AL QUR'AN HADIST KELAS 10 : memahami hadist dari segi kuantitas dan kualitas
Minggu, September 17, 2017
Tambah Komentar
A. PEMBAGIAN HADITS DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA
(JUMLAH PEROWI).
Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya atau jumlah rawi yang menjadi sumber berkaitan.
Di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian , yakni hadis mutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada juga yang membaginya menjadi dua , yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
Di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian , yakni hadis mutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada juga yang membaginya menjadi dua , yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
Ulama golongan pertama, yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri , tidak termasuk bagian dari hadis ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jasashah (305-370 H).Adapun ulama golongan kedua , diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulam kalam.menurut mereka , hadis masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sensdiri , tetapi merupakan bagian dari ahad.itulah sebabnya mereka membagi hadis menjadi dua bagian yaitu, mutawatir dan ahad.
(sohari sahrani.halaman 83)
Ditinjau dari segi jumlah perowi yang meriwayatkan, maka hadits itu dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
Menurut bahasa mutawatir berarti muttabi’ artinya yang datang kemudian, yang beriringan atau yang berurut-urut, maksudnya beriring-iringan antara yang satu dengan yang lain.
Sedang menurut istilah ialah :
بِالْكَذِعَلًيْهُمْطُؤتَوَادَةُالْعَاتَحِيْلُمَبْلَغَاةِالْكَثْرَفِيْبَلّغُوْاجَمَاعَةُبِهِاَخْبَرَمَحْسُوْسٍعَنْمَاكَانَ
“ khabar yang didasarkan kepada pancaindera, yang diberitakan oleh sejum lah orang , yang jumlah tersebut menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat (lebih dahulu) atau dusta (dalam pembicaraannya).
مَا رَوَاهُ جَمْعٌ تُحِيْلُ الْعَا دَةَ تَوَا طُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِيْبِ عْنْ مِثْلِهِمْ مِنْ اَوَّلِ السَّنَدِ اِلَى مُنْتَهَاهُ
“Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat, mustahil mereka lenih dahulu bersepakat untuk berdusta, mulai awal sampai akhir matarantai sanad, pada setiap thabaqat atau generasi”.
الَّذِرَوَاهُ جَمْعٌ كَثِيْرٌلاَ يُمْكِنُ تَوَاطُؤهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ الَى نْتِهَاءِ السَّنَدِ وَكَانَ مُسْتَنِدُ هُمْ الْحِسُ
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, yang menurut adat, pada umumnya dapat memberikan keyakinan yang mantap, terhadap apa yang telah mereka beritakan, dan mustahil mereka bersepakat untuk bersepakat untuk berdusta, mulai dari awal matarantai sanad sampai pada akhir sanad.
Adapun kriteria yang harus ada dalam hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
a. Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Maksudnya secara umum sejumlah besar periwayat tersebut bisa memberikan suatu keyakinan yang mantap bahwa mereka tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, tanpa melihat berapa jumlah besar perawinya.
Dalam menghadapi nominalisasi jumlah besar perawi dalam hadits mutawatir, para ahli berbeda-beda pandangan, diantaranya:
1) Al-Qadliy al-Baqilaniy berpendapat bahwa jumlah nominal perawi hadits mutawatir adalah 5 orang. Hal ini dianalogikan dengan jumlah Nabi yang masuk dalam kelompok ‘Ulil ‘Azmiy.
2) Al-Isthakhariy berpendapat minimal 10 orang, sebab jumlah ini merupakan awal dari bilangan banyak.
3) Seagian ‘ulama berpendapat minimal 12orang, dan ada juga yang mengatakan minimal 20 orang.
4) Sebagian lagi mengatakan minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah dan sabda Rasul-Nya, bahkan ada yang berpendapat minimal 70 orang.
b. Adanya kesinambungan antara perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan generasi berikutnya.
