MATERI FIQIH KELAS 12 : DZAHIR TAKWIL MANTUQ DAN ‎MAFHUM

Dzahir Takwil Mantuq dan Mafhum

Image result for dzahir takwil mantuq mafhum
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan suatu ilmu pengetahuan yang objaknya dalil hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya.
Dalam kata lain ushul fiqh digunakan untuk menetapkan hukum dari suatu perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang shahih.
Sebagaiman yang sudah disebutkan, bahwa untuk menetapkan hukum itu perlu adanya dalil-dalil yang shahih dan bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Diantara dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah itupun ditemukan adanya lafazh yang berbeda-beda. Ada dalil yang sudah langsung dipahami tanpa butuh penjelasan (zhahir) dan ada pula yang mesti adanya penjelasan dalam memahami dalil tersebut.
Sebagian dalil juga ada yang arti lafazhnya memiliki makna yang tidak pada zhahirnya, itulah yang disebut dengan takwil.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai Zhahir dan Muawwal (takwil) agar tidak ada terjadi kesalahan dalam memaknai dalil-dalil yang shahih.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu Zhahir dan Muawwal ?
2.      Apa saja objek kajiannya ?
3.      Apa landasan dan dalil penunjang nya ?
4.      Apa syarat-syaratnya ?
C.    Tujuan
1.      Mahasiswa dapat mengetahui apa itu Zhahirdan Muawwal.
2.      Mahasiswa dapat mengetahui apa saja objek kajiannya.
3.      Mahasiswa dapat mengetahui landasan dan dalil penunjang nya.
4.      Mahasiswa dapat mengetahui syarat-syaratnya.


BAB II
ZHAHIR DAN MUAWWAL (TAKWIL)
A.    Pengertian Zhahir
Al-Bazdawi memberikan defenisi zhahir sebagai berikut :
إسم لكل كلام ظهر المراد به للسامع بصيغته .
Artinya : “Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri.”[1]
Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi :
ما يعرف المراد منه بنفس السامع من غير تأمّل.
Artinya : “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.”
Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan zhahir itu adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa langsung mengerti apa maksud nya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk lain.
Atas dasar defenisi-defenisi tersebut, Muhammad Adib Shaleh menyimpulkan bahwa zhahir iru adalah :
اللفظ الذي يدلّ عليها معناه من غير توقف على قرينة خارجة مع احتمال التخصيص والتأويل و قبول النسخ.
Artinya : “Suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu adanya qorinah yang ada diluar lafazh itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsish, di ta’wil dan di nasakh.”
Adapun contoh yang dapat dikemukakan disini adalah firman Allah SWT yang berbunyi :
وَ أَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَ حَرَّمَ الرِّبَا.
Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat tersebut petunjuknya sudah jelas bahwa mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba. Petunjuk itu diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan qarinah lain. Kedudukan lafazh zhahir wajib diamalkannya sesuai petunjuk lafazh itu sendir, sepanjang tidak ada dalil yang men-takhsish-nya, men-takwil-nya atau me-nasakh-nya.
B.     Hukum Zhahir
Yang dimaksud dengan hukum zhahir adalah, dalam hal bagaimana kita boleh atau harus berpegang pada makna yang zhahir, dan dalam keadaan bagaimana pula kita boleh meninggalkan arti zhahir.
Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakain lafaz zhahir sebagai berikut :
الظاهر دليل شرعي يجب اتباعه إلا أن يدل الدليل علي خلافه
Artinya : “Zhahir itu adalah dalil syar’I (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan lain daripadanya.”
Maksudnya adalah, apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong pentakwilan sesuatu lafaz, maka lafaz zhahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib kita ikuti.[2]

