MAKALAH AQIDAH AKHLAK KELAS 10 : MEMAHAMI INDUK AKHLAK TERPUJI
Jumat, November 03, 2017
Tambah Komentar
BAB I
PENDAHULUAN
Akhlak merupakan suatu
perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga menjadi
kepribadiannya.
Karena sifatnya yang mendarah daging, maka semua perbuatannya
dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Dengan demikian, baik atau buruknya
seseorang dilihat dari perbuatannya.
Induk akhlak islami yang akan
dibahas pada makalah maksudnya adalah sikap adil dalam melakukan suatu
perbuatan. Dari sikap adil tersebut akan muncul beberapa teori pertengahan,
karena sebaik-baiknya perkara (perbuatan) itu terletak pada pertengahannya, hal
ini apa yang telah Nabi sabdakan :
Artinya : “Sebaik-baiknya
urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”. (HR. Ahmad).
Oleh karena itu, agar lebih
jelasnya lagi tentang induk akhlak islami, di dalam makalah ini akan membahas
apa yang dimaksud dengan induk akhlak islami, serta ketiga macam induk akhlak
yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam
mempergunakan ketiga potensi sohaniah yang terdapat dalam diri manusia : akal,
amarah dan anfsu syahwat.
BAB II
PEMBAHASAN
INDUK-INDUK AKHLAK TERPUJI
Allah Swt. menciptakan manusia
sebagai makhluk yang mulia, Kemuliaan manusia
akan tetap bertahan selama
manusia berpegang teguh kepada akhlak mulia yang
dianjurkan oleh al-Qur’an dan
dicontohkan oleh Rasul.
“Dan sungguh, Kami telah
memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan
Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas
banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna
.” (QS. Al-Isra [17] : 70)
1. Induk-Induk Akhlak Terpuji
Seorang muslim seharusnya
menghiasi diri dengan akhlak terpuji (mahmudah). Adapun akhlak terpuji yang
harus dimiiliki oleh seorang
muslim antara lain:
a. Berani dalam segala hal yang
positif.
b. Adil dan bijaksana dalam
menghadapi dan memutuskan sesuatu;
c. Mendahulukan kepentingan
orang lain daripada kepentingan diri sendiri;
d. Pemurah dan suka menafkahkan
hartanya, baik pada waktu lapang
maupun susah;
e. Ikhlas dalam melaksanakan
setiap amal perbuatan semata-mata karena
Allah Swt.;
f. Cepat bertobat dan meminta
ampun kepada Tuhan jika melakukan
suatu dosa;
g. Jujur, benar dan amanah;
h. Tenang dalam menghadapi
berbagai masalah, tidak berkeluh kesah,
dan tidak gundah gulana;
i. Sabar dalam menghadapi
setiap cobaan atau melaksanakan kewajiban
ibadah kepada Tuhan;
j. Pemaaf, penuh kasih sayang,
lapang hati dan tidak membalas dendam;
k. Selalu optimis dalam
menghadapi kehidupan dan penuh harap kepada
Allah Swt.;
l. Iffah, menjaga diri dari
sesuatu yang dapat merusak kehormatan dan
kesucian;
m. Al-haya yakni malu melakukan
perbuatan yang tidak baik;
n. Tawadu (rendah hati);
o. Mengutamakan perdamaian
daripada permusuhan;
p. Zuhud dan tidak rakus
terhadap kehidupan duniawi;
q. Rida atas segala ketentuan
yang ditetapkan Allah Swt.;
r. Baik terhadap teman,
sahabat, dan siapa saja yang terkait dengannya;
s. Bersyukur atas segala nikmat
yang diberikan atau musibah yang
dijatuhkan
t. Berterima kasih kepada
sesama umat manusia;
u. Mengutamakan musyawarah
dalam mengambil keputusan;
v. Bertawakal setelah segala
usaha dilaksanakan dengan sebaik-baiknya;
w. Dinamis sampai tujuan dan
cita-cita tercapai;
x. Murah senyum dan menampilkan
wajah yang ceria kepada sesama
y. Menjauhi sifat iri hati dan
dengki;
z. Rela berkorban untuk
kemaslahatan umat manusia dan dalam membela
agama
Secara
khusus dalam bab ini akan dibahas mengenai
hikmah, iffah, syaja’ah
dan ‘adalah.