Maksudnya jumlah perawi generasi pertama dan berikutnya harus seimbang, artinya jika pada generasi pertama berjumlah 20 orang, maka pada generasi berikutnya harus 20 orang atau lebih.
c. Berdasarkan tanggapan pancaindra.
Maksudnya hadits yang sudah mereka sampaikan itu harus benar hasil dari pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.(Nasir, Ridwan.Ulumul hadits dan Musthalahul hadits.(jombang.darul-hikmah.2007) halaman 171-173
Menurut ulama sebagian Ulama lainnya, hadits mutawatir dapat dibedakan menjadi 2 macam , namun sebagian ulama lainnya membaginya menjadi tiga, yakni, hadits mutawatir lafdz , maknawi, dan amali.
1. Hadits mutawatir lafdz
Hadits yang mutawatir yang periwayatannya dengan suatu redaksi yang sama atau hadits yang mutawatir lafal dan maknanya.
Contoh :
أَحْرُفٍسَبْعَةِعَلَياُنْزِلَاَنَالْقرْهَذاَإنَّ
Artinya :
“ sungguh al-Qur’anKu diturunkan dengan 7 bacaan (Qiraat) “.
2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits yang maknanya mutawatir tetapi lafalnya tidak.Atau juga hadits yang lafal serta maknanya berlain-lain, tetapi dapat diambil dari kumpulannya satu makna yang umum. Maksudnya adalah hadits yang para perawinya berbeda-beda dalam menyusun redaksi pemberitaan, tetapi pada prinsipnya sama.
Contoh :
مَا رَفَعَ صَلَى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ يْهِ حَتَّى رُؤِيَ بَيَا ضُ اِبْطَيْهِ فِي شَيْئٍ مِنْ دُ عَا ئِهِ اِلاَّ فِى الاِ سْتِسْقَا ءِ ( متفق عليه)
“konon Nabi tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam do’a beliau selain do’a sholat istisqa’.Dan beliau mengangkat tangannya, sehingga Nampak utih-putih kedua ketiaknya.( H.R Bukhari Muslim)
كَا نَ يَرْ فَعُ يَدَيْهِ حَذْ وَ مَنْكِبَيْهِ
“ ketika beliau saw mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau “
3. Hadits mutawatir amali
Sesuatu yang dapat diketahui dengan mudah bahwa hal itu adalah dari agama, dan telah mutawatir diantara umat islam bahwa nabi s.a.w mengerjakannya atau menyuruhnya atau selain dari hal itu.
Jenis hadits mutawati amali ini banyak jumlahnya, misalnyahadits yang menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, tata cara shalat, cara pelaksanaan haji dan lain-lain.
لاَ صَلاَ ةَ اِلاَّ بِأُ مِّ الْقُرْ أَنِ
“ tidak sah sholat itu dengan tidak membaca fatihah”.
2. Hadits ahad
1. Pengertian hadits Ahad
Kata Ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka Ahad atau khabar wahid berarti yang disampaikan oleh satu orang.Khabar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi hadits mutawatir, baik perowinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya, Yang memberikan pengertian bahwa jumlah perowi tersebut tidak mencapai jumlah perowi hadits mutawatir.
2. Pembagian hadits ahad
Para ulama membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghoiru masyhur, sedangkan ghoiru masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan gharib.
a. Hadits masyhur
Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu’ ( sesuatu yang sudah tersebar dan popular).Adapun menurut istilah yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih, tetapi bilangannya tidak mencapai ukuran bilangan mutawatir.
Macam-macam hadits masyhur :
1. Masyhur dikalangan para ahli hadits dan lainnya
قَالَ رَسُوْلُ اللّه ص م اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَا نِهِ وَيَدِهِ
“Rasulullah saw bersabda seorang muslim adalah orang yang mau menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya”.
2. Masyhur khusus dikalangan para ilmuan
Maksudnya hadits ini hanya dikenal oleh orang-orang tertentu dan yang lain tidak mengenalnya, seperti hadits :
a) Masyhur dikalangan ahli hadits :
اَنَّ النَّبِيّ ص م قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّ كُوْ عِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ
“sesunguhnya nabi saw berqunutsebulan penuh lamanya setelah ruku’ untuk (mendo’akan) keluarga Ri’lah dan dzakwan.
b) Masyhur dikalangan ahli fiqih :
لاَصَلاَةَ لِجَا رِ الْمَسْجِدِ اِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ
“Tidak sah shalat orang yang rumahnya berdekatan dengan masjid kecuali melakukan shalat di masjid”
c) Masyhur dikalangan ahli ushul, yaitu :
رَفَعَض عَنْ اُمَّتِي الْخَطَ ءُ وَالنّسْيَا نُ وَمَا اُسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“telah terangkat (dosa) umatku yakni dosa atas kekeliruan, lupa dan perbuatan yang mereka kerjakan lantaran terpaksa”
3. Masyhur dikalangan orang ‘Awam
Maksudnya hadits yang masyhur hanya dikalangan orang-orang biasa, seperti hadits :
يَوْمَ نَحْرِ كُمْ يَوْمُ صَوْمِكُمْ
“hari raya qurban itu adalah puasa kamu sekalian”
Hadits masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dha’if.Yang dimaksud dengan hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan hadits sahih, baik pada sanad maupun matannya, seperti haditsdari Ibnu Umar:
فَلْيُغْسِلْالْجُمْعَةِكُمُجَاءَاذَإِ
“ barang siapa yang hendak melaksanakan shalat jum’at hemdaklah ia mandi”.
Adapun yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentun hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya, seperti sabda Rasulullah s.a.w:
مُسْلِمَةِوَمُسْلِمِكُلِّعَلَيفَرِيْضَةالْعِلْمِطَلَبُمص:النّبِيّلَقَا:قَالَعَنْهُاللّٰهُرَضِيَاَنَسِعَنْ
( جَهمَاابْنُرَوَاه )
“ Menuntut ilmu itu wajib bagi setia muslim baik laki-laki maupun peremuan“.
Adapun yang dimaksud dengan hadits masyhur dha’if adalah hadits masyhur yang telah memenuhi syarat-syarat hadis sahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits:
بّهُرَفَعَرَنَفْسَهُفَعَرَمَنْ
“ barang siapa yang mengenal dirinya, maka sungguh dia telah mengenal tuhannya “
b. Hadits ghairu Masyhur
Para ulama ahli hadis menggolongkan hadis ghairu masyhur menjadi ‘aziz dan Gharib.
1) Hadits ‘Aziz
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi, sekalipun hanya dalam satu generasi.
Contoh yang ditakhrijkan oleh Bukhari dan Anas katanya Rasulullah saw bersabda :
ص م لاَ يُؤْ مِنُ اَحَدُ كُمْ حَتَّى اَكُوْنَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَوَا لِدِ هِ وَوَلِدِهِ وَ النَّا سِ قَا لَ رَسُوْلُ اللّهَ
اَجْمَعِيْنَ
“ tidaklah beriman seseorang diantara kamu, hingga aku lebih dicintai dari ada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia.
2) Hadits Gharib
Gharib secara lughawi (bahasa) berarti almunfarid (menyendiri) atau al-ba’id’an aqarabihi ( jauh dari kerabatnya).Jadi, hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perowi yang menyendiri dalam periwayatannya, tanpa ada orang lain yang meriwayatkannya.
Hadits Gharib terbagi menjadi dua, yaitu : gharib muthlaq dan gharib nisbi.
a. Gharib Muthlaq
Ialah hadits yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada asal sanad.