C.    Pengertian Takwil (Muawwal)
Secar etimologi, takwil ditrujuk dari kata :أَوَّلَ – يُؤَوِّلُ  yang berarti At-Tafsir, Al-Maarja’, Al-Mashir. Demukian pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Matsani dan keterangan yang dikemukakan oleh Abu Ja’far Al-Thabary (Adib Shalih, 1984 : 356).
Disamping itu, takwil juga bermakna Al-Jaza’, seperti firman Allah SWT :
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْللًا (النساء : 59)
Artinya : “..... yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akubatnya.”
Dengan demikian, takwil mempunyai makna At-Tafir (penjelas, uraian) atau Al-Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al-Jaza’ (balasan yang kembali padanya)[3].
Sedangkan menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan takwil.Para ulama salaf mendefenisikan takwil antara lain sebagai berikut[4] :
1.  Imam Ghazali dalam kitab Al-Musthashfa(Al-Ghazali, 1973: 128)
إنّ التأويل عبارة عن احتمال يغضّده دليل يصير به أغلب على الظنّ من المعنى الّذي يدلّ عليه الظاهر.
Artinya : “Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.”
2.  Imam Al-Mudi dalam kitab Al-Mushtashfa :
حمل اللفظ على غير مدلوله الظاهر منه مع احتماله بدليل يغضّده.
Artinya : “Membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil.”
Kaum muhaditsin mendefinisikan takwilyaitu sejalan dengan defenisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqh, yaitu :


1.  Menurut Wahab Khalaf :
صرف اللفظ عن ظاهر بدليل.
Artinya : “Memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil.”
2.  Menurut Abu Zarhah :
إخراج اللفظ عن ظاهر معناه إلى معنى آخر يحتمله و ليس هو الظاهر فيه.
Artinya : “Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna lain , tetapi bukan zhahirnya.”
Dengan demikian pengertian takwilmenurut bahasa lebih umum daripada pengertiankhas, amm, atau muthlak, karena lafazh-lafazhtersebut menunjukkan arti yang dimaksud dan dianggap dalil qoth’i.
Penyebab adanya penakwilan terhadaplafazh-lafazh yang artinya dianggap kuat diantaranya karena arti zhahir-nya tidak sesuai dengan arti yang hakiki, sehingga dalil hasiltakwil yang tidak kuat menjadi kuat. Dengan kata lain, mengutamakan makna dari hasil prasangka yang sesuai dengan maksud syara’.
D.    Objek Takwil
Kajian takwil sebagaimana ijtihad denganra’yu, tidak menyangkut nash-nash yang qath’i,baik secara khusus maupun umum, yang merupakan landasan kaidah-kaidah fiqih yang berguna untuk menentukan ketetapan hukum permasalahan furu’, sehingga para imam dapat menerima dan mengamalkannya. Selain itu, takwiljuga tidak menyangkut hukum-hukum agama penting lainnya yang mudah ataupun sulit untuk dipahami yang merupakan dasar-dasar syari’at. Juga tidak mencakup peraturan-peraturan syari’at yang bersifat umum, diantaranya bahan-bahan yang memerlukan penafsiran dan pematokan hukum, karena maksud syara’ harus diterangkan secara jelas dan digambarkan secara qath’i agar terhindar dari munculnya arti spekulatif.
Adapun kajian takwil kebanyakan adalahfiru’ sebagaimana pendapat Imam Asy-Syaukani. Selain itu hal-hal yang jelas dan nash yang merupakan kajian takwil juga. Itu semua kajiantakwil secara global dan terbatas bila belum ada panafsiran dari syari’at secara menyeluruh.
Takwil semakin berkembang pembahasannya, sehingga menurut Hanafi mencakup nash dan zhahir.
E.     Dalail-dalil Penunjang Takwil
Takwil pad adasarnya mencakup arti yang lemah yang memerlukan dalil untuk memperkuat praduga hasil takwil tersebut, sehingga arti yang tadinya lemah akan menjadi lebih kuat karena sesuai dengan kemashlahatan umum dan dugaan para mujtahid.[5]
Dengan demikian, dalil penunjang takwilharis lebih kkuat daripada dalil penunjang arti secara bahasa. Atau dalilnya harus lebih kuat daripada dalil-dalil yang menunjukkan bahwa dilaksanakan ataupun tidak nash tersebut sama saja. Dengan cara seperti itu, hasil penakwilan akan lebih kuat dan menjadi takwil yang shahih.
Dalil yang dipakai untuk menguatkantakwil juga disyaratkan harus sesuai dengan ketentuan syara’, diantaranya dalil yang memberikan batasan yang terlalu luas terhadap maksud syara’, atau yang memperluas artihaqiqiyang dikandung dalam maksud syara’.
Secara ringkas, dalil-dalil yang dipakai dalam takwil adalah sebagai berikut :
a.    Nash yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.    Ijma’.
c.    Kaidah-kaidah umum syari’at yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah.
d.   Kaidah-kaidah fiqih yang menetapkan bahwa pembentukan syari’at memperhatikan hal-hal yang bersifatjuz’i tanpa batas.
e.    Hakikat kemaslahatan umum.
f.     Adat yang diucapkan dan diamalkan.
g.    Hikmah syari’at atau tujuan syari’at itu sendiri.
h.    Qiyas.
i.      Akal yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu.
Rusalnya penakwilan biasanya berawal dari mendatangkan sesuatu yang tidak perlu atau menyalahi salah satu pembentuk syari’at kaidah-kaidah umum hukum. Hukum-hukum yang bersumber dari dalil yang qath’i, dan melakukantakwil ba’id yang dilarang. Dengan kata lein, jangan sampai melakukan ijtihad dengan takwilyang menyimpang dari kaidah-kaidah dasar diatas.
1.    Dalil Penunjang Takwil Tidak disyaratkan Qath’i
Sudah jelas bahwa takwil itu perubahan arti untuk membatasi maksud syara’ dengan dalil shahih, baik yang qath’i, maupun yang zhanni. Maka hikmah syari’at yang bersifat zhanni bisa dipakai dalil dalamta’wil, diantaranya juga khabar Ahad dan Qiyas.
2.    Takwil Itu Dihasilkan Dari Perubahan Makna Bukan Perubahan Lafazh
Jika suatu syari’at memakai bahasa untuk mengungkapkan maksudnya, dasar umum yang dipakai adalah yang sesuai dengan bunyi bahasa yang mempunyai kajian khusus. Setiap mujtahid diharuskan untuk berpegang teguh kepada arti zhahir yang kuat dan tidak boleh mengamalkan berdasarkan arti lainnya yang dipandang lemah, meskipun sama-sama benar selama tidak ada dalil yang kuat dan sahih.