2. Menggali Hikmah Kehidupan
a. Pengertian Hikmah dan Ruang
Lingkupnya Secara bahasa al-hikmah berarti: kebijaksanaan,
pendapat atau pikiran yang bagus, pengetahuan,filsafat, kenabian,
keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan al-Qur'an. Menurut Al-Maraghi
dalam kitab Tafsirnya,
menjelaskan al-Hikmah sebagai perkataan yang tepat lagi tegas yang diikuti
dengan dalil-dalil yang dapat menyingkap kebenaran. Sedangkan menurut Toha
Jahja Omar; hikmahadalah bijaksana, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya,
dan kitalah yang harus berpikir, berusaha, menyusun, mengatur cara-cara dengan
menyesuaikan kepada keadaan dan zaman, asal tidak bertentangan dengan hal-hal
yang dilarang oleh Allah sebagaimana dalam ketentuan
hukum-Nya.Dalam kata al-hikmah
terdapat makna pencegahan, dan ini meliputi
beberapa makna, yaitu:
1) Adil akan mencegah pelakunya
dari terjerumus ke dalam kezaliman.
2) Hilm akan mencegah pelakunya
dari terjerumus ke dalam
kemarahan.
3) Ilmuakan mencegah pelakunya
dari terjerumus ke dalam kejahilan.
4) Nubuwwah, seorang
Nabi tidak lain diutus untuk mencegah manusia dari menyembah selain Allah, dan
dari terjerumus kedalam kemaksiatan serta perbuatan dosa. al-Qur’an dan seluruh
kitab samawiyyahditurunkan oleh Allah agar manusia terhindar dari syirik, mungkar,
dan perbuatan buruk.
Lafad
al-hikmah tersebut dalam al-Qur’an sebanyak dua puluh kali dengan berbagai
makna.
a. Bermakna pengajaran
Al-Qur’an
“Dan apa yang telah diurunkan
Allah kepadamu yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan al-hikmah, Allah memberikan
pengajaran ( mau’izah ) kepadamu dengan apa yang diturunkannya itu “
(QS. Al-Baqarah [2] : 231)
b. Bermakna pemahaman dan
ilmuHai Yahya, ambillah Al kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. dan Kami
berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.
(QS. Maryam [19 ]: 12)
c. Bermakna An-Nubuwwah
(kenabian). (QS.An-Nisa' [4] :5 4 dan QS.sad [38] : 20)
d. Bermakna al-Qur’an yang
mengandung keajaiban-keajaiban dan penuh rahasia (QS. Al-Baqarah [2] : 269)
Abdurrahman As-Sa’di
menafsirkan kata Al-hikmah dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat dan
pengetahuan-pengetahuan yang benar, akal yang lurus, kecerdasan yang murni,
tepat dan benar dalam hal perkataan maupun perbuatan.” Kemudian
beliau berkata, “seluruh perkara tidak akan baik kecuali dengan al-hikmah, yang
tidak lain adalah menempatkan segala sesuatu sesuai pada tempatnya; mendudukkan
perkara pada tempatnya, mengundurkan ( waktu ) jika memang sesuai dengan
kondisinya, dan memajukan ( waktu ) jika memang sesuai dengan yang
dikehendaki.”