Contoh hadits gharib muthlaq antara lain :
قَا لَ النّبِيّ ص م اَلاِ يْمَا نُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْ نَ شُعْبَةٌ وَالْحَيَا ءُ شُعْبَةٌ مِنَ الاِ يْمَا نِ
b. Gharib Nisbi
Ialah hadits yang terjadi gharib dipertengahan sanadnya.hadits nisbi ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada asal sanad ( perawi pada tingkat sahabat), tetai dipertengahan sanadnya terdaat tingakatan yang perawinya hanya sendiri ( satu orang).
Contoh hadits gharib nisbi yang berkenaan dengan membaca al-qur’an untuk shalat, antara lain:
(داودابورَواَه) مِنْهُتَيَسَّرَمَاوَبِالْكِتَابِفَاتِحَةِتَقْرَأَاَنْ :مصاللّٰهرَسُوْلُنَااَمَرَ
“ Rasulullah s.a.w memerintahkan kepada kami agar kita membaca Al-fatihah dan surat yang mudah dari alqur’an.( H.R Abu Dawud).
( sohari sahrani.ulumul hadits hal:101)
B. PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUALITASNYA
Ditinjau dari segi nilainya ( kualitasnya), hadits itu dapat dibagi menjadi tiga macam yakni :
1. Hadits shahih
Sahih secara etimologi adalah lawan dari saqim (sakit), sedangkan dalam istilah ilmu hadits berarti hadits yang berhubungan (bersambung) sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil , dhabith, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula berillat.
Yang dimaksud dengan hadits shahih menurut Muhadditsin ialah hadits yang dinukilkan (diriwayatkan) oleh rawy yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillatdan tidak janggal.
Syarat-syarat hadits shahih :
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatannya
3. Sanadnya tidak putus
4. Hadits itu tidak berillat
5. Tidak syadz atau janggal.
Para ulama membagi Hadits shahih menjadi dua bagian, yaitu shahih li-dzatih dan shahih li ghoirih.Perbedaan antara kedua bagian ini terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya kurang sempurna.
a. Hadits sahih li-dzatih
Yang dimaksud dengan sahih li-dzatih ialah hadits yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan sahih, khususnya yang berkaitan dengan kurang sempurna pada hadits sahih li ghairih. Sehingga dengan demikian bisa dikatakan bahwa, sebenarnya hadits shahih bagian ini asalnya bukan hadits shahih melainkan hadits li dzatih.
Contoh :
كُلِّ صَلاَةٍ ( رواه البخا ري )عِنْدَبِاالسِّوَاكِتَهُمْلَامَرْاُمَّتِيعَلَيأَشُقَّأَنْلَالَوْ
“ Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan ber-siwak setiap kali hendak melaksanakan salat “.( H.R Bukhari)
b. Hadits Shahih li-ghairih
“ Hadits yang keadaan rawy-rawynya kurang Hafidh dan dlabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajat hasan, lalu di dapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu “.
2. Hadits Hasan
Hadits Hasan menurut bahasa berarti Sesuatu yang disenangi dan di oleh nafsu. Sedangkan hadits Hasan menurut istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya..
Menurut At-Turmudzy Hadits Hasan ialah Hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan Hadits itu di riwayatkan tidak dari satu jurusan ( mempunyai banyak jalan) yang sepadan ma’nanya.
Sedangkan menurut Jumhuru’l-Muhaddutsin Hadits Hasan ialah Hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, ( tapi ) tak begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya”
Sebenarnya perbedaan antara Hadits Shahih dan Hasan itu, terletak pada syarat kedlabithan rawy. Yakni pada Hadits Hasan, kedlabithannya lebih rendah ( tidak begitu baik ingatannya ), jika di bandingkan dengan Hadit Shahih. Sedang syarat-syarat Hadits Shahih yang lain masih diperlukan untuk Hadits Hasan. 14 Drs. fatchur Rahman. Mushthalahul Hadits ( Yogyakarta, PT Al-Ma’arif, 1995 ) Halaman 111.
Dengan kata lain, syarat hadits hasan dapat di rinci sebagai berikut :
· Sanadnya bersambung..