F.     Landasan Takwil
Pada mulanya takwil itu tidak ada dan tidak terbentuk, kecuali dengan dalil. Kemudian dari ide dasar tersebut, muncul bebrapa masalahjuz’i, antara lain kewajiban untuk mengamalkan setiap petunjuk yang berasal dari arti nash secarazhahir dan semua dalil dianggap hujjah karena kejelasan dan keberadaannya, sehingga lafazhmutlaq berlaku sesuai kemutlakannya dan tidak diikat, kecuali dengan dalil. Begitu juga dengan lafazh yang amm dan yang khash.[6]
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai dengan konteks bahasanya dan mengambil ketetapan hukumnya. Sesungguhnya takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Karena takwil itu merubah arti sesuai dengan kebutuhan bahasa,takwil itu tidak ada kecuali dengan dalil.
Imam Syafi’i R.A berpendapat bahwa diantara penyebab timbulnya perbedaanpendapat dikalangan umat Islam adalah kecerobohan dalam memahami teks dari berbagai nash. Kemudian mereka membuat penakwilan tanpa menggunakan dalil-dalil yang shahih, bahkan mereka mencoba mengadopsi hukum-hukum yang berasal dari filsafat Yunani, seperti Aristoteles, dan sebagainya. Mereka berkata, “Manusia itu tidak akan bodoh dan saling berbeda pendapat kalau tidak meninggalkan ucapan-ucapan orang Arab yang mengikuti Aristoteles.”[7]
Ada tiga ketentuan umum yang dapat dijadikan pegangan agar terhindar dari kesalahan dalam berijtihad, juga berbagai cara meng-instinbat-kan hukum dari nash dengan mengginakan takwil, yaitu :
1.      Jika arti nash itu sudah mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i, maka tidak boleh di-takwil-kan dengan akal.
2.      Jika arti nash yang zhahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti, wajib mengamalkan sesuai maknanya, karena kejelasan arti dan keberadaannya. Jangan sampai diterangkan dengan berbagai kemungkinan yang tidak berdasarkan pada dalil.
3.      Dibolehkan mengubah arti dari yang zhahirkepada arti lain sepanjang berdasarkan pada dalil, bahkan diwajibkan untuk mengompromikan berbagai nash yang saling bertentangan.
G.   Syarat-syarat Takwil dan Beberapa Contohnya
Dasar umum yang ditetapkan ulama untuk menetapkan adanya takwil berasal dari teks bahasa dan uslub-uslubnya, yang menjaga agarijtihad dan ra’yu tidak menjadi sesat. Para ulama juga mewajibkan agar mengamalkan syari’at sesuai dengan zhahir ayat sehingga terdapat isyarat untuk menggunakan takwil.
Persyaratan takwil bergantung pada makna teks agar ketetapan nash dan makna zhahir-nya tidak bertentangan dengan syari’at. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna syari’at yang berhubungan dengan takwil berkaitan erat dengan takhsish, taqyid, perubahan ke artimajaziy dan pengompromian antara nash-nashyang zhahir-nya saling bertentangan. Semuanya sesuai dengan dalil shahih yang kuat, dan tidak hanya berdasarkan kepada pemahaman arti saja, tetapi juga makna hakikatnya.
Takwil itu erat kaitannya dengan maksud syari’at yang berasal dari nash, bukan hanya dengan dalilnya itu sendiri. Hal itu juga termasuk salah satu metode ijtihad dengan ra’yu, yaitu membatasi arti yang dimaksud dengan dalil. Agar lebih jelas, dibawah ini akan diterangkan persyaratan takwil tersebut, yaitu :
1.    Lafazh yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya
Telah diterangkan bahwa dalil-dalil yang telah ditafsirkan dan ditetapkan ketentuan hukumnya tidak bisa ditakwilkan. Namun menurut Hanafiyah, takwlil itu boleh sekalipun pada nash yang zhahir dan semua dalil yang berhubungan dengan syari’at Islam.
