MATERI FIQIH KELAS 12 : SUMBER ISLAM YANG DIPERSELISIHKAN
Kamis, Agustus 31, 2017
Tambah Komentar
1. Istihsan Sumber Fiqh Yang Tidak Disepakati
Secara harfiyah, istihsan diartikan
meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu menganggapnya
kebaikan.
Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah sebagai berikut:
Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah sebagai berikut:
a) Menurut
Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz I: 137, “Istihsan adalah semua hal
yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya”.
b)
Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu keadilan
terhadap hukum dan pandangannya karena ada dalil tertentu dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
c) Abu
Ishaq Asy-Syatibi dalam mazhab Al-Maliki berkata, “Istihsan ialah pengambilan
suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat
global”.
d) Menurut Al-Hasan
Al-Kurkhi Al-Hanafi, “Istihsan ialah perbuatan adil terhadap sesuatu
permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang
lebih kuat yang membutuhkan keadilan.
e)
Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa Istihsan adalah perbuatan adil dalam
hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan lain-lain.
1. Macam-macam Istihsan
Ulama Hanafiyyah membagi istihsan kepada
enam macam, yaitu:
1. Istihsan bi al Nash (istihsan berdasarkan ayat atau
hadits). Maksudnya, ada ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda
dengan ketentuan kaidah umum. Misal istihsan dengan Sunnah Rasul adalah dalam
kasus orang makan dan minum karena lupa keika ia sedang berpuasa. Menurut
kaidah umum, puasa orang ini batal karena ia telah memasukan sesuatu ke dalam
kerongkongannya. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadits Rasulullah
SAW. yang mengatakan bahwa: “Siapa yang makan atau minum karena lupa tidak
batal puasanya, karena hal itu merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya.”
(H.R al-Tirmidzi)
2. Istihsan bi al-Ijma’ (istihsan yang didasarkan kepada
ijma’). Misalnya adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah
umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa lama seseorang mandi
dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan
maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat
menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa
menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai.
3. Istihsan bi al-qiyas al-khafiy (istihsan berdasarkan
qiyas yang tersembunyi). Misalnya, dalam masalah wakaf lahan pertanian. Menurut
ketentuan qiyas jalliy (qiyas yang nyata), wakaf ini sama dengan jual beli,
karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan
lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut
atau hak orang lain untuk mengalirkan air ke lahan pertaniannya melalui tanah
tersebut, tidak termasuk dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam
akad.
4. Istihsan bi al-Mashlahah (istihsan berdasarkan
kemaslahatan). Misalnya ulama Malikiyah mencontohkannya dengan kebolehan dokter
melihat aurat wanita dalam berobat. Menurut kaidah umum, seseorang dilarang
melihat aurat orang lain. Tetapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus
membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya, maka untuk kemaslahatan orang
tersebut, menurut kaidah istihsan seorang dokter boleh melihat aurat wanita
yang berobat padanya.
5. Istihsan bi al-‘Urf (istihsan berdasarkan adat
kebiasaan yang berlaku umum). Contohnya sama dengan contoh istihsan yang
berdasarkan ijma’, yaitu dalam masalah pemandian umum yang tidak ditentukan
banyak air dan lama pemandian itu digunakan oleh seseorang, karena adat
kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan jumlah air
yang dipakai.
6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan keadaan
darurat). Artinya, ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seorang
mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum. Misalnya dalam kasus sumur yang
kemasukan najis. Menurut kaidah umum, sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan
mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari
mata air, sulit untuk dikeringkan. Akan tetapi, ulama Hanafiyyah mengatakan
bahwa dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis tersebut cukup
dengan memasukan beberapa galon air ke dalam sumur itu, karena keadaan darurat
menghendaki agar orang tidak mendapat kesulitan dalam mendapatkan air untuk
beribadah dan kebutuhan hidupnya.
7. Kehujjahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil
dalam menetapkan hukum syara’.Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak
sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis beberapa
kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Dan
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat
dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki. Dalam beberapa kitab Ushul
disebutkan bahwa golongan Hanabillah juga mengakui adanya istihsan.
Jadi, menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagai ulama Hanabillah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
Jadi, menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagai ulama Hanabillah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a)
Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat
manusia, yaitu firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2: 185, yang artinya “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki
kesukaran bagi kamu.”
Dalam surat al-Zumar,39: 55 Allah berfirman yang artinya,
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunan kepadamu dari Tuhanmu”
Dalam surat al-Zumar,39: 55 Allah berfirman yang artinya,
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunan kepadamu dari Tuhanmu”
b)
Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:
“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik.” (H.R Ahmad ibn Hambal)
“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik.” (H.R Ahmad ibn Hambal)
c) Hasil
penelitian dari berbagai ayat dan hadits terdapat berbagai permasalahan yang
terperinci menunjukan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum
adakalnya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syari’at Islam
ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia.
Imam Syafi’I membatalkan dalil istihsan. Karena itu ia menguraikannya dalam pasal tersendiri dalam kitabnya Al-Umm dengan judul “Ibthalul Istihsan” (pembatalan dalil istihsan). Dicari alasan-alasan yang ia sebutkan dalam kitab tersebut, dapat diringkas di antaranya sebagai berikut:
Imam Syafi’I membatalkan dalil istihsan. Karena itu ia menguraikannya dalam pasal tersendiri dalam kitabnya Al-Umm dengan judul “Ibthalul Istihsan” (pembatalan dalil istihsan). Dicari alasan-alasan yang ia sebutkan dalam kitab tersebut, dapat diringkas di antaranya sebagai berikut:
·
Syari’ah
adalah nash dan kandungan nash (acuan kepada nash) melalui qiyas. Bagaimana
dengan istihsan? Apakah salah satu dari dua macam syari’at itu atau berada di
luar itu? Jika memang termasuk ke dalam salah satunya, maka tidak perlu
dibicarakan lagi. Tetapi jika di luar ketentuan itu, maka berarti Allah SWT
meninggalkan persoalan tanpa ada ketentuan hukumnya. Hal ini bertentangan
dengan firman-Nya yang artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa
ia akan dibiarkan begitu saja”, (Q.S 75: 36).Dengan demikian,
istihsan yang ternyata bukan merupakan qiyas atau penerapan nash, bertentangan
dengan ayat tersebut.
·
Banyak
ayat al-Qur’an yang memerintahkan agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
melarang mengikuti hawa nafsu; dan memerintahkan kepada kita ketika terjadi
pertentangan agar kembali kepada kitabullah. Allah SWT berfirman yang
artinya “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”.Sementara
istihsan tidak termasuk Kitab atau Sunnah, tidak pula merujuk kepada Kitab dan
Sunnah, akan tetapi di luar pada itu. oleh karena itu, ia tidak bias diterima
sebagai sumber hukum kecuali jika didukung dengan adanya dalil dari Al-Qur’an
dan Sunnah yang menunjukan dapat diterimanya dalil ini. Sedang tidak terdapat
satu dalil pun yang menunjukan hal itu
·
Nabi
Muhammad SAW tidak pernah memberi fatwa dengan menggunakan istihsan. Beliau
tidak pernah berpendapat berdasarkan hawa nafsu. Ketika ditanya tentang seorang
lelaki yang berkata kepada istrinya: “Kamu bagiku mirip punggung ibuku”, beliau
tidak memberikan fatwa berdasarkan istihsan, akan tetapi beliau menuggu sampai
turun ayat tentang zhihar beserta kafaratnya.Jika ada
seseorang yang memberi fatwa dengan kedalaman perasaan fiqhnya atau dengan
istihsan, maka pasti yang pertama melakukannya adalah Nabi Muhammad SAW,
sayyidul mursalin. Akan tetapi ternyata ia tidak melakukannya. Atas dasar ini
lah, kita wajib menghindarkan diri menggunakan istihsan tanpa adanya topangan
dari nash. Sebab Rasulullah adalah panutan yang baik (uswatun hasanah) bagi
kita.
·
Istihsan
adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja. Jika boleh
meninggalkan nash dan qiyas dan mengambil dalil yang lain, maka hal ini berarti
membolehkan seseorang yang tidak bisa memahami nash atau qiyas menetapkan hukum
berdasarkan istihsan, karena mereka juga memiliki akal. Akibatnya, akan
bermunculan fatwa-fatwa hukum didasarkan pada pendapat akal semata, sekaligus
merupakan upaya pengabaian terhadap nash.