· Perawinya adil.
· Perawinya harus dhabit, tetapi kualitas ke dhabitannya dibawah ke dhabitan perawi hadits shahih.
· Tidak terdapat kejanggalan ( syadz )
· Tidak ada illat ( cacat )
Hadits hasan itu dapat di bagi menjadi dua yaitu :
a) Hadits hasan lidzatihi
Hadits Hasan Lidzatihi ialah Hadits yang terkenal para perawinya tentang kejujuran dan amanahnya tetapi hafalan dan keteguhan hafalannya tidak mencapai derajat para perawi hadits shahih.
b). Hadits hasan lighairihi
hadits hasan lighairihi ialah :
الْحَسَنُ لِغَيْرِهِ هُوَ الَّضّعِيْفُ اِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ وَلَمْ يَكُنْ سَبَبُ ضُعْفِهِ فِسْقُ الرَّاوِى اَوْكَذْبِهِ
“hadits hasan lighairihi ialah hadits dha’if dimana jumlah perawi yang meriwayatkannya banyak sekali dan sebab kedha’ifannya tidak disebabkan kefasikan perawi atau orang yang tertuduh kuat senang berlaku bohong”.
Maksudnya adalah hadits dha’if dimana sistem periwayatannya sebagai syarat keshahihan, banyak yang tidak terpenuhi, tetapi mereka dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat kesalahan atau berlaku dosa dan para perawi banyak meriwayatkannya, baik menggunakan redaksi yang sama maupun yang ada kemiripan.
3. Hadits Dla’if
Menurut bahasa Dlaif berarti ‘Ajiz = yang lemah sebagai lawan qawiyyu = kuat. Sedangkan hadits dha’if menurut istilah , para ulama’berbeda-beda dalam susunsn redaksiny, tetapi substansi dari definisi tersebut adalah sama, diantaranya:
a). al-Nawawiy
الْحَدِيْث الضَّعِيْفُ هُوَ مَالَمْ يُوْجَدْ فِيْهِ شُرُوْطٌ مِنْ شُرُوْ طِ الْحَسَنِ
“Hadits yang didalamnya tidak ditemukan syarat-syarat yang wajib ada dalam hadits shahih dan hasan”
b) Thahhan
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
“Hadits yang didalamnya tidak terkumpul syarat-syarat yang wajib ada dalam hadits hasan disebabkan tidak adanya satu syarat yang menjadi syarat-syarat hadits hasan”
c). Nur Din ‘Itr
الْحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ هُوَ مَا فَقُدَ شَرْطَا ِنْ شُرُوْطِ الْحَدِ يْثِ الْمَقْبُوْلِ
hadits yang didalamnya tidak ditemukan satu syarat dari syarat-syarat hadits yang diterima (maqbul).
d). Ajjaj al-khathibi
الْحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ هُوَ كُلُّ حَدِ يْثٍ لاَ تَجْتَمِعُ فِيْهِ صِفَةُ الْقَبُوْلِ
hadits dha’if adalah hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat maqbul.
Dari beberapa definisi id atas, dapat diambil kefahaman jika dalam satu hadits telah hilang satu syarat dari sekian syarat-syarat yang harus ada di dalam hadits hasan, maka status hadits tersebut dinyatakan sebagai hadits dha’if, apalagi jika jika syarat yang hilang sampai dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak ada, tidak memiliki daya ingatan kuat dan ada kejanggalan atau cacat.
Contoh hadits dho’ig yang diriwayatkan oleh imam Turmudziy, dari jalur Syu’bah, dari ‘Asyim bin Ubaidillah, dari Abdullah bin ‘Amr bin Rabi’ah, dari ayahnya, tentang maskawin seorang wanita yang berupa sepasang sandal, lalu Rasulullah saw bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللّه ص م : " اَرَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكَ وَمَا لِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟.قَا لَتْ"نَعَمْ" فَأَ جَا زَهُ
“berkata Rasulullah SAW : apakah kamu ridha (senang) menerima maskawin berupa sandal ?. lalu wanita itu menjawab, iya, kemudia beliau meloloskan ( menikahkan ) nya.