Adapun dasar-dasar umum syari’at adalah sumber takwil karena banyak nashyang arti zhahir-nya mengandung maknajuz’i.
2.    Takwil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan takwil
Contoh takwil dan nash yang didalamnya terdapat pertentangan antarazhahir nash yang mengandung arti juz’idengan dasar umum syari’at, adalah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
إنّ الميّت يعقّب ببكاء أهله.
Artinya : “Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan keluarganya.”
Siti Aisyah menolak hadits tersebut karena menurutnya hal itu bertentangan dengan dasar umum syari’at yang ada dalam Al-Qur’an yang berbunyi :
و لا تزر وازرة وزر أخرى.
Sebagian mujtahid menakwilkan kemutlakan hadits tersebut, kemudian mereka menaqyid jenazah ketika masih hidupnya. Maka maksud ayat tersebut menjadi tidak bertentangan setelah ditaqyid. Pengompromian ini dilakukan dengan mengamalkan dua nash secara bersamaan. Metode seperti inilah yang lebih baik daripada mencela salah satunya.
Dari contoh diatas, dapat diketahui bahwa takwil itu ada karena pertentangan dalam nash yang artinya zhahir.
a.  Takwil berdasarkan dalil adalah Maslahat
yang dimaksud maslahat disini bukan berarti bahwa hikmah syari’at itu adalahnash tertentu, tetapi dalil yang menakhsish dalil umum, atau mengistitsnakan dari landasan umum, baik secara khas ataupunamm.
Takhsish merupakan salah satu bagian dari takwil, bahkan yang paling banyak dipakai. Contohnya firman Allah SWT yang berbunyi :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ....
Artinya : “Para ibu hendaklah menyuusui anak-anaknya selama dua tahun penuh.”
Dari zhahir ayat tersebut dapat dipahami bahwa menyusui adalah kewajiban seorang ibu. Dan kata al-waalidatu itu lafazhnya umum mencakup semua ibu.
Imam Maliki menaksish keumumannya dengan perbuatan adat (urf amaly). Dia berpendapat bahwa seorang ibu diharuskan menyusui anaknya karena kesempurnaan derajatnya. Maka apabila seorang ibu sakit sehingga tidak bisa menyusui anaknya, ia tidak diwajibkan menyusui anaknya karena menjaga dari kemudharatan dan menjaga kemashlahatan adalah maslahat. Hal itu juga bisa disebut kemaslahatan individu.
Golongan Hambali memperluas pelaksanaan takhsish umum,diantaranya dalam masalah penetapan harga ketika negara sedang dalam krisis karena takwilseperti itu berlandaskan pada kemashlahatan umum.
b.  Mentakhsish keadaan umum dengan kemashlahatan
yang dimaksud kemashlahatan umum adalah kemerdekaan umum, atau dasar kebolehan yang berdasar firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيْعًا....
Artinya : “Dia-lah yang menjadikan untuk kamu semua yang ada di Bumi...”
Di antara kemerdekaan umum adalah kemerdekaan berjual-beli dan hak memiliki barang. Dengan mengutamakan persamaan, itu merupakan perbuatan yang diperbolehkan.
Rasulullah SAW melarang perdagangan yang diadakan untuk kaum badui, karena jual-beli semacam itu dikategorikan jual-beli yang menggambarkan adanya penghinaan terhadap makanan yang sangat penting bagi manusia.
Yang perlu diingat, sebuah larangan harus berdasarkan dalil, ,eskipun terkadang larangan tersebut berupa keadaan umum sebagaimana yang telah disebutkan.
3.    Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa
Penakwilan menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual ataumajaz. Bisa juga mencakup asas yang berasal dari pemakaian yang sudah dikenal atau adat syara’.