b. Anjuran Memiliki Hikmah
Hikmah itu adalah Setiap
perkataan yang benar dan menyebabkan perbuatan yang benar. Hikmah ialah: ilmu
yang bermanfaat dan amal shaleh, kebenaran dalam perbuatan dan perkataan,
mengetahui kebenaran dan mengamalkanya.Tidaklah cukup dalam mengamalkan ajaran
agama hanya dengan al-Qur’an saja tanpa dengan
al-Hikmah yang berarti
as-sunnahatau pemahaman yang benar tentang al-Qur’an, karena itulah
as-sunnahjuga disebut sebagai al-hikmah. Orang yang dianugerahi al-hikmah
adalah: Orang yang mempunyai
ilmu mendalam dan mampu mengamalkannya secara nyata dalam kehidupan. Orang yang
benar dalam perkataan dan perbuatan. Orang yang menempatkan sesuatu sesuai pada
tempatnya (adil). Orang yang mampu memahami dan
menerapkan hukum Allah
SwtSetelah seseorang mendapatkan hikmah, maka baginya wajib untuk menyampaikan
atau mendakwahkannya sesuai dengan firman Allah Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat
petunjuk. (QS. An-nahl [16] : 125)
Hikmah dalam berdakwah tidak
terbatas pada makna: perkataan yang
lemah lembut, pemberian
motivasi,
hilm ( tidak cepat emosi dan
tidak bersikap masa bodoh), halus ataupun pemaaf. Namun, hikmah juga mencakup
pemahaman yang mendalam tentang berbagai perkara berikut hukum-hukumnya,
sehingga dapat menempatkan seluruh perkara tersebut pada tempatnya, yaitu
pendidikan sesuai dengan
tempatnya. Berkata dan berbuat secara
tepat dan benar
2) Dapat memberi nasihat pada
tempatnya
3) Dapat menempatkan mujadalah
(dialog) yang baik pada tempatnya.
4) Dapat menempatkan sikap
tegas
5) Memberikan hak setiap
sesuatu, tidak berkurang dan tidak
berlebih, tidak lebih cepat
ataupun lebih lambat dari waktu yang
dibutuhkannya
c. Keutamaan Hikmah
1) memiliki rasa percaya diri
yang tinggi dalam melaksanakan dan
membela kebenaran ataupun
keadilan,
2) menjadikan ilmu pengetahuan
sebagai bekal utama yang terus
dikembangkan,
3) mampu berkomunikasi denga
orang lain dengan beragam pendekatan
dan bahasan,
4) memiliki semangat juang yang
tinggi untuk mensyiarkan kebenaran
dengan beramar makruf nahi
munkar,
5) senantisa berpikir positif
untuk mencari solusi dari semua persoalan
yang dihadapi,
6) memiliki daya penalaran yang
obyektif dan otentik dalam semua
bidang kehidupan,
7) orang-orang yang dalam
perkataan dan perbuatannya senantiasa
selaras dengan sunnah
Rasulullah
3. Membiasakan Sikap Iffah
a.Pengertian ‘Iffah
Secara etimologis, ‘iffahadalah
bentuk
masdardari affa-ya’iffu-‘iffah
yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik,
iffah juga berarti kesucian
tubuh. Secara terminologis, iffahadalah memelihara kehormatan diri dari segala
hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya. Iffah (al-iffah) juga
dapat dimaknai sebagai usaha untuk memelihara kesucian diri (al-iffah ) adalah
menjaga diri dari segala tuduhan, ftnah, dan memelihara kehormatan.
b. Iffah dalam Kehidupan
iffah hendaklah dilakukan
setiap waktu agar tetap berada dalam keadaan kesucian. Hal ini dapat dilakukan
dimulai memelihara hati (qalbu) untuk tidak membuat rencana dan angan-angan
yang buruk. Sedangkan kesucian diri terbagi ke dalam beberapa bagian:
“Dan orang-orang yang tidak
mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan
mereka dengan karunia-Nya. (QS. An-Nur [24] : 33)
b) Kesucian Jasad; (QS.
Al-ahzab [33] : 59)
“Hai Nabi, Katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
«Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka». yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (
QS. Al-Ahzab [33] : 59)
c) Kesucian dari Memakan Harta
Orang Lain; (QS. An-Nisa [4] : 6)
Dan ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. ke mudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin,
Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang
penyerahan itu) bagi mereka.
dan cukuplah Allah sebagai
Pengawas (atas persaksian itu).
(QS. An-Nisa [4] : 6)
d). Kesucian Lisan
Dengan cara tidak berkata
menyakitkan orang tua seperti firman Allah Swt.
Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau
Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalampemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan «ah» dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia (QS. Al Isra
[17] : 23)
c. Keutamaan Iffah
Dengan demikian, seorang yang
afif adalah orang yang bisa menahan diri dari perkara-perkara yang dihalalkan
ataupun diharamkan walaupun jiwanya cenderung kepada perkara tersebut dan
menginginkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah:. Artinya; “Apa yang ada padaku
dari kebaikan (harta) tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya siapa
yang menahan diri dari meminta-minta maka Allah akan memelihara dan menjaganya,
dan siapa yang menyabarkan
dirinya dari meminta-minta maka Allah akan menjadikannya sabar. Dan siapa yang
merasa cukup dengan Allah dari meminta kepada selain-Nya maka Allah akan
memberikan kecukupan padanya. Tidaklah kalian diberi suatu
pemberian yang lebih baik dan
lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Agar seorang mukmin
memiliki sikap iffah, maka harus melakukan usaha-usaha untuk membimbing jiwanya
dengan melakukan dua hal berikut:dengan Allah dari meminta kepada selain-Nya
maka Allah akan memberikan kecukupan padanya. Tidaklah kalian diberi
suatupemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim). Agar seorang mukmin memiliki sikap iffah
, maka harus melakukan
usaha-usaha untuk membimbing jiwanya dengan melakukan dua hal berikut:
menjaga kehormatan diri
sehingga tidak berharap mendapatkan
apa yang ada di tangan mereka,
hingga ia tidak meminta kepada
makhluk, baik secara lisan
(lisnul maqal) maupun keadaan (lisanul hal)
2) Merasa cukup dengan Allah,
percaya dengan pencukupan-Nya. Siapa
yang bertawakal kepada Allah,
pasti Allah akan mencukupinya. Allah itu mengikuti persangkaan baik hamba-Nya.
Bila hamba menyangka baik, ia akan beroleh kebaikan. Sebaliknya, bila ia
bersangka selain kebaikan, ia pun akan memperoleh apa yang
disangkanya. Untuk
mengembangkan sikap ‘iffah ini, maka ada beberapa hal
yang harus diperhatikan dan
dilakukan oleh seorang muslim untuk menjaga kehormatan diri, di antaranya:
1) Selalu mengendalikan dan
membawa diri agar tetap menegakan sunnah Rasulullah,
2) Senantiasa mempertimbangkan
teman bergaul dengan teman yang jelas akhlaknya,
3) Selalau mengontrol diri
dalam urusan makan, minum dan berpakaian secara Islami,
4) Selalu menjaga kehalalan
makanan, minuman dan rizki yang diperolehnya,
5) Menundukkan pandangan mata
(ghadul bashar) dan menjaga kemaluannya,
6) Tidak khalwat (berduaan)
dengan lelaki atau perempuan yang bukan
mahramnya,
7) Senantiasa menjauh diri dari
hal-hal yang dapat mengundang fitnah.
’Iffah
merupakan akhlak paling tinggi dan dicintai Allah Swt. Oleh sebab itulah sifat
ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki kemampuan dan
daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus dituruti karena
akan membahayakan
saat telah dewasa. Dari sifat
’iffahakan lahir sifat-sifat mulia seperti: sabar, qana’ah, jujur, santun, dan
akhlak terpuji lainnya.Ketika sifat ’iffahini sudah hilang dari dalam diri
seseorang, akan membawa pengaruh buruk dalam diri seseorang, akal sehat akan
tertutup
oleh nafsu syahwatnya, ia sudah
tidak mampu lagi membedakan mana
yang benar dan salah, mana baik
dan buruk, yang halal dan haram.
a. Pengertian Syaja’ah
Secara etimologi kata
al-syaja’ahberarti berani antonimnya dari kata al-jabnyang berarti pengecut.
Kata ini digunakan untuk menggambarkan kesabaran di medan perang. Sisi positif
dari sikap berani yaitu mendorong seorang muslim untuk melakukan pekerjaan
berat dan mengandung resiko
dalam rangka membela kehormatannya. Tetapi sikap ini bila tidak digunakan
sebagaimana mestinya menjerumuskan seorang muslim kepada kehinaan.
Syaja’ahdalam kamus bahasa Arab
artinya keberanian atau keperwiraan, yaitu seseorang yang dapat bersabar
terhadap sesuatu jika dalam jiwanya ada keberanian menerima musibah atau
keberanian dalam mengerjakan sesuatu. Pada diri seorang pengecut sukar
didapatkan sikap sabar dan berani. Selain itu
Syaja’ah(berani) bukanlah
semata-mata berani berkelahi di medan laga, melainkan suatu sikap mental
seseorang, dapat menguasai jiwanya dan berbuat menurut semestinya.
b. Penerapan Syaja’ahdalam
Kehidupan
Sumber keberanian yang dimiliki
seseorang diantaranya yaitu;
1) Rasa takut kepada Allah Swt.