KESIMPULAN
A. Pembagian hadits dari segi kuantitas
Ditinjau dari segi jumlah perowi yang meriwayatkan, maka hadits itu dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
Menurut bahasa mutawatir berarti muttabi’ artinya yang datang kemudian, yang beriringan atau yang berurut-urut. Menurut istilah ialah : “ khabar yang didasarkan kepada pancaindera, yang diberitakan oleh sejum lah orang , yang jumlah tersebut menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat (lebih dahulu) atau dusta (dalam pemberitaannya itu).
Jadi untuk dapat dikatakan berita itu mutawatir, harus memenuhi tiga syarat yakni:
a. Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
b. Adanya kesinambungan antara perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan generasi berikutnya.
c. Berdasarkan tanggapan pancaindra
Menurut ulama sebagian Ulama lainnya, hadits mutawatir dapat dibedakan menjadi 2 macam , namun sebagian ulama lainnya membaginya menjadi tiga, yakni, hadits mutawatir lafdz, maknawi, dan amali.
2. Hadits Ahad
Kata Ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka Ahad atau khabar wahid berarti yang disampaikan oleh satu orang.Khabar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi hadits mutawatir, baik perowinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya, Yang memberikan pengertian bahwa jumlah perowi tersebut tidak mencapai jumlah perowi hadits mutawatir.
3. Pembagian hadits ahad
1) Hadits masyhur
2) Hadits ghoiru masyhur
Para ulama ahli hadis menggolongkan hadis ghairu masyhur menjadi ‘aziz dan Gharib.
3) Hadits ‘Aziz
4) Hadits gharib
Hadits Gharib terbagi menjadi dua, yaitu : gharib muthlaq dan gharib nisbi.
B. Pembagian hadits dari segi kualitasnya
1. Hadits Sahihhadits yang berhubungan (bersambung) sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil , dhabith, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula berillat.
Para ulama membagi Hadits shahih menjadi dua bagian, yaitu shahih li-dzatih dan shahih li ghoirih.
Syarat-syarat hadits shahih :
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatannya
3. Sanadnya tidak putus
4. Hadits itu tidak berillat
5. Tidak syadz atau janggal
2. Hadits hasan
Menurut Jumhuru’l-Muhaddutsin Hadits Hasan ialah Hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, ( tapi ) tak begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya”
syarat hadits hasan dapat di rinci sebagai berikut :
· Sanadnya bersambung..
· Perawinya adil.
· Perawinya dhabit, tetapi ke dhabi-annya ke bawah ke dhabitan perawi hadits hasan.
· Tidak terdapat kejanggalan ( syadz )
· Tidak ada illat ( cacat )
· Hadits hasan itu dapat di bagi menjadi dua yaitu :
· Hadits hasan lidzatihi dan
· Hadits hasan lighairihi
3. Hadits Dha’if
Menurut bahasa Dlaif berarti ‘Ajiz = yang lemah sebagai lawan qawiyyu = kuat. Sedangkan menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi “ yang tidak terkumpul sifat-sifat Shahih dan sifat-sifat hasan
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Moh.1998. Ilmu Mushthalahul hadits. Surabaya: al-ikhlas
Fatchurrohman.1970. Iktisar Musthalahul Hadits.Bandung:PT.Ma’arif
Nasir, Ridwan.2007.Ulumul Hadits dan Musthalahul Hadits. Jombang:
Darul- Hikmah
Sohari, Sahrani.2010. Ulumul Hadits.Bogor: Ghalia Indonesia
Belum ada Komentar untuk "AL QUR'AN HADIST KELAS 10 : memahami hadist dari segi kuantitas dan kualitas"
Posting Komentar
Tinggalkan komentar terbaik Anda...