Adat syara’ telah banyak menakhsish dalil-dalil umum pada sebagian besar nashsehingga para ulama Ushuliyyin berkata,“Tidak ada sesuatu yang umum, kecuali telah ditakhsish.” Hal itu menunjukkan bahwa adat syara’ telah banyak menakhsish sebagian besar dalil yang umum, sehinggatakhsish tersebut menjadi sunnah dalam syari’at. Hal itu cukup menunjukkan bahwa bagian ini sah menjadi bagian takwil.
Semuanya tetap berlangsung sesuai dengan penempatan syara’ itu sendiri, yang manunjukkan bahwa takwil shahih membutuhkan keadilan dengan sendirinya. Apalagi kalau yang mewajibkan adanyatakwil itu adalah adanya pertentangan antara yang juz’iy dengan yang kulliy.
Jika pembuat syari’at menetapkan istilah khusus dalam istilah syari’at, istilah khusus haruslah didahului dari arti bahasa kalau keduanya bertentangan, sebagai realisasi terhadap maksud pembuat syari’at dari segi artinya. Dengan demikian lafazh pembuat syari’at itu berdasarkan pemahaman maksudnya sesuai dengan kabiasaan dalam penggunaannya.
4.    Takwil tidak boleh bertentangan dengannash yang qath’i, karena nash tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum
Takwil adalah metode ijtihad yangzhanni, sedangkan zhanni tidak akan kuat melawan yang qath’i. Contohnya menakwilkan kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an dengan mengubah arti yang Zhahirmenjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti itu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qath’i yang menjadikan kisah tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata.
5.    Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan dalil
Nash yang berarti juz’idikompromikan artinya dengan dasar umum, yaitu dengan cara men-taqyid-nya dan dasar umum itu merupakan dalil yang lebih kuat. Sedangkan pertentangan antara zhahur dannash, tidak diragukan lagi bahwa nashmenakhsish yang zhahir karena nash lebih kuat dan lebih jelas. Selain itu, ucapan juga membutuhkan arti asli, maka nash harus diutamakan.
Penakwilan yang berdasarkan hikmah pembinaan syari’at. Hal itu merupakan rohnash yang menguatkan dan merupakan tujuan pokoknya. Tidak dirgukan lagi bahwa maksud disyari’atkannya sesuatu itu lebih kuat daripada zhahir lafazh-nya.
Takwil itu terkadang tidak membutuhkan dalil sebagaimana telah dijelaskan, tetapi dimungkinkan berdasarkan pada pemahaman yang dangkal, akal dan teks sesuatu. Takwil seperti itu dinamakan oleh ulama Ushul dengan istilah takwil qoribyang cukup memakai dalil yang terendah. Seperti firman Allah SWT :
إِذَا قُمتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ.....
Artinya : “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat,basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku,”
Arti zhahir ayat tersebut adalah mengharuskan berwudhu’ seteleh melaksanakan shalat. Pemahaman seperti itu tentu saja bertentangan dengan syarat sahnya shalat yang mengharuskan berwudhu’ terlebih dahulu. Dan syarat itu harus didahulukan, baik menurut akal ataupun syara’ agar shalatnya sah. Untuk itu, lafazh al-qiyamudalam firman Allah ta’ala diatas harus ditakwilkan. Kemudian diubah dari artinya yang hakiki kepada artinya yang majazi yaitual-‘ajmu (bermaksud) mendirikan, bukan mendirikan dengan sendirinya.
Itulah beberapa persyaratan takwil, jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi dinamakantakwil ba’id.
H.   Takwil Ba’id
Yang dimaksudkan dengan takwil ba’idadalah suatu takwil yang mana makna takwil-nya terlalu jauh hubungannya dengan makna dzahir-nya. Jika ada penyimpangan dari persyaratan tadi, maka takwil seperti itu ditolak.[8]
Sebagai contoh misalnya: kifarat orang yang bersetubuh dengan istrinya dalam bulan puasa wajib memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:

فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا.....
Artinya : “maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin…..”
Golongan Hanafiyah mentakwilkan lafaz 60 (enam puluh) orang miskin dalam ayat tersebut dengan 60 mud. Dengan demikian, maka berarti boleh memberikannya kepada seorang miskin sejumlah 60 mud.
Namun, penakwilan diatas dianggap sebagai takwil ba’id dan dinyatakan batil menurut Imam Syafi’i. Karena lafazh ‘asyarahadalah lafazh khusus yang menunjukkan artiqath’i, sehingga tidak membutuhkan penakwilan.
Kecacatan Itakwil diatas disebabkan oleh beberapa perkara, yaitu :
1)     Meremehkan ‘adad, lafazh khushus yang jelas menunjukkan arti yang qath’i, maka haruslah menjaga arti yang qath’i tersebut dan tidak meremehkannya.
2)     Penambahan kalimat terhadap nash adalah menyalahi ashal.
Kesimpulannya, kajian ijtihad denganra’yu dalam takwil, harus sesuai dengan persyaratannya, tidak hanya sebatas pengambilanistibath berdasarkan akal semat-mata, melainkan yang berlandaskan pada bahasa yang mampu menghasilkan arti yang tercakup dalam arti lafazh tersebut.


BAB III
Penutup
Kesimpulan

Zhahir adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa langsung mengerti apa maksud nya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk lain. Apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong pentakwilan sesuatu lafaz, maka lafaz zhahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib kita ikuti.
Sedangkan Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna lain , tetapi bukan zhahirnya. Adapun kajian takwilkebanyakan adalah firu’ sebagaimana pendapat Imam Asy-Syaukani. Selain itu hal-hal yang jelas dan nash yang merupakan kajian takwil juga. Itu semua kajian takwil secara global dan terbatas bila belum ada panafsiran dari syari’at secara menyeluruh.
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai dengan konteks bahasanya dan mengambil ketetapan hukumnya. Sesungguhnya takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Karena takwil itu merubah arti sesuai dengan kebutuhan bahasa,takwil itu tidak ada kecuali dengan dalil.
Adapun syarat-syarat takwil itu adalah sebagai berikut :
1.      Lafazh yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya.
2.      Takwil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan takwil.
3.      Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa.
4.      Takwil tidak boleh bertentangan dengannash yang qath’i, karena nash tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum.
5.      Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan dalil.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Djalil, Basiq, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010
Karim, Syafi’i, Fiqih Ushul Fiqih,Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001
Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011
Shidik, Saifuddin, Ushul Fiqih, Jakarta: Intimedia, 2005
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih,Bandung: Pustaka Setia, 2007



[1] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih,(Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 152
[2] Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H, M.A., Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hlm. 45
[3] Drs. Saifuddin Shidik, M.Ag, Ushul Fiqih, (Jakarta: Intimedia, 2005), hlm. 126
[4] Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H, M.A., Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hlm. 48
[5] Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih,(Bandung: CV Pustaka setia, 2001), hlm. 199
[6] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 165
[7] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih,(Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 175
[8] Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H, M.A., Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hlm. 49


MANTUQ DAN MAFHUM
DALAM ILMU USHUL FIQH
PENGERTIAN MANTUQ DAN MAFHUM
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat), dedang mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat)
Menurut kitab mabadiulawwaliyah, mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan, sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti firman Allah SWT
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
(Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum

PEMBAGIAN MANTUQ DAN MAFHUM
Pembagian Mantuq
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1) Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi, seperti firman Allah SWT
Maka wajib berpuasa tiga hari (Q.S Al-Baqarah ayat 106)
2) Zahir, yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendakinya kepada penta’wilan. Seperti firman Allah SWT
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu (Q.S Ar-Rahman ayat 27)
Wajah dalam ayat ini diartikan dengan zat, karena mustahil bagi tuhan mempunyai wajah seperti manusia.
”dan langit yang kami bangun dengan tangan” (Q.S. Adz-zariyat: 47)
Kalimat tangan ini diartikan dengan kekuasaan karena mustahil Allah mempunyai tangan seperti manusia.

Pembagian Mafhum
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian:
a) Fahwal Khitab
yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT yang artinya: jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua. Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
b) Lahnal Khitab
yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
(Q.S An-Nisa ayat 10)
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut ang berarti dilarang (haram)
2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT:
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Macam-macam mafhum mukhalafah
1. Mafhum Shifat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah SWT.
”Hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin” (Q.S. An-Nisa ayat 92)
2. Mafhum ’illat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ’illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
3. Mafhum ’adat
yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah SWT:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, (Q.S. An-Nur ayat 4)
4. Mafhum ghayah
yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa” dan dengan ”hakta”. Seperti firman Allah SWT.
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
(Q.S Al-Maidah ayat 6)
Firman Allah SWT
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
(Q.S. Al-Baqarah ayat 222)
5. Mafhum had
yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT.:
Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – Karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
6. Mafhum Laqaab
yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fa’il, seperti sabda Nabi SAW
SYARAT-SAYRAT MAFHUM MUKHALAFAH
syarat-syaraf mafhum Mukhalafah, adalah seperti yang dimukakan oleh A.Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqhi, se­bagai berikut:
Untuk syahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat:
1. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskin­an”
(Q. S Isra’ ayat 31).
Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan di­bunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah:
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali
dengan kebenaran (Q.S Isra’ ayat 33)”
Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
“Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan pula engkau hardik (Q.S Isra’ ayat 23).
Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berla­wanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukuli.

2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Contoh:
“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu”
(Q.S An-Nisa’ ayat 23).
Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam peme­liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, se­bab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.

3. Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
Contoh:
“Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-­orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”.
Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.

4. Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.
Contoh:
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid (Q.S Al-Baqarah ayat 187)”.
Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri



Ingin Mendapatkan Materi ini? Silahkan Download melalui Link dibawah ini:




Belum ada Komentar untuk "MATERI FIQIH KELAS 12 : DZAHIR TAKWIL MANTUQ DAN ‎MAFHUM"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar terbaik Anda...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel