SEJARAH INDONESIA KELAS 12 : SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK DAN EKONOMI MASA DEMOKRASI PARLEMENTER (1950-1959)
Senin, Oktober 16, 2017
Tambah Komentar
Masa Demokrasi Liberal Indonesia 1950-1959
Pasca kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Indonesia berusaha mencari sistem pemerintahan yang dirasakan sesuai dengan kehidupan berbangsa Indonesia.
Pada saat itu baik sebelum atau sesudah kemerdekaan, terdapat usul mengenai sistem negara yang dipergunakan, anatara lain: Federasi, Monarki, Republik-Parlementer, dan Republik-Presidensil.
Pada bulan Oktober 1945, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No.X bulan Oktober 1945, yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebelum terbentuknya MPR/DPR melakukan tugas legisltif. Dengan demikian KNIP dari lembaga pembantu presiden menjadi lembaga yang sederajat dengan lembaga kepresidenan.
Kemudian KNIP yang dipimpin Sutan Sjahrir berhasil mendorong Pemerintah yaitu, Wakil Presiden Hatta untuk mengeluarkan Maklumat Pemerintah 13 Novermber 1945 tentang pendirian partai-partai politik dan Maklumat Pemerintah 14 Novermber 1945 tentang pemberlakuan Kabinet Parlementer. Dengan maklumat tersebut Indonesia menjalankan sistem parlementer dalam menjalankan pemerintahan. Presiden hanya sebagai kepala negara dan simbol, sedangkan urusan pemerintahan diserahkan kepada perdana menteri. Sjahrir terpilih menjadi Perdana Menteri Indonesia pertama.
Demokrasi Liberal
Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi parlementer-liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat dan masa ini disebut Masa Demokrasi Liberal. Indonesia sendiri pada tahun 1950an terbagi menjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang juga bernafaskan liberal.
Secara umum, demokrasi liberal adalah salah satu bentuk sistem pemerintahan yang berkiblat pada demokrasi. Demokrasi liberal berarti demokrasi yang liberal. Liberal disini dalam artian perwakilan atau representatif.
Dengan pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal mendorong untuk lahirnya banyak partai-partai politik dengan ragam ideologi dan tujuan politik.
Demokrasi Liberal sendiri berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam kenyataanya bahwa UUDS 1950 dengan sisten Demokrasi Liberal tidak cocok dan tidak sesuai dengan kehidupan politik bangsa Indonesia yang majemuk.
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dekrit presiden mengenai pembubaran Dewan Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950 karena dianggap tidak cocok dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia.
Pelaksanaan Pemerintahan
Tahun 1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI dan Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR (Parlemen). Dalam waktu lima tahun (1950 -1955) PNI dan Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik dalam empat kabinet yang pernah berlaku. Adapun susunan kabinetnya sebagai berikut;
1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
- Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
- Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
- Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
- Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
- Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan tugas utama yaitu proses integrasi Irian Barat. Akan tetapi, Kabinet Natsir kemudian mendapatkan kendala yaitu pada masa kabinet ini terjadi banyak pemberontakan seperti: Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Kabinet Natsit memiliki keberhasilan dalam upaya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Dalam bidang ekonomi kabinet ini memperkenalkan sistem ekonomi Gerakan Benteng yang direncanakan oleh Menteri Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo. Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
- Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
- Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
- Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
- Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Tujuan program ini sendiri tidak dapat tercapai dengan baik meskipun anggaran yang digelontorkan pemerintah cukup besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
- Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
- Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
- Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
- Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
- Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
- Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
- Menjamin keamanan dan ketentraman
- Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
- Mempercepat persiapan pemilihan umum.
- Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
- Menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh.
Kabinet Sukiman ditenggarai melakukan Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).
MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif Indonesia karena menerima MSA sama saja dengan ikut serta dalam kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
Kabinet Sukiman sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan militer dan kurang prograsif menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. Parlemen pada akhirnya menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Sukiman. Sukiman kemudian harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:
- Program dalam negeri:
- Menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante, DPR, dan DPRD
- Meningkatkan kemakmuran rakyat,
- Meningkatkan pendidikan rakyat, dan
- Pemulihan stabilitas keamanan negara
- Program luar negeri:
- Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,
- Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta
- Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Dalam menjalankan tugasnya Kabinet Wilopo menghadapi krisis ekonomi, defisit kas negara, dan meningkatnya tensi gangguan keamanan yang disebabkan pergerakan gerakan sparatis yang progresif. Ketimpangan Jawa dan luar Jawa membuat terjadi gelombang ketidakpuasan di daerah yang memperparah kondisi politik nasional.
Kabinet Wilopo juga harus menghadapi konflik 17 Oktober 1952 yang menempatkan TNI sebagai alat sipil dan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam usahanya memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan
Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli), Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar yang di dukung PKI mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.
Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I:
- Meningkatkan keamanan dan kemakmuran
- Menyelenggarakan Pemilu dengan segera
- Pembebasan Irian Barat secepatnya
- Pelaksanaan politik bebas-aktif
- Peninjauan kembali persetujuan KMB.
- Penyelesaian pertikaian politik.
- Merampungkan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan 29 September 1955
- Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955
- Berkurangnya ketegangan dunia
- Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik diskriminasi ras di negaranya.
- Indonesia mendapatkan dukungan diplomasi dari negara Asia-Afrika dalam usaha penyatuan Irian Barat di PBB
Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Sistem ekonomi Ali-baba diperuntukan menggalang kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba.
Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.
Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha non-pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan kepada pengusaha Indonesia. Sistem ekonomi ini kemudian didukung dengan :
- Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha swasta nasional
- Pemerintah memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu bersaing dengan pengusaha asing
Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini keadaan ekonomi masih belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.
Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet Ali Sastro I harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.
Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
- Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
- Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
- Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
- Perjuangan pengembalian Irian Barat
- Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
- Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan 15 Desember untuk memilih Dewan Konstituante.
- Membubarkan Uni Indonesia-Belanda
- Menjalin hubungan yang harmonis dengan Angkatan Darat
- Bersama dengan Polisi Militer melakukan penangkapan para pejabat tinggi yang terlibat korupsi
Pemilu yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di Parlemen yaitu, PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70 partai yang lolos seleksi.
Kabinet ini mengalami ganggung ketika kebijakan yang diambil berdampak pada banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Kabinet ini sendiri mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno ketika anggota Parlemen yang baru kurang memberikan dukungan kepada kabinet.
Kabinet Ali Sastramojoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut:
- Perjuangan pengembalian Irian Barat
- Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
- Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
- Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
- Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
- Pembatalan KMB
- Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif
- Melaksanakan keputusan KAA.
Pada masa kabinet ini muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan dan kekacauan di daerah yang semakin menguat, serta mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer di Sumater dan Sulawesi.
Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis kepercayaan daerah luar Jawa dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam melakukan pembangunan. Pembatalan KMB menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI mengakibatkan mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
Kabinet Djuanda (9 April 1957- 5 Juli 1959)
Program pokok dari Kabinet Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:
- Membentuk Dewan Nasional
- Normalisasi keadaan RI
- Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
- Perjuangan pengembalian Irian Jaya
- Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Pada masa kabinet Juanda, terjadi pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang menghambat hubungan antara pusat dan daerah. Untuk mengatasinya diadakanlah Musyawarah Nasional atau Munas di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56 tanggal 14 September 1957.
Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah Republik Indonesia. Munas selanjutnya dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan (munap) pada bulan November 1957.
Tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Cikini. Keadaan negara memburuk pasca percobaan pembunuhan tersebut, banyak daerah yang menentang kebijakan pemerintah pusat yang kemudian berakibat pada pemberontakan PRRI/Permesta.
Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan kedaulatan Indonesia dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia bertambah luas sampai 13 mil yang sebelumnya hanya 9 mil.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Akhir Masa Demokrasi Liberal di Indonesia.
Kekacauan politik yang timbul karena pertikaian partai politik di Parlemen menyebabkan sering jatuh bangunnya kabinet sehinggi menghambat pembangunan. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga Negara Indinesia tidak memiliki pijakan hukum yang mantap. Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masalah utama yang dihadapi konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan-golongan dalam konstituante. Sekelompok partai menghendaki agar Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai lainnya menghendaki agama Islam sebagai dasar negara.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mengambil kebijakan untuk mengatasi kemelut politik. Oleh karena itu pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut;
- Pembubaran Konstituante.
- Berlakunya kembali UUD 1945.
- Tidak berlakunya UUDS 1950.
- Pembentukan MPRS dan DPAS.
Belum ada Komentar untuk "SEJARAH INDONESIA KELAS 12 : SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK DAN EKONOMI MASA DEMOKRASI PARLEMENTER (1950-1959)"
Posting Komentar
Tinggalkan komentar terbaik Anda...