawanan yang paling lama dan yang paling besar selama abad ke-19. Dalam rangka untuk memastikan kemerosotan perlawanan Aceh, pada tahun 1904 Jenderal van Daalen melakukan ekspedisi lintas pedalaman, khususnya antara Gayo dan Alas. Dalam ekspedisi tersebut pasukannya memang tidak mendapatkan perlawanan suatu apa sehingga pada tahun 1904 itu pula perlawanan Aceh dinyatakan berakhir. Namun perlawanan masih berlangsung terus, secara perseorangan maupun dalam kelompok; hanya semakin lama semakin terpencil sifatnya.
Setelah perlawanan Aceh berakhir, maka daerah Aceh dibagibagi dalam swapraja-swapraja. Mereka diikat oleh pemerintah Belanda dengan jalan menandatangi pelakat pendek, suatu perjanjian yang menerangkan dengan singkat:
(1)   Tiap-tiap swapraja harus mengakui kekuasaan pemerintah Belanda.
(2)   Suatu swapraja tidak boleh mengadakan hubungan dengan pemerintah asing lainnya.
(3)   Perintah pemerintah Belanda harus dijalankan.
Walaupun perlawanan rakyat Aceh sudah berakhir, di Sumatera masih ada perlawanan-perlawanan yang lain yaitu perlawanan rakyat Batak yang dipimpin Si Singamangaraja XII (1878-1907), perlawanan di Sumatera Selatan dipimpin oleh Raden Intan serta daerah-daerah lainnya yang dipimpin oleh pemimpin setempat.
Di atas telah digambarkan bagaimana daerah-daerah di Indonesia satu persatu jatuh ke tangan Belanda. Dengan berbagai cara, rakyat Indonesia di berbagai daerah berusaha terus untuk bertahan. Bila semua raja-raja di Indonesia memiliki armada-armada niaga yang besar, maka setelah kerajaannya ditundukkan oleh Belanda, maka armada-armadanya segera ditumpas oleh Belanda.
Di samping itu, peraturan Belanda yang monopolitis mengakibatkan terdesaknya ke sudut kebebasan perdagangan rakyat Indonesia. Karena berjuang untuk kelangsungan hidupnya, rakyat yang hidup di pantai-pantai selalu berusaha menerobos monopoli Belanda. Tindakan seperti itu oleh Belanda disebut perdagangan gelap atau penyelundup. Namun demikian, tindakan-tindakan rakyat Indonesia tersebut jelas merupakan bentuk perlawanan yang tak henti-hentinya terhadap imperialisme Barat.
6.      Perang Bali
Nama Bali dikenal dalam sejarah Indonesia mulai zaman Erlangga maupun Majapahit (Gajah Mada) . Hubungan antara Bali dan Jawa erat sekali. Pada zaman Majapahit banyak penduduk kerajaan ini yang pindah ke Bali. Dengan bangga mereka menamakan dirinya wong Majapahit untuk membedakan diri dari penduduk Bali asli yang masih terdapat di pegunungan dan dikenal sebagai Bali-aga (orang Bali asli) .
Pemerintahan di Bali, akhirnya mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Dewa Agung Ketut dan bersemayam di Gelgel. Pada abad ke-17 ibukota pindah ke Klungkung, tetapi kemudian pecah menjadi Sembilan kerajaan di antaranya yang terkenal adalah Klungkung, Gianyar, Badung, Karangasem, dan Buleleng.
Salah satu hak yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan di Bali di daerah pantai ialah hak untuk menjalankan hukum tawan karang. Menurut hukum itu, raja Bali berhak untuk merampas muatan kapal yang terdampar di pantai wilayah kerajaannya. Sewaktu Belanda berada di Indonesia, Bali masih merupakan kerajaan-kerajaan merdeka.sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :249), bahwa : “...di Bali berlakunya hukum tawan karang, yaitu hak dari Bali untuk merampas perahu perahu yang terdampardi pantai wilayah kekuasaannya. Hukum tawan karang ini telah menimpa kapal-kapal Belanda seperti yang dialami pada tahun 1841 di pantai wilayah Badung”. Belanda juga melakukan perdagangan (terutama perdagangan budak) dengan kerajaan-kerajaan Bali.
Dalam perdagangannya itu, telah berulang kali kapal Belanda terdampar di salah satu pantai dari kerajaan Bali dan muatannya dirampas oleh raja. Belanda telah mengajukan protes dan mengadakan perjanjian-perjanjian yang menyangkut pembebasan kapal-kapal Belanda. Tetapi raja-raja Bali sering tidak pernah mengindahkannya.
Di antara raja-raja Bali yang pernah diajak untuk mengadakan perjanjian pada tahun 1841 itu ialah raja-raja Klungkung, Buleleng, Badung dan Karangasem. Dalam perjanjian itu sesungguhnya raja Bali telah dipaksa untuk mengakui kedaulatan pemerintah Belanda, dan
mengijinkan pengibaran bendera Belanda di kerajaannya. Tetapi kesemuanya itu tidak dilaksanakan oleh raja-raja Bali karena mereka dipaksa. sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :250), bahwa : ”...1843 raja-raja Buleleng, Karangasem, dan beberapa raja lainnya telah menandatangani perjanjian penghapusan tawan karang, ternyata mereka tidak pernah melaksanakannya dengan sungguh-sungguh”.
Karena merasa diingkari, maka Belanda memutuskan untuk menggunakan kekerasan dalam usaha untuk menundukkan raja-raja Bali tersebut. Pada tahun 1846 Belanda mengirimkan ekspedisi militernya ke daerah Buleleng. Karena itu Gusti Ketut Jelantik
menyiapkan pasukan untuk menghadapi kedatangan Belanda. Sebelum melakukan serangan, Belanda mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Buleleng :
(1) mengakui kekuasaan Belanda,
(2) hak tawan karang harus dihapus,
(3) memberi perlindungan kepada perdagangan Belanda.
Karena ultimatum Belanda tak diindahkan, akhirnya Belanda menyerbu Buleleng. Sementara itu Karangasem memihak Buleleng, sehingga berkobar perang Belanda-Bali.
Dalam mnghadapi perlawanan rakyat Bali, Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi secara besar-besaran sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama dilakukan tahun 1836 dengan kekuatan 1700 tentara. Serangan pertama ini Belanda gagal menundukkan rakyat Bali. Belanda
mengajak berunding, tetapi ternyata hanya taktik untuk melakukan penyerbuan kembali.
Sementara itu pasukan Bali di bawah Gusti Jelantik membangun benteng di Jagaraga dan mulai menyerang Belanda. Karena serangan tersebut, Belanda lalu melakukan ekspedisi kedua tahun 1848. Pertempuran berkobar hebat di benteng tersebut. Dalam pertempuran itu Belanda kehilangan 5 perwiranya dan 75 prajuritnya. Namun benteng Jagaraga gagal dikuasai. Setelah bala bantuan datang dari Jakarta, Belanda kembali menyerang. Namun serangan ke benteng Jagaraga dapat ditangkis. Pada tahun 1849 Belanda melakukan ekspedisi yang ketiga dengan kekuatan lebih dari empat ribu prajurit dengan tiga ribu pasukan tenaga pengangkut. Pasukan besar-besaran tersebut disambut dengan tiga ribu prajurit Bali dengan senjata tradisional. Sedangkan pasukan tambahan ada 10-20 ribu orang dari Buleleng dan Karangasem. Pertempuran meletus di sekitar benteng Jagaraga. Benteng tersebut dijaga sekitar 15 prajurit.
Pertempuran berlangsung beberapa hari sehingga kedua belah pihak mengalami kelelahan. Karena kalah dalam persenjataan, pasukan Bali mengundurkan diri dari benteng Jagaraga. Dengan demikian benteng tersebut jatuh ke tangan Belanda. Sejak itu perlawanan pindah ke daerah Karangasem dan Klungkung dengan pimpinan Gusti Jelantik. Perlawanan baru mengendor akhir abad ke-19, setelah sebagian besar kerajaan Bali ditaklukkan Belanda.
Pada tahun 1904 sebuah kapal dagang Cina terdampar di pantai timur Badung. Kapal tersebut dirampas oleh penduduk di situ. Cina lalu lapor kepada Belanda. Kerajaan Badung dipersalahkan oleh Gubernemen dan disuruh membayar denda. Perintah itu ditolak oleh
raja Badung. Sikap raja Badung itu didukung oleh raja-raja Bali, sehingga pecah perang Bali-Belanda. Belanda berhasil merebut ibukota Denpasar. Akibatnya raja-raja Bali melakukan puputan yaitu melawan habishabisan dengan diikuti sanak-saudaranya, para bangsawan lainnya dan kaum putri, bersenjata tombak dan keris keramat. Mereka memilih gugur di medan perang dari pada menyerah kepada Belanda. Pada tahun 1908 kerajaan Klungkung diserang Belanda. Raja Klungkung dibantu oleh seluruh kaum bangsawan, wanita dan anak-anak mengadakan puputan sewaktu diserang Belanda itu, lantaran tidak mau tunduk kepada peraturan-peraturan yang diadakan oleh pemerintah Belanda. Sesudah Klungkung diduduki maka berarti seluruh Bali dikuasai oleh pemerintah Belanda.
7.      Perang Banjarmasin
Selain di Pulau Jawa dan Sumatra, pemerintahan colonial Belanda juga berupaya menguasai Pulau Kalimantan. Pada tahun 1817 Belanda mulai masuk ke wilayah Banjar, Kalimantan Selatan. Bahkan, pada tahun 1826 Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Adam, raja Kerajaan Banjar. Isi perjanjian ini menyatakan bahwa seluruh wilayah Kalimantan Selatan adalah kekuasaan Belanda, kecuali Banjarmasin, Martapura, dan Hulu Sungai. Ketika daerah ini berada di wilayah kekuasaan Sultan Adam dari kesultanan Banjar. Selain itu, Belanda berhak menentukan siapa yang akan menjadi sultan muda, putra mahkota, dan mangkubumi.
            Ketika sultan Adam wafat pada tahun 1857 terjadilah perebutan kekuasaan di keratin. Belanda berdiri di belakang kekacauan ini mengangkat Pangeran Tamjid Illah sebagai sultan kerajaan Banjarmasin, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayat. Akhirnya, Pangeran Tamjid Illah III menjadi sultam, sedangkan Pangeran Hidayat menjadi mangkubuminya. Kedua tokoh ini tidak bias bekerja sama. Akibatnya, timbul keresahan di kalangan rakyat dan kaum bangsawan Banjar. Menyadari adanya keresahan ini, Belanda mengambil alih kekuasaan dari Pangeran Tamjid Illah . tindakan belanda ini menimbulkan kemarahan pada rakyat. Selanjutnya, pada tahun 1859 rakyat banjar di bawah pimpinan Pangeran Antasari menyerang pertahanan Belanda di Martapura dan Pengaron. Perlawanan lainnya dipimpin oleh kyai Demang Lehmanm Haji Nasrun, Haji Buyasin, kyai Langlang dan tumenggung Surapati, serta pangeran Hidayat. Mereka berhasil merebut benteng Belanda, seperti Benteng Tabanio, bahkan menenggelamkan kapal Onrust di sungai Barito.
            Untuk mengatur strategi baru, Belanda menawarkan untuk berunding dengan Pangeran Hidayat, tetapi ditolak. Karena putus asa, sehingga Belanda menghapuskan kerajaan Banjar pada bulan Juni 1860. Sejak itu, daerah tersebut daerah tersebut diperintah langsung oleh Belanda. Tekanan Belanda yang sangat kuat menyebabkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Hidayat ini dapat dikalahkan karena kurang persenjataan. Pada tahun 1862 Pangeran Hidayat ditangkap dan diasaingkan ke kota Cianjur, Jawa Barat. Namun demikian, perlawanan rakyat Banjar semakin gencar saja, apalagi setelah pangeran Antasari(1862), saudara sepupu pangeran Hidayat diangkat sebagai pemimpin tertinggi agama islam di Banjar dengan gelar Panembahan Amirudin Khalifatul Mukminin.
            Beberapa saat kemudian, setelah ia diangkat menjadi sultan, perang meletus lagi. Dalam perang ini Pangeran Antasari menderita luka-luka dan akhirnya wafat pada tahun 1862. Perlawanan rakyat Banjar dilanjutkan oleh putra-putranya dan pejuang lainnya. Namun, sejak tahun 1864 ketika para pemimpin perlawanan Banjar berhasil ditangkap satu persatu, perlawanan rakyat Banjar mulai melemah. Akhirnya, Banjar sepenuhnyadapat dikuasai oleh Belanda.
    C.     Kaitannya dengan Indonesia kontemporer.
Kaitan antara masa kolonialisme Belanda dengan Indonesia kontemporer.
a.       Pada masa kolonialisme belanda, kebiasaan minum-minuman keras beredar di kalangan kaum bangsawan atau rakyat umum dan dimasa kini pun kebiasaan minum-minuman keras semakin beredar di kalangan masyarakat.
b.      “Di era penjajahan, Belanda melakukan pemisahan akses pendidikan bagi orang-orang Belanda di Indonesia, kaum bangsawan dan rakyat biasa ”. (Fajar,  :2). Di masa sekarang ada yang namanya sekolah SBI, di sekolah itu hanya anak-anak dari orang-orang yang mempunyai kedudukan/ memiliki uang yang bisa masuk/ mengenyam pendidikan di sekolah tersebut, sedangkan kalangan biasa sulit sekali untuk masuk ke sekolah tersebut. Itu artinya ada pemisahan akses pendidikan di masa sekarang pun.
c.       Generasi Indonesia yang memiliki potensi intelektual dan kepemimpinan banyak yang bahkan dikirim studi ke Belanda sebagai pusat (centre) kemajuan dengan tujuan menjadi agen ‘pemBelandaan’ Indonesia” (Fajar,  :2). Di masa sekarang banyak orang Indonesia yang memiliki Intelektual terus mereka di sekolahkan di luar negeri, dan akhirnya orang indonesia itu malah banyak di rekrut oleh orang-orang luar.
d.      Novel-novel Balai Pustaka seperti Siti Nurbaya, juga mengambarkan dialektikan penjajah dan terjajah di era ketika orang-orang Belanda tinggal dalam waktu lama di Indonesia.
e.      Pada waktu residen dan patih menyuruh menyambung jalan dari kota ke Tegalrejo (Jalan Notoyudan) yang akan melalui tempat yang dianggap keramat oleh Diponegoro, maka Diponegoro menentangnya.  Di zaman sekarang pun ada pristiwa yang sama seperti pristiwa didaerah Makam mbah priuk.

BAB III
KESIMPULAN
Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan belanda semakin besar dan meluas, bukan hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar dan meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan perang melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua periode, yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun 1800. Pembagian waktu tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman mengenai sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap bangsa-bangsa Barat tersebut. Perlawanan sebelum tahun 1800, yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram, Perlawanan Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat Makasar, Pemberontakan Untung Surapati. Sedangkan perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu : Perlawanan Sultan Nuku(Tidore), Perlawanan Patimura, Perang Paderi, Perang Diponegoro, Perang Aceh, Perang Bali, Perang  Banjarmasin.
Di atas telah digambarkan bagaimana daerah-daerah di Indonesia satu persatu jatuh ke tangan Belanda. Dengan berbagai cara, rakyat Indonesia di berbagai daerah berusaha terus untuk bertahan. Bila semua raja-raja di Indonesia memiliki armada-armada niaga yang besar, maka setelah kerajaannya ditundukkan oleh Belanda, maka armada-armadanya segera ditumpas oleh Belanda. Di samping itu, peraturan Belanda yang monopolitis mengakibatkan terdesaknya ke sudut kebebasan perdagangan rakyat Indonesia. Karena berjuang untuk kelangsungan hidupnya, rakyat yang hidup di pantai-pantai selalu berusaha menerobos monopoli Belanda. Tindakan seperti itu oleh Belanda disebut perdagangan gelap atau penyelundup. Namun demikian, tindakan-tindakan rakyat Indonesia tersebut jelas merupakan bentuk perlawanan yang tak henti-hentinya terhadap imperialisme Barat.

DAFTAR PUSTAKA
Kardiyat, A, Perlawanan Indonesia Terhadap Belanda Pada Abad XIX
Khoo, Gilbert, Sejarah Asia Tenggara Sejak Tahun 1500. Kualalumpur, Fajar Bakti SDN.
BHD, 1976.
Moeis, S(2012).”PERKEMBANGAN AGAMA DAN RELIGI DI INDONESIA”. Makalah Disajikan dalam diskusi Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI ,Bandung
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium ke
Imperium, Jakarta, Gramedia, 1987.
Supriatna, Nana, Perkembangan Masyarakat Indonesia.
Poesponegoro et al.(2010). Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka
--------------------, Ilmu Pengetahuan Social Jilid 2 B. Bandung, PT Sarana Pancakarya Karya Nusantara
----------------------, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari
Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta, Gramedia, 1990.
----------------------, Konsep Dasar IPS, Bandung, CV Yasindo Multi Aspek, 2008
----------------------, kehidupan pada masa pra-indonesia :zaman pergerakan, Bandung, PT Setia Purna Inves, 2009
---------------------, masa prasejarah sampai masa proklamasi kemerdekaan, Jakarta, PT Mitra Aksara Panaita, 2010

Belum ada Komentar untuk "MAKALAH SEJARAH INDONESIA KELAS 11 : PERANG MELAWAN KOLONIALISME"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar terbaik Anda...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel