MAKALAH AQIDAH AKHLAK KELAS 11 : MENGHINDARI AKHLAK TERCELA


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Akhlak Tercela adalah perbuatan/perilaku yang tidak Diridhoi oleh Allah SWT. Seseorang yang berbohong, sombong, pamer, menyiksa, menyakiti dan berbagai bentuk ketidakadilan seperti menindas, mengambil hak orang lain dengan paksa dan lain-lain.
Itu semua adalah perbuatan tercela. Sungguh moral manusia sudah sangat rusak akibat akhlak-akhlak tercela tersebut. Seseorang tidak akan mendapatkan kebahagiaan, jika ia selalu melakukan perilaku-perilaku tercela. Baik ketika di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan yang diperoleh dari perilaku tercela tersebut hanya bersifat sementara. Dan akan mendapat kesedihan dan penyesalan yang tak ada hentinya.
Disisi lain, Al-Qur’an juga mengemukakan dan memberi peringatan tentang akhlak-akhlak tercela yang dapat merusak iman seseorang dan pada akhirnya akan merusak dirinya serta kehidupan masyarakat. Seperti akhlak buruk kaum Quraisy dahulu untuk memojokkan kebenaran yang disampaikan Rasulullah sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Quraisy seperti Abu jalal, Walid bin mugirah, Akhnas bin syariq, Aswad bin abdi Yaquts. Oleh karena itu, iman merupakan suatu pengakuan terhadap kebenaran dan harus dipelihara serta di tingkat kan kualitas nya melalui sikap dan perilaku terpuji.
Sifat terpuji dan tercela yang tertanam dalam diri manusia selalu berdampingan dan terlihat dalam perilaku sehari-hari. Apabila perilaku seseorang menampilkan kebaikan, maka terpujilah sikap orang tersebut. Sebaliknya, apabila perilaku seseorang menampilkan kebaikan atau kejahatan, maka tercelalah sikap orang tersebut. Sifat tercela sangat dilarang oleh Allah SWT dan harus dihindari dalam pergaulan sehari-hari karena akan merugikan diri sendiri maupun orang lain.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian akhlak tercela?
2.      Apa macam-macam akhlak tercela dan bahaya bagi kehidupan manusia serta cara mengobatinya?
C.      Tujuan
1.      Mengetahui pengertian akhlak tercela.
2.      Mengetahui macam-macam dan bahaya bagi kehidupan manusia serta cara mengobatinya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Akhlak Tercela
Menurut bahasa akhlak merupakan tingkah laku, tabiat atau perangai. Sedangkan akhlak menurut istilah merupakan suatu pengetahuan yang menjelaskan mengenai perbuatan yang baik serta buruk, mengatur prilaku manusia, serta mampu menentukan perbuatan akhir. Pada dasarnya akhlak sudah melekat pada diri seseorang yang berasal dari prilaku serta perbuatan. Nah, jika perilaku yang ditunjukan buruk maka otomatis akhlak tersebut bisa dikatakan akhlak buruk. Sedangkan jika yang ditampilkan baik, maka otomatis akhlak tersebut baik.
Akhlak buruk atau tercela merupakan suatu sikap atau perbuatan jelek yang dilarang oleh agama. Karena pada dasarnya agama mengajarkan kita untuk selalu bersikap baik terutama menjaga perilaku serta perbuatan yang akan kita lakukan. Dengan berlandaskan agama maka sifat tercela ini sebenarnya bisa dicegah karena ancaman serta sangsi yang akan didapatkan dalam waktu cepat maupun dikehidupan selanjutnya. Akhlak tercela ini merupakan cerminan bahwa seseorang tersebut mempunyai prilaku yang kurang baik, hal tersebut bisa saja disebabkan karena kita mulai jauh pada aturan – aturan agama.
B.       Macam-macam dan bahaya bagi kehidupan manusia serta cara mengobatinya.
1.         Hasad
Menurut sebagian besar ulama hasad (dengki atau iri hati) merupakan akar dari semua penyakit hati. Karena sifat ini merupakan manifestasi dosa pertama serta penyebab pertama ketidakpatuhan terhadap Allah. Sebagaimana sifat setan yang tidak mau mematuhi perintah Allah untuk memberi hormat kepada Nabi Adam As karena ia merasa iri hati terhadap Nabi Adam yang dipilih Allah untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Oleh karena itu, setan selalu menebarkan (hasid atau hasud) rasa iri hati dalam diri manusia agar menyandang sifat yang sama dengannya.[1]
Pada dasarnya Hasad merupakan akibat dari dendam, dan dendam merupakan akibat dari kemarahan dan kebencian terhadap apa yang dlihatnya (tentang kondisi kebaikan keadaan yang dicemburui). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah RA:
الْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Hasad menghapus kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”

Pada hakikatnya hasad adalah membenci kenikmatan Allah kepada saudaranya, akan tetapi tentang hasad ini dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada saudaranya dan ia menginginkan kenikmatan itu hilang dari-nya. Ini merupakan hasad yang paling tercela. Contoh hasad semacam ini terdapat dalam firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 109:

“sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Ayat diatas mengabarkan bahwa keinginan mereka agar hilang kenikmatan iman merupakan hasad.
Kedua, seseorang yang membenci kenikmatan yang Allah bagi pada saudaranya dan tidak ada keinginan nikmat itu hilang darinya tetapi ia menginginkan sebagaimana yang ada pada saudaranya. Hal semacam ini disebut dengan ghibthah.[2] terkadang untuk hasad jenis kedua ini disebut dengan al-munafasah (berlomba), berlomba dalam permasalahan yang disenangi untuk mendapatkan dan memilikinya. Akan tetapi munafasah ini tidak mutlak tercela, bahkan terpuji bila dalam kebaikan.[3]Mengenai jenis yang kedua ini dijelaskan oleh Allah dalam firmannya QS An-Nisa’ ayat 32:


“ Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Yang dimaksud dengan ayat diatas adalah larangan terhadap keinginan berpindahnya kenikmatan itu kepadanya. Adapun berharap agar Allah memberikan kenikmatan seperti itu kepadanya tidaklah tercela jika dalam urusan agama. [4]
Dalam kitab Durratun Nasihin disebutkan bahwa bahaya yang ditimbulkan dari rasa dengki atau hasad ini ada delapan macam, yaitu:
a)        Merusak ketaatan.
b)        Menjuruskan kepada perbuatan maksiat, karena hasad tidak lepas dari bohong, caci maki, fitnah, dan ghibah. Hal ini diperkuat oleh Tha’labah:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَتَحَاسَدُوْا
“Manusia akan tetap dalam kebaikan selagi mereka tidak saling dengki satu sama lain.”

c)        Meniadakan syafa’at, seperti sabda Nabi Saw:
لَيْسَ مِنِّي ذُوْحَسَدٍ وَلاَ ذُوْنَمِيْمَةٍ وَلاَ ذُوْكَهَانَةٍ وَلاَ أَنَا مِنْهُ
“Bukanlah termasuk umatku orang yang mempunyai sifat dengki, suka adu domba, mempunyai ilmu kedukunan dan aku pun tidak termasuk mereka.”
d)       Masuk kedalam neraka
e)        Menyebabkan suka menggoda/mengganggu orang lain.
f)         Mengakibatkan rasa letih dan takut yang tidak ada gunanya bahkan selalu dibarengi dengan perbuatan dosa dan maksiat.
g)        Meyebabkan buta hati, dimana ia tidak dapat menerima dan memahami hukum-hukum Allah dengan baik.
h)        Menyebabkan kegagalan yang pada akhirnya tidak bisa mencapai apa yang menjadi maksudnya dan selalu dikalahkan oleh lawannya.[5]
Menurut Imam Mawlud sebagaimana yang dikutip oleh Hamza Yusuf, ada beberapa cara untuk mengobati penyakit iri hati, yaitu: 1) melawan hawa nafsu yang dapat menarik seseorang dari kebenaran dengan cara melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi objek iri hati, 2) menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa iri hati tidak akan pernah memberikan manfaat bagi pelakunya, 3) menyadari bahwa apa yang seseorang peroleh sesungguhnya dari Allah dan juga akan kembali kepada-Nya, 4) Taqwa, memiliki perasaan takut terhadap Allah dan iman yang tinggi sehingga dapat menjauhkan seseorang terhadap dugaan-dugaan yang salah atas ketidaksesuaian karunia.[6]
2.         Riya’
Riya’ itu berasal dari kata ru’yah yang berarti melihat. Menurut imam Ghazali riya’ asalnya mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Riya’ merupakan perilaku terkeji ketika seseorang melakukan ritual ibadahnya hanya untuk memperoleh tempat dihati orang lain. Sifat seperti ini termasuk salah satu bentuk kesyirikan yang dibenci oleh Allah SWT. Hal itu ditunjukkan dalam firman-Nya QS. Al-Ma’un ayat 4-6:

“Maka celakalah orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap sholatnya yang berbuat riya.”

Rasulullah Saw mengibaratkan perilaku seperti ini sebagai “syirik kecil.” Sebagaimana sabda beliau, “Aku tidak khawatir seandainya kalian akan menyembah matahari, bintang-bintang, bulan. Namun, aku lebih khawatir kalian beibadah bukan karena Allah, melainkan karena riya’.”[7]
Akar sumber riya’ adalah keinginan, yakni menginginkan sesuatu dari sebuah sumber selain Allah (yaitu Manusia). Misalnya, keinginan untuk selalu dipuji, pandangan masyarakat akan kebaikannya, kedudukannya, dan lain-lain. Adapun yang menjadi tanda-tanda riya’ menurut Imam Mawlud adalah:
a.         Malas dan kurang melakukan sesuatu yang semata-mata karena Allah swt. Misalnya, ketika berada di rumah tidak ada rasa keinginan untuk membaca al-Qur’an, namun ketika banyak orang seperti di masjid ia membaca al-Qur’an dengan suara yang merdu.
b.        Meningkatkan perilaku-perilaku ketika dipuji dan menurunkannya ketika tidak ada pujian.[8]
Riya’ biasanya dikenal dengan sikap menampakkan ibadah atau ketaatan di hadapan orang banyak. Namun, ada juga riya’ yang sifatnya tersembunyi, yaitu sikap ketika seseorang menghindari riya’ tetapi justru melakukannya untuk riya’. Misalnya, seseorang sengaja menghindari khalayak agar tidak disangka riya’. Kemudian ia sengaja berkhalwat dan menyendiri. Namun, di balik semua itu, ia justru ingin dilihat dan dipuji oleh orang lain. Disanalah terdapat riya’ yang tersembunyi.[9]
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa penyakit riya’ dapat menghancurkan pahala seseorang dan merupakan sebab dari kemurkaan Allah. Riya’ juga merupakan salah satu perbuatan dosa besar. Oleh karena itu sesorang harus bersaha untuk menghilangkan penyakit ini dari dalam hatinya. Cara untuk menghindari perbuatan seperti ini seseorang yang beriman harus menyadari bahwa sesungguhnya Allah adalah dzat yang paling layak untuk dipuji. Semestinya kita harus merasa malu ketika dipuji karena Dia yang menganugerahkan karunia yang besar sehingga aib seorang hamba tertutup dan kebaikannya tampak dimata manusia. Jika saja Allah menampakkan aib tersebut walau hanya kecil saja, maka tidak akan ada orang yang yang mau memuji. Sehingga dengan begitu kita dapat memurnikan dari perburuan yang sia-sia dan riya’.[10] Adapun cara untuk menyembuhkan penyakit seperti ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a.    Melepaskan penyakit riya’ sampai akar-akarnya, yaitu cinta kedudukan dan jabatan.
b.    Mencegah akibat-akibat buruk yang muncul dari penyakit riya’ ketika beribadah.[11]



3.         Hubbud Dunya
Hubbud Dunya adalah cinta dunia yang berlebihan, merupakan induk segala kesalahan (maksiat) serta perusak agama. Yaitu mencintai kehidupan dunia dan melalaikan kehidupan akhirat.
Penyakit inilah yang menyebabkan seorang muslim menjadi lemah. Sehingga musuh-musuh dengan leluasa menebar rasa takut dan sifat pengecut dalam dirinya, syaitan-syaitan (manusia dan jin) dengan mudah menyesatkannya. Sementara orang-orang kafir dan musuh Islam lainnya memandangnya dengan sebelah mata. Mencintai dunia akan mengakibatkan banyak melakukan kesalahan dan dosa ketika hidup di dunia.
Firman Allah SWT dalam surat Al-Hadid ayat 20

“ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
Adapun obat untuk menghindari dari perbuatan Hubbud Dunya yaitu : Nabi kita Muhammad Saw. telah memberikan wasiatnya, yang merupakan formula bagi jenis penyakit tersebut. Rasulullah Saw. Bersabda :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم  أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِى الْمَوْتَ
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Perbanyaklah oleh kalian mengingat penghancur segala kelezatan, yaitu kematian.” (HR. An-Nasaa’i No. 1824, Tirmidzi No. 2307 dan Ibnu Majah No. 4258 dan Ahmad)


4.         Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun secara istilah yaitu beribadah dengan benar dan ikhlas karena Allah, kemudian menceritakan amal perbuatannya kepada orang lain[12]. Adapun Sum’ah mempunyai hubungan erat sekali dengan riya’, bahkan tergolong sama. Akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya, Perbedaan antara riya’ dan sum’ah menurut Al-Hafizh yaitu: riya’ adalah memperlihatkan amal dan perbuatan dengan maksud mendapatkan pujian seperti shalat, adapun sum’ah merupakan amalan yang diperdengarkan kemudian menceritakan perbuatannya (sudah dikerjakan dengan penuh keikhlasan, namun pada akhirnya mengharapkan pujian yang sifatnya duniawi).
Perbedaan riya’dan sum’ah ialah: Riya’ berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain, Riya’ berkaitan dengan indra mata, sedangkan sum’ah berkaitan dengan indra telinga[13]. Kata sum’ah berasal dari kata samma’a (memperdengarkan). Kalimat samma’an naasa bi ‘amalihi digunakan jika seseorang menampakkan amalnya kepada manusia yang semula tidak mengetahuinya.[14]
Dalam Al-Qur’an Allah telah mengingatkan kepada kita mengenai sifat sum’ah dan riya’ ini dalam QS. Al-Baqarah : 264

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia...”
5.         Ujub
Ujub merupakan sifat tercela dimana seseorang membanggakan diri sendiri karena merasa memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Seperti ujubnya orang alim yang merasa dirinya telah mencapai kesempurnaan dalam ilmu, perbuatan, dan akhlak. Orang yang menyandang sifat ini biasanya ia melupakan bahwa nikmat yang ia peroleh adalah pemberian dari Allah melainkan dari usahanya sendiri.[15] Sifat ujub selalu diikuti dengan idlal (mengharap balasan). Oleh karena itu, setiap orang yang melakukan idlal pasti ia memiliki sifat ujub. Akan tetapi, tidak semua orang yang ujub melakukan idlal.  Orang yang memiliki sifat ini sangat dibenci oleh Allah Swt. sebagaimana firman-Nya:

Artinya: ” .....dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun....” (Qs. At-Taubah:25)

Artinya: “Janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (Qs. Al-Muddatstsir: 6)

“Maka Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”.

Bahkan Rasululullah Saw juga bersabda:
ثَلاَثُ مُهْلِكَاتٍ: شُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ (رواه الطَابَرى)
“Tiga perkara yang membawa kepada kehancuran: pelit, mengikuti hawa nafsu, dan suka membanggakan diri.” (Ath-Thabari, hadits hasan)

             Ujub membawa pengaruh negatif yang sangat banyak, ia dapat mengahantarkan ke arah kesombongan. Di hadapan Allah, orang yang memiliki sifat ujub menyebabkan ia menjadi lupa dan meemehkan dosa-dosanya karena merasa telah melakukan ibadah yang sempurna sehingga beranggapan dosa yang dilakukan tidak ada apa-apanya dengan ibadah yang telah dilakukan. Ujub dapat mengakibatkan seseorang lupa bahwa nikmat yang ia peroleh berasal dari Allah sehingg menjadikannya kufur nikmat.[16]
Adapun untuk mengobati penyakit ujub seseorang harus menyadari bahwa kenikmatan yang ia peroleh adalah dari Allah yang merupakan buah dari cinta dan ibadah bukan karena ia berhak menerimanya dan Allah wajib melakukannya. Kemudiancara yang lainnya harus selalu menanamkan ketakuak akan hilangnya nikmat itu akibat tindakan ujub yang dilakukan.[17]
6.         Takabur
Takabur atau sombong secara bahasa artinya membesarkan diri atau menganggap dirinya lebih dari orang lain. Pengertian takabur secara istilah adalah suatu sikap mental yang memandang rendah terhadap orang lain, sementara ia memandang tinggi dan mulia terhadap dirinya sendiri.[18] Sifat takabur merupakan sifat yang dimiliki oleh Iblis. Sifat inilah yang menyebabkan iblis diusir dari surga dan diturunkan derajatnya hingga menjadi makhluk yang sangat rendah. Sifat takabur Iblis terlihat ketika ia menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam a.s. Penolakan Iblis ini disebabkan ia merasa dirinya lebih tinggi dan mulia daripada Nabi Adam a.s. ”Aku diciptakan dari api, sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Mengapa aku harus sujud kepada makhluk yang lebih rendah daripadaku?” sumbar Iblis dengan congkak. Oleh karena kesombongannya, akhirnya Iblis diusir Allah dan direndahkan derajatnya.
Takabur menurut penjelasan Rasulullah adalah himpunan dari dua sifat yaitu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain, sebagaimana sabdanya, ”Takabur adalah (sifat) orang yang mengingkari/menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (H.R. Abu Daud dan Hakim)
Dari pengertian takabur di atas dapat kita temukan ciri-ciri orang yang takabur, sebagai berikut.
a.    Suka memuji diri dan membanggakan kemuliaan diri, harta, ilmu, keturunan dan lain sebagainya.
b.    Meremehkan orang lain.
c.    Suka mencela dan mengkritik orang lain dengan kritik yang menjatuhkan.
d.   Memalingkan muka ketika bertemu dengan orang lain.
e.    Berlagak dalam berbicara.
f.     Pemboros dalam harta benda.
g.    Berlebih-lebihan dalam berpakaian dan berhias.
Takabur merupakan salah satu akhlak yang tercela. Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan tentang keburukan sifat takabur tersebut, antara lain pada Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah al-A‘raf [7]: 146

Artinya : Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.

Takabur dapat dibagi menjadi dua, yaitu takabur lahir dan batin.
1)        Takabur lahir, yaitu perbuatan yang dilakukan dan ditunjukkan oleh anggota badan, seperti gerak gerik tubuh, raut muka, dan tutur kata.
2)        Takabur batin, yaitu sifat dalam jiwa yang tidak terlihat. Takabur batin dilakukan oleh hati dan perasaan yang menganggap diri lebih tinggi dan menganggap orang lain lebih rendah.
Kedua jenis takabur ini sama-sama berbahaya dan bisa menyebabkan pelakunya terjerumus api neraka. Oleh karena itu, kita harus menjauhi kedua jenis takabur ini dalam kehidupan sehari-hari. Kenapa demikian? Di antara bahaya dari sifat takabur antara lain sebagai berikut.
a.         Merusak pergaulan manusia, merenggangkan hubungan silaturahmi dan menghalangi kasih sayang serta sikap tolongmenolong. Orang yang sombong pasti dibenci orang lain karena kesombongannya. Mereka akan segan berhubungan dengan dia. Hal ini berarti mengurangi pergaulan.
b.        Menumbuhkan permusuhan karena orang yang takabur dalam berteman selalu membeda-bedakan dan mendiskriminasikan orang atau kelompok lain yang tidak sederajat dengan diri atau kelompoknya.
c.         Sifat takabur akan menumbuhkan sifat-sifat buruk lainnya, seperti dengki kepada orang lain, pemarah, pembohong, khianat, dan sebagainya. Orang yang takabur tidak segansegan menggunakan sifat-sifat buruk tersebut demi mempertahankan kemuliaannya.
d.        Sifat takabur akan menjadikan orang tidak berkembang dan beku. Oleh karena usaha-usaha melakukan perbaikan terhadap dirinya tidak ada, orang yang takabur beranggapan bahwa dirinya sudah baik, hebat, terhormat, mulia, istimewa, dan sempurna.
e.         Sifat takabur menjadi penghalang masuk surga karena menghalangi manusia berakhlak mulia yang merupakan pintu surga.
f.         Sifat takabur (sombong) mengakibatkan pemiliknya tidak mempunyai perasaan untuk mencintai dan menyayangi sesama saudara yang mukmin sebagaimana mencintai atau menyayangi dirinya sendiri.
g.        Orang yang takabur akan dimasukkan ke dalam neraka dan mendapatkan hukuman yang sangat berat karena yang berhak sombong hanyalah Allah. Sombong adalah selendang Allah. Barangsiapa yang berani memakai selendang-Nya, Allah akan murka dan menjatuhkan hukuman yang berat kepadanya.
h.        Orang yang takabur akan lupa diri, siapa dirinya, dari mana, dan hendak ke mana dia sebenarnya.
Dengan memperhatikan beberapa bahaya di depan dapat kita simpulkan bahwa sifat takabur tidak hanya membahayakan diri kita sendiri, tetapi juga orang lain. Orang yang bersifat takabur menjadi hina di hadapan Allah. Demikian pula di hadapan orang lain, justru akan dicampakkan. Seseorang yang menjauhi sifat takabur dengan sendirinya harus berusaha bersifat rendah hati/tawadu. Dengan dia memilih bersikap rendah hati, justru akan menguntungkan dirinya sendiri dan menumbuhkan kenyamanan bagi orang lain.
7.         Itba’ul Hawa
Secara bahasa Itba’ al-Hawa berarti mengikut hawa nafsu, sedang secara istilah yaitu orang yang lebih mengikuti jeleknya hati yang telah diharamkan oleh hukum syariat, itulah orang yang selalu mengikut hawa nafsu.
Dari definisi diatas dapat kita fahami bahwa itba’ al-hawa berarti mengikuti hawa nafsu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang hukum syara’, berbuat hal-hal yang dilarang agama. Dengan demikian, itba’ al-hawa merupakan pangkal perbuatan maksiat, sumber malapetaka dan kemungkaran. Orang yang bersikap demikian akan tersesat dari jalan Allah dan dikenai siksa di akhirat kelak. Oleh karena itu, hawa nafsu harus dikekang dan dikendalikan agar manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT.
Hawa nafsu menjalar pada diri seseorang laksana sebuah penyakit yang sangat ganas, bahkan lebih berbahaya dari virus (rabies)nya seekor anjing. Hawa nafsu lebih berbahaya karena tidak disadari oleh pengidapnya, tetapi ia lebih mematikan. Jika rabies dapat membinasakan jasad manusia(jasmani), maka hawa nafsu bisa menghancurkan jiwanya (rohani). Sehingga hatinya pun mati dan gelap gulita, dan pada akhirnya dia tidak lagi mampu menerima petunjuk dari Allah SWT.
Mengikuti hawa nafsu, orang yang lebih mengikuti jeleknya hati yang diharamkan oleh hukum syari’at. (As-Sad: 26)

” Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT juga telah menegaskan bahwa hawa nafsu merupakan bahaya laten bagi orang-orang yang berilmu, karena mereka bisa saja menjadi sesat walaupun berilmu. Sebabnya tak lain adalah karena mengikuti hawa nafsu. Sehingga ilmu yang turun dari Allah tak mampu membuatnya teguh di atas jalan Allah, seperti dalam Surah Al-Jatsiyah ayat 23 Allah berfirman:

Artinya :“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Imam Al-Ghazali membagi nafsu kepada empat bagian, yaitu:
a.         Keserakahan nafsu terhadap harta benda.
Seseorang yang telah mendapat anugerah Allah maka kewajiban baginya untuk selalu mensyukuri segala nikmat-Nya. Jika engkau menjadi orang kaya, maka syukurilah. Jika dirimu berkedudukan, manfaatkanlah kekuasaan dan kedudukanmu untuk memakmurkan rakyat, bukan memanfaatkan kuasa untuk mengumpul harta benda sampai tidak habis dimakan tujuh keturunan.
b.        Nafsu amarah akan membakar dan membutakan hati.
Cara terbaik untuk bisa mengendalikan nafsu amarah yang ada dalam diri sendiri dengan berusaha selalu bersabar dalam menghadapi kemarahan dan kezaliman orang lain, bersikap lapang dada, suka memaafkan dan bermurah hati. Sesungguhnya akhlak yang terpuji adalah bagi mereka yang mampu memaafkan kesalahan (kezaliman) orang lain terhadap diri kita.
Sebagaimana pesan rasul SAW: Ingat 2 perkara dan lupakan 2 perkara, yaitu:
Ingat kebaikan orang lain pada kita, dan ingat kezaliman kita pada orang lain, serta lupakan kebaikan kita pada orang, dan lupakan kezaliman orang lain pada kita, insya allah kita menjadi pribadi muslim yang sejati.
c.         Kesenangan duniawi mendorong nafsu.
Kesenangan duniawi merupakan racun pembunuh yang mengalir dalam urat. Manusia selalu diingatkan agar tidak terjerumus akan kesenangan duniawi, karena hal itu akan mendorong nafsu menjadi liar. Orang berlumba mengejar kuasa, tanpa memeperdulikan kaedah yang di ajarkan agama, apalagi norma-norma pekerjaan yang sebenarnya, yang terpenting ia dapat memperoleh kekuasaan walau dengan cara apapun.
d.        Nafsu syahwat.
Imam Al-Gazhali mengingatkan bahwa syaitan menggoda manusia di dunia ini melalui berbagai cara. Dan yang paling berbahaya ialah harta, wanita dan takhta (kekuasaan). Setan telah memasang perangkap godaannya, tidak sedikit manusia yang hancur dan rusak kehidupannya karena mencari kesenangan dunia semata.[19]
Adapun cara untuk menghindari/mengobati nafsu jahat ini adalah :
Dalam ilmu tasawuf, nafsu jahat dan liar sering disebut dengan istilah sifat madzmumah. Di antara sifat-sifat mazmumah itu seperti cinta dunia, tamak, sum'ah, riya', ujub, gila pangkat dan harta, hasud, iri hati, dendam, sombong dan lain-lain. Sifat-sifat itu melekat pada hati seperti daki melekat pada badan. Kalau kita malas menggosok sifat itu akan semakin kuat dan menebal pada hati kita. Sebaliknya kalau kita rajin meneliti dan kuat menggosoknya maka hati akan bersih dan jiwa akan suci.
Nafsu itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan tidak dapat mempengaruhi seseorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata lain, nafsu adalah highway (jalan tol) atau jalan bebas hambatan untuk syaitan. Kalau nafsu dibiarkan akan membesar, maka semakin luaslah highway syaitan. Kalaulah nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan syaitan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita.Tutuplah jalan mereka (syaitan) dengan perbuatan-perbuatan yang baik yang diridhoi Allah SWT.
Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sangat jahat.
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّىْ
“……., Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, …….”.

8.         Ghibah
Mengumpat (ghibah) adalah kejahatan lidah yang terbesar. Menurut Al-Ghazali mengumpat adalah mengatakan sesuatu (aib atau kekurangan) tentang orang lain yang kemungkinan besar akan menyakiti perasaannya apabila ia mengetahuinya, meskipun apa yang diceritakan itu sungguh benar adanya. kekurangan yang dibicarakan itu bisa terdapat pada badan, nasab, tabiat, ucapan, agama, maupun urusan duniawi lainnya. Adapun membicarakan kekurangan atau aib seseorang yang tidak terdapat pada diri orang tersebut dinamakan fitnah (buhtan).[20] Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّه صَلّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أَتَدَرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟" قَالَ: اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: "ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ" قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ بَهَتَّهُ" أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Tahukah kalian, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu kamu menuturkan tentang saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.” Seorag sahabat bertanya, “Bagaimana jika apa yang aku tuturkan itu memang benar-benar ada padanya?” Beliau bersabda, “Jika apa yang kamu tuturkan itu memanga ada  padanya, maka berarti kamu telah berbuat ghibah terhadapnya. Dan jika tidak demikian, berarti kamu telah membuat-buat kebohongan padanya.”[21]

Ghibah tidak hanya dapat dilakukan dengan lisan saja namun juga bisa terjadi dengan tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata, gerakan tangan, cibiran, dan sebagainya. Karena pada intinya semuanya itu memiliki arti memberitahukan kekurangan seseorang kepada orang lain. Adapun macam dan bentuk ghibah yang paling buruk adalah ghibah yang disertai dengan riya’. Misalnya, dengan mengatakan “Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan yang tidak tahu malu seperti ini, semoga Allah menjagaku dari perbuatan itu.” Ini mengandung maksud bahwa ia mengungkapkan ketidaksenangannya kepada orang lain namun ia menggunakan ungkapan doa untuk mengutarakan maksudnya.
Megatakan keburukan orang tertentu memang tidak salah jika ini dilakukan untuk maksud yang baik, yaitu:
a)    Untuk mencari keadilan atau bantuan seseorang yang berwewenang.
b)   Untuk menghilangkan kejahatan dengan memberitahukan orang-orang yang dapat menghapuskannya.
c)    Untuk minta pendapat hukum (nasihat) dari seorang hakim.
d)   Untuk memperingatkan atau menasihati kaum muslimin. Misalnya jarh yang dilakukan para ulama hadits.
e)    Menyebut seseorang sesuai dengan sifat yang telah diumumkannya sendiri namun tidak boleh menyebutkan aib-aib yang lain.
f)    Menyebut seseorang dengan sebutan yang telah masyhur pada diri seseorang. Namun hal ini tidak diperbolehkan bila dimaksudkan untuk menunjukkan kekurangan seseorang.[22]
Penyebab seseorang yang melakukan ghibah adalah karena ada rasa dengki dan amarah yang dapat memicu seseorang memiliki keinginan agar seseorang tertentu menjadi tidak dipercaya orang lain, dan ia akan merasakan kepuasan apabila keinginannya itu terpenuhi. Seseorang yang telah melakukan ghibah berarti ia telah melakukan dua kejahatan, yaitu kejahatan terhadap Allah swt karena melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya dan kejahatan terhadap hak manusia. oleh karena itu, apabila seseorang melakukan ini harus bertaubat, menyesali perbuatan yang telah dilakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali. Kemudian selanjutnya yaitu dengan meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya atas perbuatannya apabila orang yang dibicarakannya itu telah mengetahuinya. Namun apabila ia belum mengetahuinya maka hendaknya yang melakukan ghibah tersebut mendo’akannya dengan kebaikan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam hadits:
عَنْ جَابِرٍ وَأَبِى سَعِيْدٍ قَالاَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْه وَسَلَّم: إِيَّاكُمْ وَالْغِيْبَةَ فَإِنَّ الْغِيْبَةَ أَشَدُّ مِنَ الزِّنَا قِيْلَ لَهُ كَيْفَ قَالَ إِنَّ الرَّجُلَ يَزْنِى وَيَتُوْبُ اللَّهُ عَلَيْهِ وَإِنَّ صَاحِبَ الغِيْبَةِ لاَ يَغْفِرُ لَهُ حَتَّى يَغْفِرَ لَهُ صَاحِبَهُ (اخرجه البيهقي والطبرنى وابوالشيخ وابن ابي الدنيا)
Dari Jabir dan Abu Sa’id mereka berkata, Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jauhilah olehmu sifat ghibah karena ghibah itu lebih besar dosanya dari pada zina. Ditanyakan kepada Rasul “bagaimana bisa?” Rasulullah menjawab: seorang laki-laki berzina kemudian bertaubat, Allah akan mengampuninya dan orang yang mempunyai sifat ghibah, Allah tidak akan mengampuninya sehingga temannya mau mengampuninya.