2) Lebih mencintai akhirat
daripada dunia,
3) Tidak ragu-ragu, berani
dengan pertimbangan yang matang
4) Tidak menomori satukan
kekuatan materi,
5) Tawakal dan yakin akan
pertolongan Allah,
Jadi berani
adalah: “Sikap Dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika mengancam.
Orang yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena dampaknya, kemudian
menentang maka itulah pemberani. Orang yang berbuat maksimal sesuai statusnya
itulah pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah (berani) bukan sinonim ‘adam
al-khauf(tidak takut sama sekali)”
Berdasarkan
pengertian yang ada di atas, dipahami bahwa berani terhadap sesuatu bukan berarti
hilangnya rasa takut menghadapinya. Keberanian dinilai dari tindakan yang
berorientasi kepada aspek maslahat dan tanggung jawab dan berdasarkan
pertimbangan maslahat. Predikat pemberani bukan hanya diperuntukkan kepada
pahlawan yang berjuang di medan perang. Setiap profesi dikategorikan berani
apabila mampu menjalankan tugas dan kewajibannya secara bertanggungjawab.
Kepala keluarga dikategorikan berani apabila mampu menjalankan tanggungjawabnya
secara maksimal, pegawai dikatakan berani apabila mampu menjalankan tugasnya
secara baik, dan seterus nya.
Keberanian yang terpuji adalah
yang mendorong berbuat maksimal dalam setiap peranan yang diemban, dan inilah
hakikat pahlawan sejati. Sedangkan berani yang tercela adalah apabila mendorong
berbuat tanpa perhitungan dan tidak tepat penggunaannya.
Syaja’ahdapat dibagi menjadi
dua macam:
1) Syaja’ah harbiyah, yaitu
keberanian yang kelihatan atau tampak,
misalnya keberanian dalam medan
tempur di waktu perang.
2) Syaja’ah nafsiyah,yaitu
keberanian menghadapi bahaya atau
penderitaan dan menegakkan
kebenaran.
Munculnya
sikap syaja’ah tidak terlepas dari keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1) Berani membenarkan yang
benar dan berani mengingatkan yang salah.
2) Berani membela hak milik,
jiwa dan raga, dalam kebenaran.
3) Berani membela kesucian
agama dan kehormatan bangsa.
Dari dua
macam syaja’ah (keberanian) tersebut di atas, maka syaja’ah
dapat dituangkan dalam beberapa
bentuk, yakni:
a) Memiliki daya tahan yang
besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan
penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
b) Berterus terang dalam
kebenaran dan berkata benar di hadapan penguasa yang zalim.
c) Mampu menyimpan rahasia,
bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan. Kemampuan merencanakan dan
mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia adalah merupakan
bentuk keberanian yang bertanggung jawab.
d) Berani mengakui kesalahan
salah satu orang yang memiliki sifat pengecut yang tidak mau mengakui kesalahan
dan mencari kambing hitam, bersikap ”lempar batu sembunyi tangan” Orang yang
memiliki sifat syaja’ah berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia
mengoreksi kesalahan dan bertanggung jawab.
e) Bersikap obyektif terhadap
diri sendiri. Ada orang yang cenderung
bersikap “over confidence”
terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki
kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap “under
estimate”terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat
apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak
proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan
bersikap obyektif, dalam mengenali dirinya yang
memiliki sisi baik dan buruk.
f) Menahan nafsu di saat marah,
seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu ber–mujahadah li nafsi, melawan
nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan
tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untukmelampiaskan amarahnya.
c. Hikmah syaja’ah
dalam ajaran agama Islam sifat
perwira ini sangat di anjurkan untuk
di miliki setiap muslim, sebab
selain merupakan sifat terpuji juga dapat
mendatangkan berbagai kebaikan
bagi kehidupan beragama berbangsa
dan bernegara. Syaja’ah
(perwira) akan menimbulkan hikmah dalam bentuk
sifat mulia, cepat, tanggap,
perkasa, memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang, mencintai. Akan tetapi
apabila seorang terlalu dominan keberaniannya, apabila tidak dikontrol dengan
kecerdasan dan keikhlasan akan dapat memunculkan sifat ceroboh, takabur,
meremehkan orang lain, unggul-unggulan, ujub. Sebaliknya jika
seorang mukmin kurang syaja’ah,
maka akan dapat memunculkan sifat rendah diri, cemas, kecewa, kecil hati dan
sebagainya.
5. Menegakkan Sikap ’Adalah
1. Pengertian
Pengertian
adil menurut bahasa adalah sebagai berikut.
Meletakkan sesuatu pada
tempatnya
Adil juga berarti tidak berat
sebelah, tidak memihak, atau menyamakan
yang satu dengan yang lain.
Berlaku adil adalah
memperlakukan hak dan kewajiban secara
seimbang, tidak memihak, dan
tidak merugikan pihak mana pun.
Adil dapat berarti tidak berat
sebelah serta berarti sepatutnya, tidak
sewenang-wenang.
Jamil Shaliba, penulis kamus
Filsafat Arab, mengatakan bahwa,
menurut bahasa adil berarti
al-Istiqamah yang berarti tetap pada
pendirian, sedangkan dalam
syari'at adil berarti tetap dalam pendirian
dalam mengikuti jalan yang
benar serta menjauhi perbuatan yang
dilarang serta kemampuan akal
dalam menundukkan hawa nafsu.
Sebagaimana firman di bawah
ini.
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
(QS. an-Nahl [16] : 90)
2. Bentuk-Bentuk Adil
a. Adil terhadap Allah, artinya
menempatkan Allah pada tempatnya yang benar, yakni sebagai makhluk Allah dengan
teguh melaksanakan apa yang diwajibkan kepada kita, Sehingga benar-benar Allah
sebagai Tuhan kita.
b. Adil terhadap diri sendiri,
yaitu menempatkan diri pribadi pada tempat yang baik dan benar. Untuk itu kita
harus teguh, kukuh menempatkan diri kita agar tetap terjaga dan terpelihara
dalam kebaikan dan keselamatan. Untuk mewujudkan hal tersebut kita harus
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani serta menghindari segala perbuatan yang
dapat mencelakakan diri.
c. Adil terhadap orang lain,
yakni menempatkan orang lain pada tempatnya yang sesuai, layak, dan benar. Kita
harus memberikan hak orang lain dengan jujur dan benar tidak mengurangi
sedikitpun hak yang harus diterimanya.
d. Adil terhadap makhluk lain,
artinya dapat menempatkan makhluk lain pada tempatnya yang sesuai, misalnya
adil kepada binatang, harus menempatkannya pada tempat yang layak menurut
kebiasaan binatang tersebut.
3. Kedudukan dan Keutamaan adil
a. Terciptanya rasa aman dan
tentram karena semua telah merasa diperlakukan dengan adil.
b. Membentuk pribadi yang
melaksanakan kewajiban dengan baik
c. Menciptakan kerukunan dan
kedamaian
d. Keadilan adalah dambaan
setiap orang. Alangkah bahagianya apabila keadilan bisa ditegakkan demi
masyarakat, bangsa dan negara, agar masyarakat merasa tentram dan damai lahir
dan batin.
e. Begitu mulianya orang yang
berbuat adil sehingga Allah tidak akan menolak doanya. Demikian pula Allah
sangat mengasihi orang yang dizalimi (tidak diperlakukan
secara adil) sehingga Allah tidak akan menolak doanya.
“Tiga orang yang tidak tertolak
doanya, yaitu orang yang sedang berpuasa
hingga berbuka, pemimpin yang
adil dan orang yang teraniaya”
(HR. Ahmad)
BAB III
PENUTUP
Akhlak
secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlak
al karimah) dan akhlak yang buruk (al-akhlak al-mazmumah).
Secara
teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama,
yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga
diri dari perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul
dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan
ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql
(pemikitan) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan
nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.
Oleh karena
itu, dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah, dan nafsu syahwat
akan menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga sikap inilah
menimbulkan akhlak yang mulia.
Belum ada Komentar untuk "MAKALAH AQIDAH AKHLAK KELAS 10 : MEMAHAMI INDUK AKHLAK TERPUJI"
Posting Komentar
Tinggalkan komentar terbaik Anda...