·
Rasulullah
SAW. telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada di daerah ketika mereka
menetapkan hukum berdasarkan istihsan mereka. Misalnya Rasulullah SAW. mencela
tindakan Usamah Ibn Zaid yang telah membunuh seorang kafir yang telah
mengucapkan syahadat. Sikap ini diambil Usamah, karena orang tersebut mau
mengucapkan syahadat tatkala ia telah diancam dengan pedang untuk dibunuh.
Sikap orang ini dalam pandangan Usamah, tidak benar-benar mau beriman. Sikap
itu dipandang Usamah sebagai mempermainkan syahadat, karenanya, dengan sangka
baik (istihsan) ia berijtihad dan membunuh orang tersebut. Akn tetapi, sikap
dan keputusan Usamah ini dicela oleh Rasulullah SAW.
·
Istihsan
tidak mempunyai kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat
dipertanggunjawabkan. Oleh sebab itu, tidak bisa pula dipertanggungjwabkan
secara syar’i sehingga tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
Alasan-alasan yang dikemukakan Imam Syafi’i di atas tidak menyangkut istihsan yang diperkenalkan Mazhab Hanafy, kecuali yang berhubungan dengan istihsan ‘urf. Memang dimasukkannya‘urf ke dalam salah satu sumber untuk istinbath hukum masih diperselisihkan di antara ulama-ulama dari Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanafy. Sehubungan dengan itu, selain istihsan ‘urf semua macam istihsan yang ditawarkan Mazhab Hanafy tidak mendapatkan penolakan dari Imam Syafi’I, karena didasarkan pada sumber-sumber yang dapat ditolerir oleh Imam Syafi’i.
Alasan-alasan yang dikemukakan Imam Syafi’i di atas tidak menyangkut istihsan yang diperkenalkan Mazhab Hanafy, kecuali yang berhubungan dengan istihsan ‘urf. Memang dimasukkannya‘urf ke dalam salah satu sumber untuk istinbath hukum masih diperselisihkan di antara ulama-ulama dari Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanafy. Sehubungan dengan itu, selain istihsan ‘urf semua macam istihsan yang ditawarkan Mazhab Hanafy tidak mendapatkan penolakan dari Imam Syafi’I, karena didasarkan pada sumber-sumber yang dapat ditolerir oleh Imam Syafi’i.
1. Mashlahah Mursalah
a)
Pengertian Mashlahah
Secara etimologi, mashlahah sama dengan
manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau
suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara terminologi, menurut
Imam Ghazali, mashlahah ialah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam
rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Tujuan syara’ yang harus
dipelihara tersebut menurut Imam Ghazali ada lima bentuk, yaitu: memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan sesuatu
perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di
atas, maka dinamakan mashlahah. Di samping itu, upaya untuk menolak segala
bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut,
juga dinamakan mashlahah.Dengan demikian maslahah mursalah adalah suatu
kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada
pembatalnya. Sedangkan alasan dikatakan mursalah, karena syara’ memutlakkannya
bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ yang menjadi penguatnya ataupun
pembatalnya.
b)
Macam-macam Mashlahah
Para ahli ushul fiqh mengemukakan
beberapa pembagian mashlahah jika dilihat dari beberapa segi. Dilihat dari
segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh membaginya
kepada tiga macam, yaitu:
1. Mashlahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang
beerhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Kelima kemaslahatan ini disebut disebut dengan
a-lmashlahah al-khamsah.
2. Mashlaha al-Hajiyah, yaitu kemashlahatan yang
dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok sebelumnya yang berbentuk
keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.
Misalnya, diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi
musafir.
3. Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang
sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan
sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi.
Dilihat dari segi kandungan mashlahah,
para ulam ushul fiqh membaginya kepada:
1. Mashlahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang
menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk
kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat.
Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak
aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Mashlahah al-Khashshah, yaitu kemaslahatan pribadi dan
ini sangat jarang sekali, seperti kemashlahatan yang berkaitan dengan pemutusan
hubungan perkwinan seseorangyang dinyatakan hilang (maqfud).
Dilihat dari segi berubah atau tidaknya
mashlahah, menurut Muhammad Mushthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di
Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1. Mashlahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang
bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya berbagai kewajiban
ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
2. Mashlahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang
berubah-rubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu dan subjek hukum.
Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adat
kebiasaan, seperti dalam masalah makan yang berbeda-beda antar satu daerah
dengan daerah lainnya.
Dilihat dari keberadaan mashlahah
menurut syara’ terbagi kepada:
1. Mashlahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang
didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk
dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya, hukuman atas orang yang meminum
minuman keras dalam hadits Rasulullah SAW. dipahami secara berlainan oleh ulama
fiqih, disebabkan perbedaan alat pukul yang digunakan Rasulullah SAW. ketika
melaksanakan hukuman tersebut.
2. Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak
oleh syara’, karena bertentangan dengan syara’.
3. Mashlahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang
keberadaannya tidak didukung oleh syara’ dan tidak pula dibatalkan, tetapi
didukung oleh sekumpulan makna nash.
1. Kehujahan Mashlahah
Golongan Maliky sebagai pembawa bendera
mashlahah mursalah, mengemukakan alasannya, yaitu seperti praktek para sahabat
yang telah menggunakan mashlahah mursalah, di antaranya sahabat mengumpulkan
al-Qur’an ke dalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak pernah dilakukan di
masa Rasulullah SAW. Alasan yang mendorong mereka melakukan pengumpulan itu
tidak lain kecuali semata-mata karena maslahat, yaitu menjaga al-Qur’an dari
kepunahan karena meninggalkannya sejumlah besar hafidh dari generasi sahabat.
Adapun alasan dari golongan yang tidak memakai dalil maslahat, dapat teringkas diantaranya sebagai berikut, mashlahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan nafsu dan cenderung mencari keenakan, dan mereka juga beralasan seandainya memakai maslahat sebagai sumber hukum pokok yang berdiri sendiri, niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan negara, bahkan perbedaan perorangan dalam suatu perkara.
Adapun alasan dari golongan yang tidak memakai dalil maslahat, dapat teringkas diantaranya sebagai berikut, mashlahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan nafsu dan cenderung mencari keenakan, dan mereka juga beralasan seandainya memakai maslahat sebagai sumber hukum pokok yang berdiri sendiri, niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan negara, bahkan perbedaan perorangan dalam suatu perkara.
1. Syarat-Syarat Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah mempunyai persyaratan
yang jelas untuk dijadikan sebagai proses istinbath hukum:
1. Mashlahah ini tidak berbenturan dengan dalil nash
maupun ijma’
2. Mashlahah ini keberadaannya harus berpijak pada
pemeliharaan maqâshid syari’ah
3. Sebuah kemashlahatan tidak dapat merubah
ketetapan hukum yang sudah ada yakni dalam dalil nash dan ijmâ’, seperti
menjalankan kewajiban, mengharamkan sesuatu yang haram, sanksi hukum
4. Sebuah kemashlahatan tidak dapat berbenturan dengan
kemashlahatan lain yang lebih unggul dan kuat keberadaannya.
Sedangkan menurut syaikh Wahbah Zuhaili
syarat-syarat mashlahah mursalah adalah:
1. Mashlahah mursalah harus berkesesuaian dengan
maqâshid syarî’ah sehingga tidak menghilangkan keberadaan dalil nash maupun
ijmâ’ yang bersifat qath’i. Dan juga berkesesuaian dengan mashlahah yang telah
ditunjukkan keberadaannya oleh Allah dan RasulNya. Kemashlahatan yang
diambil sebagai hukum itu sifatnya tidak aneh maupun mengada-ada. Maka
keberadaan mashlahah yang mempunyai sifat mengada-ada dan tidak jelas maksudnya
harus ditolak. Seperti seorang yang kaya raya menyetubuhi istrinya di siang
hari bulan ramadhan, maka dia harus puasa dua bulan berturut-turut dan tidak
ada alasan demi kemashlahatan kemudian dia mengganti puasanya dengan memerdekakan
budak.
2. Mashlahah mursalah harus rasional. Yakni ketika
dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa menerimanya yakni dengan mendatangkan
manfaat dan menolak kerusakan, seperti: saat ingin mengajukan perjanjian kredit
dalam perekonomian perbankan harus diadakan survey rumah tinggal, pekerjaan dan
penghasilan bulanan, hal ini adalah untuk menghindari adanya penipuan, sehingga
perjanjian yang dilakukan mendatangkan manfaat bagi kedua belah pihak dan
menjauhkan dari kemadharatan.
3. Mashlahah mursalah harus universal. Yakni harus
mencakup semua kalangan umat Islam tidak boleh hanya untuk kepentingan sebagian
orang. Karena syarî’ah Islam datang demi kepentingan seluruh umat dan tidak
membeda-bedakan jenis rasa, suku, bangsa dan agama. Seperti memberikan perlakuan
khusus bagi orang dari suku X karena dia satu suku dengan presidennya,
gubernurnya, menterinya dan sebagainya, hal ini tidak dapat disebut sebagai
mashlahah.
1. Contoh Pelaksanaan Mashlahah Mursalah
2. Pemberian upah minimum bagi pekerja sektor riil. Ketika
melihat pada nash, maka tidak dijumpai mash yang menunjukkan pada hukum
masalah, al-Qur’ân dan al-sunnah tidak memberi perintah kepada masalah ini,
tetapi hal ini menjadi kebutuhan penting bagi para pekerja sektor riil seperti
pekerja pabrik, karyawan supermarket dan sebagainya yang bekerja selama delapan
jam lebih, dan mereka berhak mendapatkan upah yang layak untuk mencukupi
kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Sehingga negara dalam
hal ini pemerintah Republik Indonesia wajib memberikan upah minimum yang layak
bagi para pekerja tersebut, demi kemashlahatan atas kehidupannya.
3. Memasang rambu-rambu lalu lintas, lampu isyarat, lampu
penerangan jalan, dalam nash tidak dijumpai adanya perintah ini, tetapi demi
kemashlahatan dan kenyamanan pengendara kendaraan maka harus dipasang
rambu-rambu lalu lintas tersebut dan demi menghindari kerusakan, seperti
kecelakaan, perampokan dan sebagainya.
4. Membuat kartu tanda penduduk, paspor, surat nikah
sebagai identitas dari seseorang, kemashlahatannya adalah untuk mengetahui
identitas yang jelas dari pemegang surat tersebut demi keberlangsungan hidup,
hal ini juga demi menghindari kerusakan misalnya saat seseorang tersesat
dijalan dan tidak mempunyai identitas sama sekali maka akan menyulitkan bagi
orang lain untuk memberi tahu dimana keberadaannya (walaupun hal ini bisa
diumumkan melalui media audio visual).
5. Memberikan hukuman mati dan hukuman potong
tangan bagi terpidana Koruptor mempunyai arti penting dalam prespektif
mashlahah mursalah, karena hal ini memberikan nilai manfaat yang lebih dalam
rangka menjaga kewibawaan maqashid syari’ah yakni memelihara harta, sehingga
memberikan efek jera yang luar biasa kepada masyarakat untuk melakukan tindakan
preventif dari melakukan tindak pidana korupsi.
1. ‘Urf
‘Urf menurut bahasa berarrti mengetahui,
kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik
dan diterima oleh pikiran yang sehat.Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling
dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
Ditinjau dari bentuknya ada dua macam:
a) Al Urf
al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm (daging)
dalam hal ini tidak termasuk daging ikan.
b) Al Urf
al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli
dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a) Al Urf
As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat diterima, karena tidak bertentangan
dengan nash hukum syara’
b) Al Urf
al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum
syara.
Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada
dua macam :
a) Al Urf
Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang.
b) Al urf
al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf
adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam:
Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam:
a) Tidak
ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
b)
Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak
mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
c) Telah
berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
Kehujjahan ’urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang
shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim
untuk menetapkan hukum atau keputusan.
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.
Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim
dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan
mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu
jelas karena bertentangan dengan syarat nash maupun ketentuan umum nash.
Ingin Mendapatkan Materi ini? Silahkan Download melalui Link dibawah ini:
Belum ada Komentar untuk "MATERI FIQIH KELAS 12 : SUMBER ISLAM YANG DIPERSELISIHKAN"
Posting Komentar
Tinggalkan komentar terbaik Anda...