Hadits diatas menerangkan bahwa dosa ghibah tidak akan diampuni oleh Allah sebelum orang yang dighibahkan mau mengampuninya.
Adapun untuk mengobati kebiasaan ghibah yang merupakan penyakit yang sulit dideteksi dan diobati ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan ilmu dan amal. Dimana dengan ilmu berarti mengetahui pengaruh jahat mengumpat terhadap kehidupan dan  menghapuskan penyebab mengumpat. Dan dengan amal, bertujuan untuk menyelidiki kekurangan diri sendiri sehingga kita akan malu menyalahkan orang lain tanpa melihat kekurangan diri sendiri.[23]
9.         Namimah
Secara bahasa, Namimah berarti mengadu domba. Menurut Imam Zakaria Yahya bin Syarfin Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin, Namimah adalah merekayasa omongan untuk menghancurkan sesama manusia. Namimah adalah mengadu domba antara seseorang dengan orang lain dengan tujuan agar mereka saling bermusuhan. Namimah termasuk perbuatan tercela yang harus kita hindari dalam kehidupan sehari-hari, karena namimah dapat menimbulkan permusuhan antar sesama umat. Sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al-Qalam ayat 10-14:

Artinya : “Dan janganlah kamu ikuti Setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina (10) yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah (11) yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa (12) yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (13) karena Dia mempunyai (banyak) harta dan anak (14)
Orang yang mempunyai banyak anak dan harta lebih mudah Dia mendapat pengikut. tapi jika Dia mempunyai sifat-sifat seperti tersebut pada ayat 10-13, tidaklah Dia dapat diikuti.

Bahkan dalam suatu hadits Nabi disebutkan bahwasanya orang yang melakukan namimah diancam tidak akan masuk surga.
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَامٌ (اخرجه الشيخان)
Dari Hudzaifah r.a. ia mendengar bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba (menebar fitnah)”. (HR. Bukhari dan Muslim)[24]

Bentuk menyebarkan berita tentang perkataan atau perbuatan orang dikatakan namimah apabila dalam kondisi untuk merusak, namun apabila tujuannya untuk memberi nasehat, mencari kebenaran dan mencegah kemungkaran tidak dikatakan sebagai namimah. Akan tetapi, hukumnya dapat menjadi sunah atau bahkan wajib bergantung pada situasi dan kondisi tersebut. Misalnya, melaporkan pada pemerintah tentang orang yang akan membuat kerusakan, orang yang akan menganiaya orang lain, dan lain sebagainya.
Sama dengan akhlaq-akhlaq tercela lainnya, Namimah ini ditimbulkan karena adanya rasa dengki terhadap seseorang sehingga menjadikan kita berlaku jahat atau tidak adil kepadanya. Oleh karena itu untuk agar kita dapat terhindar dari perbuatan ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan:
1.    Menyadari tentang bahaya yang ditimbulkan dari sifat namimah
2.    Menyadari bahwa namimah merupakan perbuatan dosa
3.    Menyadari bahwa diri kita juga tidak suka apabila diadu domba oleh orang lain
4.    Menjaga lisan dari perkataan yang tidak berguna, yang karenanya dapat menyakiti dan mendzalimi orang lain.[25]


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Menurut bahasa akhlak merupakan tingkah laku, tabiat atau perangai. Sedangkan akhlak menurut istilah merupakan suatu pengetahuan yang menjelaskan mengenai perbuatan yang baik serta buruk, mengatur prilaku manusia, serta mampu menentukan perbuatan akhir.
Macam-macam dari akhlak tercela adalah banyak sekali seperti Hasad, Riya’, Hubbud Dunnya, Sum’ah, Ujub, Takabur, Itbaul Hawa, Ghibah, Namimah dan masih banyak lagi. Aklak tercela diatas merupakan suatu sikap/perbuatan jelek yang merugikan diri sendiri dan orang lain yang dilakukan jauh dari apa yang dilarang agama dan tidak diridhoi oleh Allah SWT. Seseorang yang melakukan akhlak tercela akan mendapat kesulitan baik di dunia maupun di akhirat. Kesenangan yang didapat dari akhlak tercela di dunia hanyalah sementara.
Bahaya yang ditimbukan dari akhlak tercela adalah beragam, yaitu : Selalu bangga terhadap apa yang telah dilakukan meskipun itu salah, memandang orang lain selalu salah, merugikan diri sendiri dan orang lain, semakin dekat dengan syaitan, tidak akan mendapatkan ridha dari Allah SWT dan mendapat siksa di akhirat nanti.
Adapun cara untuk menghindari/mengobati nafsu jahat ini adalah : Dalam ilmu tasawuf, nafsu jahat dan liar sering disebut dengan istilah sifat madzmumah. Di antara sifat-sifat mazmumah itu seperti Hasad, Riya’, Hubbud Dunnya, Sum’ah, Ujub, Takabur, Itbaul Hawa, Ghibah, Namimah dan lain-lain. Sifat-sifat itu melekat pada hati seperti daki melekat pada badan. Semua akhlak tercela berawal dari nafsu jahat, sedangkan nafsu jahat berasal dari godaan para syaitan. Maka, agar kita dapat terjauh dari akhlak tercela adalah dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kita selalu mendekatkan diri kepada Allah maka kita akan selalu takut dengan murka Allah. Kita akan sadar bahwa Allah selalu melihat perbuatan kita. Dengan begitu, kita akan merasa takut untuk melakukan perbuatan jelek. Selain itu, kita juga harus ingat bahwa ajal seseorang tidak ada yang tau. Bayangkanlah bahwa ajal kita adalah hari esok. Dengan begitu kita akan takut untuk melakukan perbuatan jelek. Dan beribadahlah dengan khusyu’ seakan-akan kamu mati besok.



Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al Hijr : 99.
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).

B.       Saran
Berdasarkan pembahasan mengenai akhlak-akhlak tercela, penulis memberi saran sebagai umat muslim seharusnya memberikan perhatian penuh terhadap masalah pembersihan hati dari segala-segala penyakit yang dapat menimbulkan perilaku atau perbuatan yang buruk, dimana keduanya merupakan identitas dari akhlak yang tercela. Dengan begitu, apabila hati yang merupakan unsur utama tubuh itu bersih maka insyaallah keadaan jiwa (Akhlak) mengikuti kebersihan hati yang kita miliki. Mengingat begitu pentingnya akhlak dalam kehidupan yang dapat mengantarkan kedalam jalan yang baik dan bermanfaat serta tidak merugikan orang lain.
Demikian makalah ini penulis buat, apabila terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini, penulis meminta maaf dikarenakan penulis hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kesalahan dan lupa. Oleh karena itu, untuk kesempurnaan dalam penulisan makalah ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca dan semoga dengan informasi dalam makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca. Aamiin.









DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 2008. Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam;Terjemahan Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan
Al-Ghozali, Imam. 2008. Mutiara Ihya’ Ulumuddin. Bandung: PT Mizan Pustaka
Al-Ghazali, Imam. 2013. Minhajul Abidin: Jalan Para Ahli Ibadah.Jakarta: Khatulistiwa
Al Khaubawiyyi,Usman Asy Syakir. 1985. Durratun Nasihin: Butir-butir Mutiara Hikmat; Alih bahasa oleh Rosihin Abd.Gani. Semarang: Wicaksana
Ibnu Taimiyah. 2002. Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah.Jakarta: Hikmah
Bahreisy, Salim. 1987. Terjemah Riyadhus Shalihin II. Bandung: Alma Arif
Hawwa, Sa’id.2006. Tazkiyatun Nafs: Intisari Ihya’ Ulumuddin; Terjemahan Tim Kuwais. Jakarta: Pena Pundi Aksara
Masykhur, Anis. 2002. Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah: Terjemahan Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah Jilid 10 tentang Kitab ‘Ilm Al-Suluk. Jakarta: Hikmah
Quasem, M.Abul, Kamil. 1975. Etika Al-Ghazali:Etika Majemuk didalam Islam. Bandung: Pustaka
Sati,Pakih. 2013. Syarah Al-Hikam: Kalimat-kalimat Menakjubkan Ibnu ‘Atha’illah dan Tafsir serta Motivasinya. Yogyakarta: Diva Press
Yusuf, Hamza. 2009. Hatiku Surgaku: Terapi Jitu Membersihkan Hati dari Sifat-sifat yang Tidak Disukai Allah. Jakarta: Lentera Hati




Belum ada Komentar untuk "MAKALAH AQIDAH AKHLAK KELAS 11 : MENGHINDARI AKHLAK TERCELA"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar terbaik Anda...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel