MAKALAH AQIDAH AKHLAK KELAS 11 : MENGHINDARI AKHLAK TERCELA
Kamis, November 16, 2017
Tambah Komentar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Akhlak Tercela adalah perbuatan/perilaku yang tidak
Diridhoi oleh Allah SWT. Seseorang yang berbohong, sombong, pamer, menyiksa,
menyakiti dan berbagai bentuk ketidakadilan seperti menindas, mengambil hak
orang lain dengan paksa dan lain-lain.
Itu semua adalah perbuatan tercela.
Sungguh moral manusia sudah sangat rusak akibat akhlak-akhlak tercela tersebut.
Seseorang tidak akan mendapatkan kebahagiaan, jika ia selalu melakukan
perilaku-perilaku tercela. Baik ketika di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan yang
diperoleh dari perilaku tercela tersebut hanya bersifat sementara. Dan akan
mendapat kesedihan dan penyesalan yang tak ada hentinya.
Disisi lain, Al-Qur’an juga mengemukakan dan memberi
peringatan tentang akhlak-akhlak tercela yang dapat merusak iman seseorang dan
pada akhirnya akan merusak dirinya serta kehidupan masyarakat. Seperti akhlak
buruk kaum Quraisy dahulu untuk memojokkan kebenaran yang disampaikan
Rasulullah sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Quraisy seperti Abu
jalal, Walid bin mugirah, Akhnas bin syariq, Aswad bin abdi Yaquts. Oleh karena
itu, iman merupakan suatu pengakuan terhadap kebenaran dan harus dipelihara
serta di tingkat kan kualitas nya melalui sikap dan perilaku terpuji.
Sifat terpuji dan tercela yang tertanam dalam diri manusia
selalu berdampingan dan terlihat dalam perilaku sehari-hari. Apabila perilaku
seseorang menampilkan kebaikan, maka terpujilah sikap orang tersebut.
Sebaliknya, apabila perilaku seseorang menampilkan kebaikan atau kejahatan,
maka tercelalah sikap orang tersebut. Sifat tercela sangat dilarang oleh Allah
SWT dan harus dihindari dalam pergaulan sehari-hari karena akan merugikan diri
sendiri maupun orang lain.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengertian akhlak tercela?
2. Apa macam-macam
akhlak tercela dan bahaya bagi kehidupan manusia serta cara mengobatinya?
C. Tujuan
1. Mengetahui
pengertian akhlak tercela.
2. Mengetahui
macam-macam dan bahaya bagi kehidupan manusia serta cara mengobatinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Akhlak Tercela
Menurut bahasa akhlak merupakan tingkah laku, tabiat
atau perangai. Sedangkan akhlak menurut istilah merupakan suatu pengetahuan
yang menjelaskan mengenai perbuatan yang baik serta buruk, mengatur prilaku
manusia, serta mampu menentukan perbuatan akhir. Pada dasarnya akhlak sudah
melekat pada diri seseorang yang berasal dari prilaku serta perbuatan. Nah,
jika perilaku yang ditunjukan buruk maka otomatis akhlak tersebut bisa
dikatakan akhlak buruk. Sedangkan jika yang ditampilkan baik, maka otomatis
akhlak tersebut baik.
Akhlak buruk atau tercela merupakan suatu sikap atau
perbuatan jelek yang dilarang oleh agama. Karena pada dasarnya agama
mengajarkan kita untuk selalu bersikap baik terutama menjaga perilaku serta
perbuatan yang akan kita lakukan. Dengan berlandaskan agama maka sifat tercela
ini sebenarnya bisa dicegah karena ancaman serta sangsi yang akan didapatkan
dalam waktu cepat maupun dikehidupan selanjutnya. Akhlak tercela ini merupakan
cerminan bahwa seseorang tersebut mempunyai prilaku yang kurang baik, hal tersebut
bisa saja disebabkan karena kita mulai jauh pada aturan – aturan agama.
B. Macam-macam
dan bahaya bagi kehidupan manusia serta cara mengobatinya.
1. Hasad
Menurut sebagian besar ulama hasad (dengki
atau iri hati) merupakan akar dari semua penyakit hati. Karena sifat ini
merupakan manifestasi dosa pertama serta penyebab pertama ketidakpatuhan
terhadap Allah. Sebagaimana sifat setan yang tidak mau mematuhi perintah Allah
untuk memberi hormat kepada Nabi Adam As karena ia merasa iri hati terhadap
Nabi Adam yang dipilih Allah untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Oleh karena itu,
setan selalu menebarkan (hasid atau hasud) rasa iri hati dalam diri manusia
agar menyandang sifat yang sama dengannya.[1]
Pada dasarnya Hasad merupakan
akibat dari dendam, dan dendam merupakan akibat dari kemarahan dan kebencian
terhadap apa yang dlihatnya (tentang kondisi kebaikan keadaan yang dicemburui).
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu
Hurairah RA:
الْحَسَدُ يَأْكُلُ
الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Hasad menghapus kebaikan sebagaimana api memakan kayu
bakar.”
Pada hakikatnya hasad adalah membenci kenikmatan Allah
kepada saudaranya, akan tetapi tentang hasad ini dibedakan menjadi dua
jenis. Pertama, membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada
saudaranya dan ia menginginkan kenikmatan itu hilang dari-nya. Ini merupakan
hasad yang paling tercela. Contoh hasad semacam ini terdapat dalam firman Allah
QS. Al-Baqarah ayat 109:
“sebagian
besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada
kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah
mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.”
Ayat diatas mengabarkan bahwa keinginan mereka agar
hilang kenikmatan iman merupakan hasad.
Kedua,
seseorang yang membenci kenikmatan yang Allah bagi pada saudaranya dan tidak
ada keinginan nikmat itu hilang darinya tetapi ia menginginkan sebagaimana yang
ada pada saudaranya. Hal semacam ini disebut dengan ghibthah.[2] terkadang untuk hasad jenis
kedua ini disebut dengan al-munafasah (berlomba), berlomba
dalam permasalahan yang disenangi untuk mendapatkan dan memilikinya. Akan
tetapi munafasah ini tidak mutlak tercela, bahkan terpuji bila
dalam kebaikan.[3]Mengenai jenis yang kedua ini dijelaskan
oleh Allah dalam firmannya QS An-Nisa’ ayat 32:
“ Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Yang dimaksud dengan ayat diatas adalah larangan
terhadap keinginan berpindahnya kenikmatan itu kepadanya. Adapun berharap agar
Allah memberikan kenikmatan seperti itu kepadanya tidaklah tercela jika dalam
urusan agama. [4]
Dalam kitab Durratun Nasihin disebutkan bahwa bahaya
yang ditimbulkan dari rasa dengki atau hasad ini ada delapan macam, yaitu:
a) Merusak
ketaatan.
b) Menjuruskan
kepada perbuatan maksiat, karena hasad tidak lepas dari bohong, caci maki,
fitnah, dan ghibah. Hal ini diperkuat oleh Tha’labah:
لاَ
يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَتَحَاسَدُوْا
“Manusia akan tetap dalam kebaikan selagi mereka tidak
saling dengki satu sama lain.”
c) Meniadakan
syafa’at, seperti sabda Nabi Saw:
لَيْسَ مِنِّي ذُوْحَسَدٍ وَلاَ
ذُوْنَمِيْمَةٍ وَلاَ ذُوْكَهَانَةٍ وَلاَ أَنَا مِنْهُ
“Bukanlah
termasuk umatku orang yang mempunyai sifat dengki, suka adu domba, mempunyai
ilmu kedukunan dan aku pun tidak termasuk mereka.”
d) Masuk
kedalam neraka
e) Menyebabkan
suka menggoda/mengganggu orang lain.
f) Mengakibatkan
rasa letih dan takut yang tidak ada gunanya bahkan selalu dibarengi dengan
perbuatan dosa dan maksiat.
g) Meyebabkan
buta hati, dimana ia tidak dapat menerima dan memahami hukum-hukum Allah dengan
baik.
h) Menyebabkan
kegagalan yang pada akhirnya tidak bisa mencapai apa yang menjadi maksudnya dan
selalu dikalahkan oleh lawannya.[5]
Menurut Imam Mawlud sebagaimana yang dikutip oleh
Hamza Yusuf, ada beberapa cara untuk mengobati penyakit iri hati, yaitu: 1)
melawan hawa nafsu yang dapat menarik seseorang dari kebenaran dengan cara
melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi objek iri hati, 2) menyadari dengan
sungguh-sungguh bahwa iri hati tidak akan pernah memberikan manfaat bagi
pelakunya, 3) menyadari bahwa apa yang seseorang peroleh sesungguhnya dari Allah
dan juga akan kembali kepada-Nya, 4) Taqwa, memiliki perasaan takut
terhadap Allah dan iman yang tinggi sehingga dapat menjauhkan seseorang
terhadap dugaan-dugaan yang salah atas ketidaksesuaian karunia.[6]
2. Riya’
Riya’ itu berasal dari kata ru’yah yang
berarti melihat. Menurut imam Ghazali riya’ asalnya mencari kedudukan pada hati
manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Riya’ merupakan
perilaku terkeji ketika seseorang melakukan ritual ibadahnya hanya untuk
memperoleh tempat dihati orang lain. Sifat seperti ini termasuk salah satu
bentuk kesyirikan yang dibenci oleh Allah SWT. Hal itu ditunjukkan dalam
firman-Nya QS. Al-Ma’un ayat 4-6:
“Maka
celakalah orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap sholatnya
yang berbuat riya.”
Rasulullah
Saw mengibaratkan perilaku seperti ini sebagai “syirik kecil.” Sebagaimana
sabda beliau, “Aku tidak khawatir seandainya kalian akan menyembah matahari,
bintang-bintang, bulan. Namun, aku lebih khawatir kalian beibadah bukan karena
Allah, melainkan karena riya’.”[7]
Akar sumber riya’ adalah keinginan, yakni menginginkan
sesuatu dari sebuah sumber selain Allah (yaitu Manusia). Misalnya, keinginan
untuk selalu dipuji, pandangan masyarakat akan kebaikannya, kedudukannya, dan
lain-lain. Adapun yang menjadi tanda-tanda riya’ menurut Imam Mawlud adalah:
a. Malas
dan kurang melakukan sesuatu yang semata-mata karena Allah swt. Misalnya,
ketika berada di rumah tidak ada rasa keinginan untuk membaca al-Qur’an, namun
ketika banyak orang seperti di masjid ia membaca al-Qur’an dengan suara yang
merdu.
b. Meningkatkan
perilaku-perilaku ketika dipuji dan menurunkannya ketika tidak ada pujian.[8]
Riya’ biasanya dikenal dengan sikap menampakkan ibadah
atau ketaatan di hadapan orang banyak. Namun, ada juga riya’ yang sifatnya
tersembunyi, yaitu sikap ketika seseorang menghindari riya’ tetapi justru
melakukannya untuk riya’. Misalnya, seseorang sengaja menghindari khalayak agar
tidak disangka riya’. Kemudian ia sengaja berkhalwat dan menyendiri. Namun, di
balik semua itu, ia justru ingin dilihat dan dipuji oleh orang lain. Disanalah
terdapat riya’ yang tersembunyi.[9]
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa penyakit riya’
dapat menghancurkan pahala seseorang dan merupakan sebab dari kemurkaan Allah.
Riya’ juga merupakan salah satu perbuatan dosa besar. Oleh karena itu sesorang
harus bersaha untuk menghilangkan penyakit ini dari dalam hatinya. Cara untuk
menghindari perbuatan seperti ini seseorang yang beriman harus menyadari bahwa
sesungguhnya Allah adalah dzat yang paling layak untuk dipuji. Semestinya kita
harus merasa malu ketika dipuji karena Dia yang menganugerahkan karunia yang
besar sehingga aib seorang hamba tertutup dan kebaikannya tampak dimata
manusia. Jika saja Allah menampakkan aib tersebut walau hanya kecil saja, maka
tidak akan ada orang yang yang mau memuji. Sehingga dengan begitu kita dapat
memurnikan dari perburuan yang sia-sia dan riya’.[10] Adapun cara untuk menyembuhkan
penyakit seperti ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Melepaskan penyakit riya’
sampai akar-akarnya, yaitu cinta kedudukan dan jabatan.
b. Mencegah akibat-akibat buruk
yang muncul dari penyakit riya’ ketika beribadah.[11]
3. Hubbud
Dunya
Hubbud Dunya adalah cinta dunia yang berlebihan,
merupakan induk segala kesalahan (maksiat) serta perusak agama. Yaitu mencintai
kehidupan dunia dan melalaikan kehidupan akhirat.
Penyakit inilah yang menyebabkan seorang muslim
menjadi lemah. Sehingga musuh-musuh dengan leluasa menebar rasa takut dan sifat
pengecut dalam dirinya, syaitan-syaitan (manusia dan jin) dengan mudah
menyesatkannya. Sementara orang-orang kafir dan musuh Islam lainnya
memandangnya dengan sebelah mata. Mencintai dunia akan mengakibatkan banyak
melakukan kesalahan dan dosa ketika hidup di dunia.
Firman Allah SWT dalam surat Al-Hadid ayat 20
“ketahuilah,
bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
Adapun obat untuk menghindari dari perbuatan Hubbud
Dunya yaitu : Nabi kita Muhammad Saw. telah memberikan wasiatnya, yang
merupakan formula bagi jenis penyakit tersebut. Rasulullah Saw. Bersabda :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِى
الْمَوْتَ
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Perbanyaklah oleh kalian mengingat
penghancur segala kelezatan, yaitu kematian.” (HR. An-Nasaa’i No. 1824,
Tirmidzi No. 2307 dan Ibnu Majah No. 4258 dan Ahmad)
4. Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah diperdengarkan kepada
orang lain, adapun secara istilah yaitu beribadah dengan benar dan ikhlas
karena Allah, kemudian menceritakan amal perbuatannya kepada orang lain[12]. Adapun Sum’ah mempunyai hubungan erat
sekali dengan riya’, bahkan tergolong sama. Akan tetapi terdapat perbedaan
antara keduanya, Perbedaan antara riya’ dan sum’ah menurut Al-Hafizh yaitu:
riya’ adalah memperlihatkan amal dan perbuatan dengan maksud mendapatkan pujian
seperti shalat, adapun sum’ah merupakan amalan yang diperdengarkan kemudian
menceritakan perbuatannya (sudah dikerjakan dengan penuh keikhlasan, namun pada
akhirnya mengharapkan pujian yang sifatnya duniawi).
Perbedaan riya’dan sum’ah ialah: Riya’ berarti beramal
karena diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal supaya
diperdengarkan kepada orang lain, Riya’ berkaitan dengan indra mata, sedangkan
sum’ah berkaitan dengan indra telinga[13]. Kata sum’ah berasal dari kata samma’a
(memperdengarkan). Kalimat samma’an naasa bi ‘amalihi digunakan jika seseorang
menampakkan amalnya kepada manusia yang semula tidak mengetahuinya.[14]
Dalam Al-Qur’an Allah telah mengingatkan kepada kita
mengenai sifat sum’ah dan riya’ ini dalam QS. Al-Baqarah : 264
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),
seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia...”
5. Ujub
Ujub
merupakan sifat tercela dimana seseorang membanggakan diri sendiri karena
merasa memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Seperti
ujubnya orang alim yang merasa dirinya telah mencapai kesempurnaan dalam ilmu,
perbuatan, dan akhlak. Orang yang menyandang sifat ini biasanya ia melupakan
bahwa nikmat yang ia peroleh adalah pemberian dari Allah melainkan dari
usahanya sendiri.[15] Sifat ujub selalu diikuti
dengan idlal (mengharap balasan). Oleh karena itu, setiap
orang yang melakukan idlal pasti ia memiliki sifat ujub. Akan
tetapi, tidak semua orang yang ujub melakukan idlal. Orang
yang memiliki sifat ini sangat dibenci oleh Allah Swt. sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
” .....dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu menjadi congkak
karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat
kepadamu sedikitpun....” (Qs. At-Taubah:25)
Artinya:
“Janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih
banyak.” (Qs. Al-Muddatstsir: 6)
“Maka
Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada yang
merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”.
Bahkan
Rasululullah Saw juga bersabda:
ثَلاَثُ مُهْلِكَاتٍ: شُحٌّ
مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ (رواه الطَابَرى)
“Tiga
perkara yang membawa kepada kehancuran: pelit, mengikuti hawa nafsu, dan suka
membanggakan diri.” (Ath-Thabari, hadits hasan)
Ujub membawa pengaruh negatif yang sangat banyak, ia
dapat mengahantarkan ke arah kesombongan. Di hadapan Allah, orang yang memiliki
sifat ujub menyebabkan ia menjadi lupa dan meemehkan dosa-dosanya karena merasa
telah melakukan ibadah yang sempurna sehingga beranggapan dosa yang dilakukan
tidak ada apa-apanya dengan ibadah yang telah dilakukan. Ujub dapat
mengakibatkan seseorang lupa bahwa nikmat yang ia peroleh berasal dari Allah
sehingg menjadikannya kufur nikmat.[16]
Adapun untuk mengobati penyakit ujub seseorang harus
menyadari bahwa kenikmatan yang ia peroleh adalah dari Allah yang merupakan
buah dari cinta dan ibadah bukan karena ia berhak menerimanya dan Allah wajib
melakukannya. Kemudiancara yang lainnya harus selalu menanamkan ketakuak akan
hilangnya nikmat itu akibat tindakan ujub yang dilakukan.[17]
6. Takabur
Takabur atau sombong secara bahasa artinya membesarkan
diri atau menganggap dirinya lebih dari orang lain. Pengertian takabur secara
istilah adalah suatu sikap mental yang memandang rendah terhadap orang lain,
sementara ia memandang tinggi dan mulia terhadap dirinya sendiri.[18] Sifat takabur merupakan sifat yang
dimiliki oleh Iblis. Sifat inilah yang menyebabkan iblis diusir dari surga dan
diturunkan derajatnya hingga menjadi makhluk yang sangat rendah. Sifat takabur
Iblis terlihat ketika ia menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam
a.s. Penolakan Iblis ini disebabkan ia merasa dirinya lebih tinggi dan mulia
daripada Nabi Adam a.s. ”Aku diciptakan dari api, sedangkan Adam diciptakan
dari tanah. Mengapa aku harus sujud kepada makhluk yang lebih rendah
daripadaku?” sumbar Iblis dengan congkak. Oleh karena kesombongannya, akhirnya
Iblis diusir Allah dan direndahkan derajatnya.
Takabur menurut penjelasan Rasulullah adalah himpunan
dari dua sifat yaitu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain, sebagaimana
sabdanya, ”Takabur adalah (sifat) orang yang mengingkari/menolak kebenaran dan
merendahkan orang lain.” (H.R. Abu Daud dan Hakim)
Dari pengertian takabur di atas dapat kita temukan
ciri-ciri orang yang takabur, sebagai berikut.
a. Suka memuji diri dan
membanggakan kemuliaan diri, harta, ilmu, keturunan dan lain sebagainya.
b. Meremehkan orang lain.
c. Suka mencela dan mengkritik
orang lain dengan kritik yang menjatuhkan.
d. Memalingkan muka ketika bertemu
dengan orang lain.
e. Berlagak dalam berbicara.
f. Pemboros dalam harta
benda.
g. Berlebih-lebihan dalam
berpakaian dan berhias.
Takabur merupakan salah satu akhlak yang tercela.
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan tentang keburukan sifat
takabur tersebut, antara lain pada Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah al-A‘raf
[7]: 146
Artinya :
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa
alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap
ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang
membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka
melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah
karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.
Takabur dapat dibagi menjadi dua, yaitu takabur lahir
dan batin.
1) Takabur
lahir, yaitu perbuatan yang dilakukan dan ditunjukkan oleh anggota badan,
seperti gerak gerik tubuh, raut muka, dan tutur kata.
2) Takabur
batin, yaitu sifat dalam jiwa yang tidak terlihat. Takabur batin dilakukan oleh
hati dan perasaan yang menganggap diri lebih tinggi dan menganggap orang lain
lebih rendah.
Kedua jenis takabur ini sama-sama berbahaya dan bisa
menyebabkan pelakunya terjerumus api neraka. Oleh karena itu, kita harus
menjauhi kedua jenis takabur ini dalam kehidupan sehari-hari. Kenapa demikian?
Di antara bahaya dari sifat takabur antara lain sebagai berikut.
a. Merusak
pergaulan manusia, merenggangkan hubungan silaturahmi dan menghalangi kasih
sayang serta sikap tolongmenolong. Orang yang sombong pasti dibenci orang lain
karena kesombongannya. Mereka akan segan berhubungan dengan dia. Hal ini
berarti mengurangi pergaulan.
b. Menumbuhkan
permusuhan karena orang yang takabur dalam berteman selalu membeda-bedakan dan
mendiskriminasikan orang atau kelompok lain yang tidak sederajat dengan diri
atau kelompoknya.
c. Sifat
takabur akan menumbuhkan sifat-sifat buruk lainnya, seperti dengki kepada orang
lain, pemarah, pembohong, khianat, dan sebagainya. Orang yang takabur tidak
segansegan menggunakan sifat-sifat buruk tersebut demi mempertahankan
kemuliaannya.
d. Sifat
takabur akan menjadikan orang tidak berkembang dan beku. Oleh karena
usaha-usaha melakukan perbaikan terhadap dirinya tidak ada, orang yang takabur
beranggapan bahwa dirinya sudah baik, hebat, terhormat, mulia, istimewa, dan
sempurna.
e. Sifat
takabur menjadi penghalang masuk surga karena menghalangi manusia berakhlak
mulia yang merupakan pintu surga.
f. Sifat
takabur (sombong) mengakibatkan pemiliknya tidak mempunyai perasaan untuk
mencintai dan menyayangi sesama saudara yang mukmin sebagaimana mencintai atau
menyayangi dirinya sendiri.
g. Orang
yang takabur akan dimasukkan ke dalam neraka dan mendapatkan hukuman yang
sangat berat karena yang berhak sombong hanyalah Allah. Sombong adalah
selendang Allah. Barangsiapa yang berani memakai selendang-Nya, Allah akan
murka dan menjatuhkan hukuman yang berat kepadanya.
h. Orang
yang takabur akan lupa diri, siapa dirinya, dari mana, dan hendak ke mana dia
sebenarnya.
Dengan memperhatikan beberapa bahaya di depan dapat
kita simpulkan bahwa sifat takabur tidak hanya membahayakan diri kita sendiri,
tetapi juga orang lain. Orang yang bersifat takabur menjadi hina di hadapan
Allah. Demikian pula di hadapan orang lain, justru akan dicampakkan. Seseorang
yang menjauhi sifat takabur dengan sendirinya harus berusaha bersifat rendah
hati/tawadu. Dengan dia memilih bersikap rendah hati, justru akan menguntungkan
dirinya sendiri dan menumbuhkan kenyamanan bagi orang lain.
7. Itba’ul
Hawa
Secara bahasa Itba’ al-Hawa berarti mengikut hawa
nafsu, sedang secara istilah yaitu orang yang lebih mengikuti jeleknya hati
yang telah diharamkan oleh hukum syariat, itulah orang yang selalu mengikut
hawa nafsu.
Dari definisi diatas dapat kita fahami bahwa itba’
al-hawa berarti mengikuti hawa nafsu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang hukum syara’, berbuat hal-hal yang dilarang agama. Dengan demikian,
itba’ al-hawa merupakan pangkal perbuatan maksiat, sumber malapetaka dan
kemungkaran. Orang yang bersikap demikian akan tersesat dari jalan Allah dan
dikenai siksa di akhirat kelak. Oleh karena itu, hawa nafsu harus dikekang dan
dikendalikan agar manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dilarang
Allah SWT.
Hawa nafsu menjalar pada diri seseorang laksana sebuah
penyakit yang sangat ganas, bahkan lebih berbahaya dari virus (rabies)nya
seekor anjing. Hawa nafsu lebih berbahaya karena tidak disadari oleh
pengidapnya, tetapi ia lebih mematikan. Jika rabies dapat membinasakan jasad
manusia(jasmani), maka hawa nafsu bisa menghancurkan jiwanya (rohani). Sehingga
hatinya pun mati dan gelap gulita, dan pada akhirnya dia tidak lagi mampu
menerima petunjuk dari Allah SWT.
Mengikuti hawa nafsu, orang yang lebih mengikuti
jeleknya hati yang diharamkan oleh hukum syari’at. (As-Sad: 26)
” Hai
Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT juga telah menegaskan bahwa
hawa nafsu merupakan bahaya laten bagi orang-orang yang berilmu, karena mereka
bisa saja menjadi sesat walaupun berilmu. Sebabnya tak lain adalah karena
mengikuti hawa nafsu. Sehingga ilmu yang turun dari Allah tak mampu membuatnya
teguh di atas jalan Allah, seperti dalam Surah Al-Jatsiyah ayat 23 Allah
berfirman:
Artinya
:“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Imam Al-Ghazali membagi nafsu kepada empat bagian,
yaitu:
a. Keserakahan
nafsu terhadap harta benda.
Seseorang
yang telah mendapat anugerah Allah maka kewajiban baginya untuk selalu
mensyukuri segala nikmat-Nya. Jika engkau menjadi orang kaya, maka syukurilah.
Jika dirimu berkedudukan, manfaatkanlah kekuasaan dan kedudukanmu untuk
memakmurkan rakyat, bukan memanfaatkan kuasa untuk mengumpul harta benda sampai
tidak habis dimakan tujuh keturunan.
b. Nafsu
amarah akan membakar dan membutakan hati.
Cara
terbaik untuk bisa mengendalikan nafsu amarah yang ada dalam diri sendiri
dengan berusaha selalu bersabar dalam menghadapi kemarahan dan kezaliman orang
lain, bersikap lapang dada, suka memaafkan dan bermurah hati. Sesungguhnya
akhlak yang terpuji adalah bagi mereka yang mampu memaafkan kesalahan
(kezaliman) orang lain terhadap diri kita.
Sebagaimana
pesan rasul SAW: Ingat 2 perkara dan lupakan 2 perkara, yaitu:
Ingat kebaikan orang lain pada kita, dan ingat
kezaliman kita pada orang lain, serta lupakan kebaikan kita pada orang, dan
lupakan kezaliman orang lain pada kita, insya allah kita menjadi pribadi muslim
yang sejati.
c. Kesenangan
duniawi mendorong nafsu.
Kesenangan
duniawi merupakan racun pembunuh yang mengalir dalam urat. Manusia selalu
diingatkan agar tidak terjerumus akan kesenangan duniawi, karena hal itu akan
mendorong nafsu menjadi liar. Orang berlumba mengejar kuasa, tanpa
memeperdulikan kaedah yang di ajarkan agama, apalagi norma-norma pekerjaan yang
sebenarnya, yang terpenting ia dapat memperoleh kekuasaan walau dengan cara
apapun.
d. Nafsu
syahwat.
Imam
Al-Gazhali mengingatkan bahwa syaitan menggoda manusia di dunia ini melalui
berbagai cara. Dan yang paling berbahaya ialah harta, wanita dan takhta
(kekuasaan). Setan telah memasang perangkap godaannya, tidak sedikit manusia
yang hancur dan rusak kehidupannya karena mencari kesenangan dunia semata.[19]
Adapun cara untuk menghindari/mengobati nafsu jahat
ini adalah :
Dalam
ilmu tasawuf, nafsu jahat dan liar sering disebut dengan istilah sifat
madzmumah. Di antara sifat-sifat mazmumah itu seperti cinta dunia, tamak,
sum'ah, riya', ujub, gila pangkat dan harta, hasud, iri hati, dendam, sombong
dan lain-lain. Sifat-sifat itu melekat pada hati seperti daki melekat pada
badan. Kalau kita malas menggosok sifat itu akan semakin kuat dan menebal pada
hati kita. Sebaliknya kalau kita rajin meneliti dan kuat menggosoknya maka hati
akan bersih dan jiwa akan suci.
Nafsu
itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan tidak dapat mempengaruhi
seseorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata lain, nafsu adalah
highway (jalan tol) atau jalan bebas hambatan untuk syaitan. Kalau nafsu
dibiarkan akan membesar, maka semakin luaslah highway syaitan. Kalaulah nafsu
dapat diperangi, maka tertutuplah jalan syaitan dan tidak dapat mempengaruhi
jiwa kita.Tutuplah jalan mereka (syaitan) dengan perbuatan-perbuatan yang baik
yang diridhoi Allah SWT.
Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh
Allah sangat jahat.
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ إِلاَّ مَا
رَحِمَ رَبِّىْ
“……., Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, …….”.
8. Ghibah
Mengumpat (ghibah) adalah kejahatan lidah yang
terbesar. Menurut Al-Ghazali mengumpat adalah mengatakan sesuatu (aib atau
kekurangan) tentang orang lain yang kemungkinan besar akan menyakiti
perasaannya apabila ia mengetahuinya, meskipun apa yang diceritakan itu sungguh
benar adanya. kekurangan yang dibicarakan itu bisa terdapat pada badan, nasab,
tabiat, ucapan, agama, maupun urusan duniawi lainnya. Adapun membicarakan
kekurangan atau aib seseorang yang tidak terdapat pada diri orang tersebut
dinamakan fitnah (buhtan).[20] Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ
اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّه صَلّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"أَتَدَرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟" قَالَ: اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ،
قَالَ: "ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ" قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ
كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ
اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ بَهَتَّهُ" أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abu Hurairah r.a.,
sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Tahukah kalian, apa itu ghibah?” Para
sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu kamu
menuturkan tentang saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.” Seorag
sahabat bertanya, “Bagaimana jika apa yang aku tuturkan itu memang benar-benar
ada padanya?” Beliau bersabda, “Jika apa yang kamu tuturkan itu memanga ada
padanya, maka berarti kamu telah berbuat ghibah terhadapnya. Dan jika tidak
demikian, berarti kamu telah membuat-buat kebohongan padanya.”[21]
Ghibah tidak hanya dapat
dilakukan dengan lisan saja namun juga bisa terjadi dengan tulisan atau isyarat
seperti kerdipan mata, gerakan tangan, cibiran, dan sebagainya. Karena pada
intinya semuanya itu memiliki arti memberitahukan kekurangan seseorang kepada
orang lain. Adapun macam dan bentuk ghibah yang paling buruk adalah ghibah yang
disertai dengan riya’. Misalnya, dengan mengatakan “Saya berlindung kepada
Allah dari perbuatan yang tidak tahu malu seperti ini, semoga Allah menjagaku
dari perbuatan itu.” Ini mengandung maksud bahwa ia mengungkapkan
ketidaksenangannya kepada orang lain namun ia menggunakan ungkapan doa untuk
mengutarakan maksudnya.
Megatakan keburukan orang
tertentu memang tidak salah jika ini dilakukan untuk maksud yang baik, yaitu:
a) Untuk
mencari keadilan atau bantuan seseorang yang berwewenang.
b) Untuk
menghilangkan kejahatan dengan memberitahukan orang-orang yang dapat
menghapuskannya.
c) Untuk
minta pendapat hukum (nasihat) dari seorang hakim.
d) Untuk
memperingatkan atau menasihati kaum muslimin. Misalnya jarh yang dilakukan para
ulama hadits.
e) Menyebut
seseorang sesuai dengan sifat yang telah diumumkannya sendiri namun tidak boleh
menyebutkan aib-aib yang lain.
f) Menyebut
seseorang dengan sebutan yang telah masyhur pada diri seseorang. Namun hal ini
tidak diperbolehkan bila dimaksudkan untuk menunjukkan kekurangan seseorang.[22]
Penyebab seseorang yang
melakukan ghibah adalah karena ada rasa dengki dan amarah yang dapat memicu
seseorang memiliki keinginan agar seseorang tertentu menjadi tidak dipercaya
orang lain, dan ia akan merasakan kepuasan apabila keinginannya itu terpenuhi.
Seseorang yang telah melakukan ghibah berarti ia telah melakukan dua kejahatan,
yaitu kejahatan terhadap Allah swt karena melakukan perbuatan yang dilarang
oleh-Nya dan kejahatan terhadap hak manusia. oleh karena itu, apabila seseorang
melakukan ini harus bertaubat, menyesali perbuatan yang telah dilakukan dan
berjanji untuk tidak mengulanginya kembali. Kemudian selanjutnya yaitu dengan
meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya atas perbuatannya apabila orang
yang dibicarakannya itu telah mengetahuinya. Namun apabila ia belum
mengetahuinya maka hendaknya yang melakukan ghibah tersebut mendo’akannya
dengan kebaikan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam hadits:
عَنْ جَابِرٍ وَأَبِى سَعِيْدٍ
قَالاَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْه وَسَلَّم: إِيَّاكُمْ
وَالْغِيْبَةَ فَإِنَّ الْغِيْبَةَ أَشَدُّ مِنَ الزِّنَا قِيْلَ لَهُ كَيْفَ
قَالَ إِنَّ الرَّجُلَ يَزْنِى وَيَتُوْبُ اللَّهُ عَلَيْهِ وَإِنَّ صَاحِبَ
الغِيْبَةِ لاَ يَغْفِرُ لَهُ حَتَّى يَغْفِرَ لَهُ صَاحِبَهُ (اخرجه البيهقي
والطبرنى وابوالشيخ وابن ابي الدنيا)
Dari Jabir dan Abu Sa’id
mereka berkata, Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jauhilah olehmu sifat ghibah
karena ghibah itu lebih besar dosanya dari pada zina. Ditanyakan kepada Rasul
“bagaimana bisa?” Rasulullah menjawab: seorang laki-laki berzina kemudian
bertaubat, Allah akan mengampuninya dan orang yang mempunyai sifat ghibah,
Allah tidak akan mengampuninya sehingga temannya mau mengampuninya.
Hadits diatas menerangkan
bahwa dosa ghibah tidak akan diampuni oleh Allah sebelum orang yang dighibahkan
mau mengampuninya.
Adapun untuk mengobati
kebiasaan ghibah yang merupakan penyakit yang sulit dideteksi dan diobati ini
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan ilmu dan amal. Dimana dengan ilmu
berarti mengetahui pengaruh jahat mengumpat terhadap kehidupan dan
menghapuskan penyebab mengumpat. Dan dengan amal, bertujuan untuk menyelidiki
kekurangan diri sendiri sehingga kita akan malu menyalahkan orang lain tanpa
melihat kekurangan diri sendiri.[23]
9. Namimah
Secara bahasa, Namimah berarti mengadu domba. Menurut
Imam Zakaria Yahya bin Syarfin Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin, Namimah
adalah merekayasa omongan untuk menghancurkan sesama manusia. Namimah adalah
mengadu domba antara seseorang dengan orang lain dengan tujuan agar mereka
saling bermusuhan. Namimah termasuk perbuatan tercela yang harus kita hindari
dalam kehidupan sehari-hari, karena namimah dapat menimbulkan permusuhan antar
sesama umat. Sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al-Qalam ayat 10-14:
Artinya :
“Dan janganlah kamu ikuti Setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina (10)
yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah (11) yang banyak
menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa (12) yang
kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (13) karena Dia
mempunyai (banyak) harta dan anak (14)
Orang yang mempunyai banyak anak dan harta lebih mudah
Dia mendapat pengikut. tapi jika Dia mempunyai sifat-sifat seperti tersebut
pada ayat 10-13, tidaklah Dia dapat diikuti.
Bahkan dalam suatu hadits Nabi disebutkan bahwasanya
orang yang melakukan namimah diancam tidak akan masuk surga.
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
نَمَامٌ (اخرجه الشيخان)
Dari
Hudzaifah r.a. ia mendengar bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk
surga orang yang mengadu domba (menebar fitnah)”. (HR. Bukhari dan Muslim)[24]
Bentuk menyebarkan berita tentang perkataan atau
perbuatan orang dikatakan namimah apabila dalam kondisi untuk merusak, namun
apabila tujuannya untuk memberi nasehat, mencari kebenaran dan mencegah
kemungkaran tidak dikatakan sebagai namimah. Akan tetapi, hukumnya dapat
menjadi sunah atau bahkan wajib bergantung pada situasi dan kondisi tersebut.
Misalnya, melaporkan pada pemerintah tentang orang yang akan membuat kerusakan,
orang yang akan menganiaya orang lain, dan lain sebagainya.
Sama dengan akhlaq-akhlaq tercela lainnya, Namimah ini
ditimbulkan karena adanya rasa dengki terhadap seseorang sehingga menjadikan
kita berlaku jahat atau tidak adil kepadanya. Oleh karena itu untuk agar kita
dapat terhindar dari perbuatan ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan:
1. Menyadari tentang bahaya
yang ditimbulkan dari sifat namimah
2. Menyadari bahwa namimah
merupakan perbuatan dosa
3. Menyadari bahwa diri kita
juga tidak suka apabila diadu domba oleh orang lain
4. Menjaga lisan dari perkataan
yang tidak berguna, yang karenanya dapat menyakiti dan mendzalimi orang lain.[25]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut bahasa akhlak merupakan tingkah laku, tabiat
atau perangai. Sedangkan akhlak menurut istilah merupakan suatu pengetahuan
yang menjelaskan mengenai perbuatan yang baik serta buruk, mengatur prilaku
manusia, serta mampu menentukan perbuatan akhir.
Macam-macam dari akhlak tercela adalah banyak sekali
seperti Hasad, Riya’, Hubbud Dunnya, Sum’ah, Ujub, Takabur, Itbaul Hawa,
Ghibah, Namimah dan masih banyak lagi. Aklak tercela diatas merupakan suatu
sikap/perbuatan jelek yang merugikan diri sendiri dan orang lain yang dilakukan
jauh dari apa yang dilarang agama dan tidak diridhoi oleh Allah SWT. Seseorang
yang melakukan akhlak tercela akan mendapat kesulitan baik di dunia maupun di
akhirat. Kesenangan yang didapat dari akhlak tercela di dunia hanyalah sementara.
Bahaya yang ditimbukan dari akhlak tercela adalah
beragam, yaitu : Selalu bangga terhadap apa yang telah dilakukan meskipun itu
salah, memandang orang lain selalu salah, merugikan diri sendiri dan orang
lain, semakin dekat dengan syaitan, tidak akan mendapatkan ridha dari Allah SWT
dan mendapat siksa di akhirat nanti.
Adapun cara untuk menghindari/mengobati nafsu jahat
ini adalah : Dalam ilmu tasawuf, nafsu jahat dan liar sering disebut dengan
istilah sifat madzmumah. Di antara sifat-sifat mazmumah itu seperti Hasad,
Riya’, Hubbud Dunnya, Sum’ah, Ujub, Takabur, Itbaul Hawa, Ghibah,
Namimah dan lain-lain. Sifat-sifat itu melekat pada hati seperti daki
melekat pada badan. Semua akhlak tercela berawal dari nafsu jahat, sedangkan
nafsu jahat berasal dari godaan para syaitan. Maka, agar kita dapat terjauh
dari akhlak tercela adalah dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Dengan
kita selalu mendekatkan diri kepada Allah maka kita akan selalu takut dengan
murka Allah. Kita akan sadar bahwa Allah selalu melihat perbuatan kita. Dengan
begitu, kita akan merasa takut untuk melakukan perbuatan jelek. Selain itu,
kita juga harus ingat bahwa ajal seseorang tidak ada yang tau. Bayangkanlah
bahwa ajal kita adalah hari esok. Dengan begitu kita akan takut untuk melakukan
perbuatan jelek. Dan beribadahlah dengan khusyu’ seakan-akan kamu mati besok.
Firman
Allah dalam Al-Qur’an Surat Al Hijr : 99.
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan
sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr:
99).
B. Saran
Berdasarkan pembahasan mengenai akhlak-akhlak tercela,
penulis memberi saran sebagai umat muslim seharusnya memberikan perhatian penuh
terhadap masalah pembersihan hati dari segala-segala penyakit yang dapat
menimbulkan perilaku atau perbuatan yang buruk, dimana keduanya merupakan
identitas dari akhlak yang tercela. Dengan begitu, apabila hati yang merupakan
unsur utama tubuh itu bersih maka insyaallah keadaan jiwa (Akhlak) mengikuti
kebersihan hati yang kita miliki. Mengingat begitu pentingnya akhlak dalam
kehidupan yang dapat mengantarkan kedalam jalan yang baik dan bermanfaat serta
tidak merugikan orang lain.
Demikian makalah ini penulis buat, apabila terdapat
kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini, penulis meminta maaf
dikarenakan penulis hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kesalahan dan
lupa. Oleh karena itu, untuk kesempurnaan dalam penulisan makalah ini penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca dan semoga
dengan informasi dalam makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 2008. Mutiara
Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam;Terjemahan
Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan
Al-Ghozali, Imam. 2008. Mutiara Ihya’
Ulumuddin. Bandung: PT Mizan Pustaka
Al-Ghazali, Imam. 2013. Minhajul Abidin: Jalan
Para Ahli Ibadah.Jakarta: Khatulistiwa
Al Khaubawiyyi,Usman Asy Syakir. 1985. Durratun
Nasihin: Butir-butir Mutiara Hikmat; Alih bahasa oleh Rosihin Abd.Gani.
Semarang: Wicaksana
Ibnu
Taimiyah. 2002. Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah.Jakarta: Hikmah
Bahreisy, Salim. 1987. Terjemah Riyadhus
Shalihin II. Bandung: Alma Arif
Hawwa, Sa’id.2006. Tazkiyatun Nafs: Intisari
Ihya’ Ulumuddin; Terjemahan Tim Kuwais. Jakarta: Pena Pundi Aksara
Masykhur, Anis. 2002. Risalah Tasawuf Ibnu
Taimiyah: Terjemahan Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah Jilid 10
tentang Kitab ‘Ilm Al-Suluk. Jakarta: Hikmah
Quasem, M.Abul, Kamil. 1975. Etika
Al-Ghazali:Etika Majemuk didalam Islam. Bandung: Pustaka
Sati,Pakih. 2013. Syarah Al-Hikam:
Kalimat-kalimat Menakjubkan Ibnu ‘Atha’illah dan Tafsir serta Motivasinya.
Yogyakarta: Diva Press
Yusuf, Hamza. 2009. Hatiku Surgaku: Terapi
Jitu Membersihkan Hati dari Sifat-sifat yang Tidak Disukai Allah. Jakarta:
Lentera Hati
Belum ada Komentar untuk "MAKALAH AQIDAH AKHLAK KELAS 11 : MENGHINDARI AKHLAK TERCELA"
Posting Komentar
Tinggalkan komentar terbaik Anda...