MATERI FIQIH KELAS 12 : SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI PARA ULAMA
Kamis, Agustus 31, 2017
Tambah Komentar
BAB II
SUMBER HUKUM ISLAM
A. Al-Qur’an
1.
Pengertian Al-Qur’an
Menurut
bahasa (etimologi) kata Al-Qur’an berasal dari kata “qara-yaqrau-qur anan”artinya
bacaan atau yang dibaca.
Sedangkan menurut istilah (terminologi) Al-Qur’an
adalah Kalmullah sebagai mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril, dengan bahasa Arab, ditulis dimushhaf, disampaikan
secara mutawatir, dibaca bernilai ibadah. Diawali
dengan surat Al-Fatihan dan diakhiri dengan surat An-Nas.
2. Pokok-pokok
isi Al-Qur’an
Pokok-pokok
isi Al-Qur’an ada lima yaitu :
a.
Tauhid
b.
Ibadah
c.
Janji dan ancaman
d.
Jalan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
e.
Riwayat dan ceritera ( qishah umat terdahulu). ( A.Hanafie : 1981, hal 103 )
3. Dasar
Kehujjahan Al-Qur’an dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum
Sebagimana kita ketahui Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada umat manusia adalah untuk wajib diamalkan semua
perintah-Nya dan wajib ditinggalkan segala larangan-Nya. Firman) Allah SWT :
Artinya : "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab
kepadamu denganmembawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantan karena membela orang-orang
yang khianat".
(An-Nisa :105).
Artinya : "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara merekamenurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (Al-Maidah: 49).
Al-Qur'an merupakan number hukum utama dalam islam dan menempati kedudukan pertama dari sumber- sumber hukum islam yang lain, ia merupakan
aturan dasar yang paling tinggi. Semua sumber hukum danketentuan norma yang
ada tidak boleh bertentangan dengan isi Al-Qur'an.
4. Pedoman
AI-Qur'an dalam Menetapkan Hukum.
Pedoman Al-Qur'an dalam menetapkan hukum sesuai dengan perkembangan dan
kemampuan manusia, baik secara fisik maupun rohani. manusia selalu berawal dari
kelemahan dan ketidak mampuan. Untuk itu AlQur'an berpedoman
kepada tiga hal, yaitu :
a. Tidak memberatkan ( ) Firman Allah SWT :
Artinya : "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..." (Al-Bagarah :
286).
Artinya : "...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan
tidak menghendaki kesukaran
bagimu". (Al-Bagarah : 185)
Contoh :Azimah (ketentuan-ketentuan umum Allah) misal sholat wajib dll
b. Meminimalisir beban (
)
Dasar
ini merupakan konsekwensi logis dari dasar yang pertama. Dengan dasar ini kita
dapati rukhshah (keringanan) dalam beberapa jenis ibadah,
sepertiMenjama’
dan mengqashar sholat apabila dalam perjalanan dengan syaratyang telah
ditentukan.
c. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum ( )
Al-Qur'an dalam menetapkan hukum adalah secara bertahap, hal ini bisa kitatelusuri
dalam hukum haramnya meminum-minuman keras, berjudi serta
perbuatan-perbuatan yang mengandung judi ditetapkan dalam AlQur'an (QS. Al-Baqarah:
219, QS. An-Nisa’ : 43 dan QS. Al-Maidah : 90). ( HM. Suparta : 2006, hal 59-61).
B. Al- Hadits
1. Pengertian Al-Hadits
Menurut bahasa (etimologi) Al-Hadits berarti ”yang baru”, ”yang
dekat”, atau”warta” yaitu sesuatu yang dibicarakan. Sedangkan menurut istilah
(terminologi) Al-Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan) beliau. (MS.
Wwawan : 2008, hal 27).
2. Bentuk-bentuk Al-Hadits
Berdasarkan definisi istilah diatas, maka bentuk hadits dapat dibedakan
menjadi 3 macam yaitu :
a. Qauliyah ( ucapan )
b. Fi’liyah ( perbuatan )
c. Taqririyah ( keputusan/ketetapan )
3. Dasar Kehujjahan
Al-Hadits dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum
Banyak kita jumpai ayat - ayat Al-Qur'an dan
Hadits-hadits yang memberikan
pengertian bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam selain Al-Qur'an yang wajib
diikuti, dan diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Uraian di
bawah ini merupakan penjelasan secara rinci tentang dasar
kehujjahan hadits sebagai sumber hukum Islam dengan mengambil beberapa dalil, baik
naqli maupun aqli.
a. DaliI Al-Qur'an
Banyak
kita jumpai ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang kewajiban mempercayai
dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya
untuk dijadikan pedoman hidup sehari-hari .
Di antara ayat-ayat dimaksud adalah:
Firman Allah SWT :
Artinya: Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang berimandalam keadaan kamu sekarang ini,
sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafiq)
dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan
memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan
tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara
Rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya;
dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang
besar. (QS. Ali lmran (3): 179).
Dalam
ayat lain Allah SWT berfirman :
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Bagi siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasulrasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh jauhnya. (QS. Al-Nisa' (4): 136).
Ayat-ayat diatas Allah menyuru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), AlQur'an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian Allah mengancam orang-orang yang mengingkari dan menentang seruan-Nya.
Di samping itu, Allah juga memerintahkan kepada kaum muslimin agar menaati dan melaksanakan segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawa oleh Rasul-Nya,
baik berupa perintah maupun
larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada
Rasul-Nya sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah ini. Firman Allah SWT:
Artinya: Katakanlah ! Taatlah kalian kepada
Allah dan Rasul-Nya; jika kamuberpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir".(QS.
Ali lmran (3): 32).
Dalam firman-Nya yang lain:
Artinya : Hai orang-orang
yang beriman ! Taatilah Allah, Rasul, dan UlilAmri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapattentang
sesuatu, akan kembalilah kepada
Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar kepada Allah
dan hari Kemudian. Yang demikian ini lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS.
AN-Nisa (4): 59).
Kemudian dalam ayat yang lain, Allah juga berfirman:
Artinya : Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yangdilarangnya,
maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah,sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya. (QS. AI-Hasyr (59):7).
Artinya: Dan taatlah kamu kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, dan berhati-hatilah. (QS. Al-Maidah (5): 92).
Artinya: Katakanlah: Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul SAW itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk (QS. A1-Nur (24): 54).
Dari ayat- ayat Al-Qur'an di atas
tergambar bahwa setiap ada perintah taat
kepada Allah SWT dalam Al-Qur'an selalu diikuti dengan perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikian pula mengenai peringatan (ancaman) karena durhaka
kepada Allah, sering disejajarkan atau disamakan
dengan ancaman
karena durhaka kepada Rasul Muhammad SAW.
b. Dalil Al-Hadits
Mari kita pahami Dalam salah satu
pesan Rasulullah SAW berkenaandengan
kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur'an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
Artinya: "Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa
kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya". (HR. Malik).
Saat Rasulullah ingin mengutus Mu'adz bin Jabal untuk menjadipenguasa di Negeri Yaman, terlebih dahulu dia diajak dialog oleh RasulullahSAW.
Artinya: "(Rasul bertanya), bagaimana kamu akan menetapkan hukum bila
dihadapkan padamu sesuatu yang memerlukan penetapan hukum? Mu'az menjawab: saya akan menetapkannya dengan kitab
Allah. Lalu Rasul bertanya; seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam
kitab Allah, Mu'az menjawab: dengan Sunnah Rasulullah.
Rasul bertanya lagi, seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam
kitab Allah dan juga tidak dalam Sunnah Rasul, Mu'az
menjawab: saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. Maka
Rasulullah menepuk-nepuk belakangan Mu'az seraya mengatakan "segala puji bagi Allah
yangtelah menyelaraskan utusan
seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul
kehendaki". (HR. Abu Daud dan Al-Tirmidzi).
Dalam hadits lain Rasul bersabda:
Artinya: "Wajib bagi
sekalian berpegang teguh dengan Sunnahku danSunnah
Khulafa Ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu
sekalian dengannya. (HR. Abu Daud dan Ibun Majah).
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa
berpegang teguh kepada hadits atau menjadikan hadits sebagai pegangan dan
pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang
teguh kepada Al-Qur'an.
c. Kesepakatan
Ulama (Ijma')
Seluruh Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits
sebagai salah satu dasar hukum Syari'at Islam yang wajib diikuti dan
diamalkan; karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka
terhadap hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur'an,
karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum
Syariat Islam.
kesepakatan umat Islam dalam mempercayai,
menerima dan mengamalkan semua ketentuan yang
terkandung di dalam hadits ternyata sejak
Rasulullah masih hidup hingga sekarang tidak ada yang mengingkarinya.
Banyakdiantara mereka yang tidak hanya memahami dan
mengamalkan isikandungannya, akan tetapi bahkan
mereka menghafal, memelihara, danmenyebarluaskan kepada
generasi-generasi selanjutnya.
Mari kita menengok peristiwa-peristiwa yang
menunjukkan adanyakesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum
Islam pada masa sahabat, antara lain dapat diperhatikan peristiwa di
bawah ini :
a. Pada saat Abu Bakar Ra. dibaiat menjadi
Khalifah, ia dengan tegasberkata “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu
yang diamalkan /dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut
menjadi orang bila meninggalkan perintahnya".
b. Pada saat Khalifah Umar Ibnu Khattab ada di
depan Hajar Aswad isberkata: “Saya tahu bahwa engkau adalah batu.
Seandainya saya sendiri tidak melihat Rasulullah menciummu, maka saya
tidak akan menciummu".
c. Pada suatu saat pernah ditanyakan kepada
Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) masalah ketentuan shalat safar dalam
Al-Qur'an. la menjawab: "Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada
kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka
sesungguhnya kami berbuat sebagaimana
duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya
Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul".
d. Diceritakan dari Sa'id bin Musayyab bahwa
Khalifah Usman bin Affanberkata: “Saya duduk sebagaimana mengikuti duduknya
Rasulullah SAW, saya juga makan sebagaimana makannya Rasulullah,
dan saya mengerjakan shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.
Sebenarnya
Masih banyak lagi contoh-contoh yang dilakukan oleh para
sahabat yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan, dan
diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selaluditinggalkan
oleh mereka. ( Muzilanto : 2008, hal 27 )
d. Sesuai
dengan Petunjuk Akal
Muhammad SAW, sebagai Nabi dan Rasul Allah telah
diakui dan dibenarkan oleh seluruh umat Islam. Di dalam
mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar
menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik
isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan
wahyu dari Allah. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil
ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu
dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku
sampai ada dalil yang menghapuskannyanya
Dan apabila
kerasulan Muhammad SAW telah diimani dan dibenarkan,
maka konsekwensi logisnya segala peraturan dan perundang-undangan
serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham
atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup.
Di samping itu secara logika kepercayaan kepada Muhammad
SAW sebagai Rasul Allah mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan
segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Semua umat Islam telah sepakat dengan bulat bahwa
Hadits Rasuladalah sumber dan dasar hukum Islam setelah Al-Qur'an,
dan umat Islamdiwajibkan mengikuti dan mengamalkannya sebagaimana
diwajibkanmengikuti dan mengamalkan Al-Qur'an.
Al-Qur'an dan Hadits merupakan
dua sumber hukum pokok syariat
Islam yang tetap, dan orang Islam tidak akan mungkin bisa memahami syariat
Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam
tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulama' pun tidak diperbolehkan hanya
mencukupkan diri dengan mengambil salah satu dari keduanya.
Berdasarkan uraian di
atas bisa diketahui bahwa hadits merupakan salahsatu sumber hukum
Islam dan menduduki urutan kedua setelah Al-Qur'an.
Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan
hukum zhanny, kecuali hadits yang mutawatir.
4. Fungsi Al-Hadits terhadap
Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an masih banyak ayat bersifat umum dan
global yang memerlukan penjelasan. Dan penjelasan itu diberikan oleh Rasulullah
SAW. Yang berupa Al-Hadits. Tanpa penjelasan dari beliau banyak ketentuan
Al-Qur’an yang tidak bisa dilaksanakan. Maka dari itu Al-Hadits memiliki
beberapa fungsi terhadap Al-Qur’an antara lain :
a. Bayanut Tafsir yaitu
sebagai penjelas atau merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang masih global dan
memberikan batasan terhadap ayat Al-Qur’an yang dalam pelaksanaannya belum ada
batasannya. Misal hadits tentang tata cara ibadah sholat, tata cara ibadah haji
dan lain-lain.
b. Bayanut Taqrir yaitu sebagai penguat
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Misal hadits tentang
rukun Islam dan lain-lain.
c. Bayanut Tasyri’ yaitu
menetapkan hukum suatu perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dalam
Al-Qur’an. Misal hadits tentang penyembelehan janin dalam perut induknya sama
dengan penyembelehan induknya dan lain-lain. ( HM. Suparta: 2006, hal 67 ).
C. Ijma'
1. Pengertian Ijma'
Ditinjau dari segi bahasa
(etimologi), kata Ijma' merupakan masdar (kata benda verbal) dari kata yang artinya memutuskan
dan menyepakati sesuatu. Ia juga
bisa berarti kesepakatan bulat (konsensus). Menurut Abdul Wahhab Khalaf, secara istilah Ijma'
adalah :
Artinya : "Ijma' adalah
kesepakatan (konsensus) seluruh mujtahid padasuatu masa
tertentu sesudah wafatnya Rasul atas hukum syara' untuk satu
peristiwa (kejadian) ".
Dari rumusan di atas dapat
diambil beberapa penjelasan sebagai berikut :
1. Kesepakatan adalah kesamaan
pendapat baik disampaikan secara tegas melalui lisan maupun tulisan atau dengan beramal sesuai dengan hukum yang disepakati itu.
Kesepakatan seperti itu disebut Ijma' yang sebenarnya atau ijma' bayani atau disebut juga Ijma' Qauli.
Jika kesepakatan itu ditunjukkan dengan diam yaitu tidak memberikan tanggapan maka dinamakan ijma'
sukuti, karena diam itu tidak memberikan tanggapan dipandang sebagai telah menyetujui terhadap hukum yang sudah sampai
kepadanya.
2. Seluruh mujtahid berarti
masing-masing mujtahid menyatakan kesepakatannya.Jika seorang saja tidak menyetujuinya maka tidak terjadi ijma'. Demikian pula jika pada
suatu masa hanya ada pada seorang mujtahid
saja, maka tidak ada ijma' sebab tidak terjadi kesepakatan.
3. Pada zaman Rasulullah SAW
tidak ada ijma' sebab setiap terjadi ketiadaan hukum, para sahabat bertanya kepada Rasul,
lalu beliau menetapkan
hukumnya.
4. Atas hukum syara' ijma' hanya
terjadi bagi masalah yang berhubungandengan hukum. Syara' dan berdasar kepada hukum syara' pula ; baik berupa nash yang
qoth'i yaitu Al-Qur'an dan hadits mutawatir, sebab ijma' bukanlah
dalil syar'i yang berdiri sendiri. (Muzilanto : 2008, hal 30-31 ).
2. Dasar
Kehujjahan Ijma’ dan Kedudukannya sebagai sumber hukum
Ijma' sebagai dasar hukum walaupun terjadi
perbedaan, namun mayoritas ulama' telah sepakat sebagai sumber hukum Islam yang ke
tiga setelah Al-Qur'an dan
AI-Hadits. Apabila sudah terjadi ijma' maka hukum tersebut menjadi dasar beramal yang tidak boleh
diingkari.
Artinya : "Apa-apa yang menurut pendapat kaum muslimin
baik, maka baik (pula) di sisi
Allah (HR. Ahmad di dalam Kitab Sunnah-nya)".
Artinya : "Umatku tidak bersepakat atas
kesesatan". (H. R. Ibnu Majah
3. Macam dan Tingkatan Ijma’
a. Ijma'
Sharih, (Sharih dari segi bahasa
artinya jelas) yaitu Ijma' yangmemaparkan pendapat banyak
Ulama' secara jelas dan terbuka, baik dengan
ucapan maupun perbuatan. Pada saat semua Ulama' memaparkan pendapatnya,
ternyata mereka menghasilkan pendapat yang sama atas
hukum suatu perkara. ljma' jenis ini kita akui sangat langka karena
sangat sulit dicapai darim sekian banyak Ulama' memberikan sebuah
paparan yang sama. Oleh karena itu, sebagian Ulama' berpendapat
bahwa Ijma' semacam ini hanya dapat terlaksana pada zaman sahabat
ketika jumlah mujtahid masih sedikit dan tempat mereka berdekatan.
Ijma' Sharih ini menempati peringkat Ijma' tertinggi. Hukum yang ditetapkannya
bersifat qat'i, sehingga umat wajibmengikutinya. Maka
seluruh Ulama' sepakat dan menerima untukmenjadikan ijma Sharih ini
sebagai dalil yang sah dan kuat dalampenetapan hukum syari'at
Islam.
b. ljma' sukuti, (Sukuti dari
segi bahasa artinya diam) yaitu sebagian mujtahid
memaparkan pendapat-pendapatnya secara terang dan jelas mengenai suatu
hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan,
sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan komentar apakah ia menerima
atau menolak. ljma' sukuti ini bersifat dzan dan tidak mengikat.
Oleh seabab itu, tidak ada halangan bagi para mujtahid untuk memaparkan
pendapat yang berbeda setelah Ijma' itu diputuskan. Bagi Imam Syafi'i
dan Imam Malik berpendapat bahwa ljma' sukuti ini tidak dapat
dijadikan dasar hukum. Namun Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin
Hambal berpendapat lain yaitu menjadikannya sebagai dasar hukum. Mereka yang
menerima ljma' sukuti sebagai hujah sebab
menurut kedua Imam tersebut, diamnya mujtahid sebagai tanda setuju. (
Muzilanto : 2008, hal 32 ).
D. Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti
menyamakan atau mengukurkan sesuatu dengan yang lain. Para ahli Ushul Fiqih merumuskan qiyas dengan:
Artinya : "Menyamakan
atau mengukur satu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya
dengan kejadian yang ada nash tentang hukumnya di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada kesamaan
antara dua kejadian itu di dalam ilat hukum tersebut".
2. Rukun Qiyas
Dari rumusan diatas dapat
dijelaskan beberapa rukun qiyas sebagai berikut :
a. Kejadian adalah peristiwa, perbuatan,
tindakan yang tidak ada hukumnya atau belum jelas hukumnya baik di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Dalam ilmu Ushul
Fiqih hal ini disebut "Far'un"
Suatu peristiwa dapat disebut
far'un apabila : adanya kemudian,
ada kesamaan illat dengan peristiwa yang akan disamainya.
b. Kejadian yang telah ada ketentuan hukumnya
baik di dalam Al-Qur'an maupun sunnah disebut ashal a atau disebut juga "maqiis'alaih"
yaitu sesuatu yang akan diqiyaskan kepadanya, atau "musyabbah
bih" yaitu sesuatu yang
akan diserupakan dengannya.
Suatu kejadian dapat disebut ashl apabila :
1) Hukumnya adalah hukum syari'ah
amali dan berdasar nash.
2) illat hukumnya dapat Diketahui
secara aqli
3) Hukumnya bukan merupakan
cabang (far'un) dari ashal mansukh
4) Nash hukum ashal tidak
meliputi hukum far'un.
5) Hukum ashal adalah hukum yang
disepakati dan tidak mansukh
6) Hukum pada ashal tidak
mempunyai qiyas rangkap.
c. Illat yaitu suatu sifat yang
menjadi dasar hukum pada ashal. Sifat inipula yang harus ada pada “far'un". Haramnya minum
khamr adalah ashal karena ada
nash yang menyatakan itu, yaitu firman Allah SWT :
(maka
jauhilah) karena sifatnya yang memabukkan.
Perasan anggur
adalah "far'un" yang tidak disebutkan
hukumnya tetapi sifatnya saja yaitu memabukkan. Karena sifatnya sama maka rasa anggur dan semua
makanan dan minuman yang memiliki sifat memabukkan hukumnya
disamakan dengan khamar yaitu haram.
Kata ‘illah : penggunaannya sering tumpang tindih dengan sebab dalam hukum
wadh'i sebab
biasanya berhubungan dengan suatu asalan yang tidak bisa dipahami
akal. Jadi, setiap sabab pastilah
'illah, tetapi tidak semua 'illahmerupakan sabab.
d. Hukum ashal yaitu hukum
suatu kejadian yang sudah disebutkan
dan akan ditetapkan bagi
far'un karena sama sifatnya (illatnya). Suatu sifat dapat dijadikan sebagai illat, apabila : jelas atau dzonni (dapat dibuktikan),
dapat dibatasi secara pasti sama antara ashal dengan
far'un serta
munasabah yaitu
dugaan kuat bahwa
sifat tersebut merupakan alasan hukum pada ashal, sehingga adanya menyebabkan
adanya hukum dan tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum.
Al-Ashlu
|
Al-Far’u
|
‘Ilah
|
Hukum
|
Khamar
|
Narkoba
|
Memabukkan
|
Haram
|
3. Dasar
Kehujjahan Qiyas dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum
Sebagian Ulama' Sunni berpendapat bahwa
qiyas adalah salah satu sumber
hukum Islam. Ulama' yang menjadikan qiyas sebagai sumber hukum atau disebut (musbitul qiyas) dan
mereka mempunyai dasar yang kuat baik dari nas maupun dari akal. Dalam Al-Qur'an
terdapat banyak ayat yang
menyuruh manusia menggunakan
akalnya semaksimal mungkin. Tidak kurang dari 50 ayat Al-Qur'anyang mendorong manusia menggunakan akalnya. Di antaranya dapat dilihat dalam
Surat al-Hasyr ayat 2 berikut ini :
Artinya: Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai
orang-orang yang mempunyai pandangan.
Dasar qiyas sebagai sumber hukum adalah
sebuah.hadits dari Ibnu Abbas :
Artinya: Dari Ibnu Abbas, seorang perempuan dari
kabilah Juhainah telahdatang kepada Nabi. la bertanya,
"sesungguhnya ibuku telahbernazar akan pergi
haji tapi ia tidak melaksanakannya sampaiwafat". Apakah
saya boleh mengerjakan haji untuk ibuku?" Nabimenjawab,
"Ya boleh, kerjakanlah haji untuknya. Bagaimanapendapatmu
kalau ibumu sewaktu wafat meninggalkan utang,bukankah
engkau yang membayarnya? Hendaklah kamu bayar hak
Allah sebab hak Allah lebih utama untuk dipenuhi". (HR.Bukhari).
Dari hadits di atas, dapat dijelaskan bahwa membayar hutang kepada Allah disamakan dengan hutang kepada manusia.
Kalau hutang kepada manusia saja
wajib dibayar, maka hutang kepada Allah juga harus dibayar.
4. Macam-macam Qiyas
Qiyas
mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada
tingkat kekuatan hukum karena adanya `illah yang ada pada asal dan furu', adapun tingkatan
tersebut pada umumnya dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Qiyas aula, yaitu qiyas yang apabila 'illahnya
mewajibkan adanya hukum. Hukum cabang
memiliki nilai yang lebih utama dari pada hukum yang ada pada al-ashal.
Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan "ah",
"eh", "busyet"
atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman
Allah QS. Allsra' (17): 23.
Artinya: "Maka
sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah".
Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan "ah", "busyet"
dan sebagainya hukumnya Iebih utama. Rasionalnya, berkata "ah"
saja dilarang,
apalagi memukulnya. Memukul tentu lebih menyakitkan dibanding berkata
"ah" bukan?
b. Qiyas
musawi, yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum. Hukum yang ada
pada ashal dan hukum yang ada pada cabang nilainya
sama. Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan
firman Allah Surah an-Nisa' (4): 10.
Artinya: Sebenarnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).
Dari ayat
di atas, kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau
kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan
hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim
tersebut.
c. Qiyas adna yaitu qiyas yang apabila
'illahnya mewajibkan adanya hukum.Hukum cabang nilainya lebih lemah
dari pada hukum ashal. Sebagai contoh,mengqiyaskan hukum
apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena
adanya kelebihan dalam tukar-menukar antara dua bahan kebutuhan pokok
atau makanan). Dalam kasus ini, `illah hukumnya
adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan, yang bisa dimakan dan
ditukar. Namun ada segi yang lain dari 'illah gandum yang tidak terdapat pada
apel, apa itu ? apel tidak makanan pokok. Oleh
karenanya, 'illah yang ada pada apel lebih lemah dibandingkan dengan
illat yang ada pada gandum yang menjadimakanan pokok. ( Muzilanto :
2008, hal 35-36 ).
5.
Sebab-sebab dilakukan Qiyas
Diantara sebab-sebab dilakukan qiyas adalah :
a. Adanya
persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam
nash Al-Qur’an dan As-Hadits tidak ditemukan hukumnya dan mujtahid pun belum
melakukan ijma’
b. Nash baik yang berupa
Al-Qur’an maupun Al-Hadits telah berakhir dan tidak turun lagi
c. Adanya
persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang
hukumnya telah ditentukan oleh nash. (MS Wawan : 2008, hal
48 ).
Ingin Mendapatkan Materi ini? Silahkan Download melalui Link dibawah ini:
Belum ada Komentar untuk "MATERI FIQIH KELAS 12 : SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI PARA ULAMA"
Posting Komentar
Tinggalkan komentar terbaik Anda...