MATERI FIQIH KELAS 12 : SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI PARA ULAMA

BAB II
SUMBER HUKUM ISLAM
YANG DISEPAKATI PARA ULAMA


A. Al-Qur’an
1. Pengertian Al-Qur’an
      Menurut bahasa (etimologi) kata Al-Qur’an berasal dari kata “qara-yaqrau-qur anan”artinya bacaan atau yang dibaca.
Sedangkan menurut istilah (terminologi) Al-Qur’an adalah Kalmullah sebagai mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, dengan bahasa Arab, ditulis dimushhaf, disampaikan secara mutawatir, dibaca bernilai ibadah. Diawali dengan surat Al-Fatihan dan diakhiri dengan surat An-Nas.
2.   Pokok-pokok isi Al-Qur’an
      Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada lima yaitu :
      a. Tauhid
      b. Ibadah
      c. Janji dan ancaman
      d. Jalan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
      e. Riwayat dan ceritera ( qishah umat terdahulu). ( A.Hanafie : 1981, hal 103 )

3.   Dasar Kehujjahan Al-Qur’an dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum
Sebagimana kita ketahui Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada umat manusia adalah untuk wajib diamalkan semua perintah-Nya dan wajib ditinggalkan segala larangan-Nya. Firman) Allah SWT :
Artinya     "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu denganmembawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantan karena membela orang-orang yang khianat". (An-Nisa :105).




Artinya     "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara merekamenurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (Al-Maidah: 49).
Al-Qur'an merupakan number hukum utama dalam islam dan menempati kedudukan pertama dari sumber- sumber hukum islam yang lain, ia merupakan aturan dasar yang paling tinggi. Semua sumber hukum danketentuan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan isi Al-Qur'an.
4.     Pedoman AI-Qur'an dalam Menetapkan Hukum.
Pedoman Al-Qur'an dalam menetapkan hukum sesuai dengan perkembangan dan kemampuan manusia, baik secara fisik maupun rohani. manusia selalu berawal dari kelemahan dan ketidak mampuan. Untuk itu Al­Qur'an berpedoman kepada tiga hal, yaitu :
      a.    Tidak memberatkan ( ) Firman Allah SWT :




Artinya :  "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..." (Al-Bagarah : 286).
Artinya     "...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu". (Al-Bagarah 185)
Contoh :Azimah (ketentuan-ketentuan umum Allah) misal sholat wajib dll
      b.   Meminimalisir beban ( )
Dasar ini merupakan konsekwensi logis dari dasar yang pertama. Dengan dasar ini kita dapati rukhshah (keringanan) dalam beberapa jenis ibadah, sepertiMenjama’ dan mengqashar sholat apabila dalam perjalanan dengan syaratyang telah ditentukan.
   c.    Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum ( )
          Al-Qur'an dalam menetapkan hukum adalah secara bertahap, hal ini bisa kitatelusuri dalam hukum haramnya meminum-minuman keras, berjudi serta perbuatan-perbuatan yang mengandung judi ditetapkan dalam Al­Qur'an (QS. Al-Baqarah: 219, QS. An-Nisa’ : 43 dan QS. Al-Maidah : 90). HM. Suparta 2006, hal 59-61).

B. Al- Hadits
1.  Pengertian Al-Hadits
     Menurut bahasa (etimologi) Al-Hadits berarti ”yang baru”, ”yang dekat”, atau”warta” yaitu sesuatu yang dibicarakan. Sedangkan menurut istilah (terminologi) Al-Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan) beliau. (MS. Wwawan : 2008, hal 27).
2.  Bentuk-bentuk Al-Hadits
     Berdasarkan definisi istilah diatas, maka bentuk hadits dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
     a. Qauliyah ( ucapan )
     b. Fi’liyah ( perbuatan )
     c. Taqririyah ( keputusan/ketetapan )
3.   Dasar Kehujjahan Al-Hadits dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum
Banyak kita jumpai ayat ayat Al-Qur'an dan Hadits-hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam selain Al-Qur'an yang wajib diikuti, dan diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini merupakan penjelasan secara rinci tentang dasar kehujjahan hadits sebagai sumber hukum Islam dengan mengambil beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.
a.   DaliI Al-Qur'an
Banyak kita jumpai ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup sehari-hari . Di antara ayat-ayat dimaksud adalah:
      Firman Allah SWT :
Artinya:   Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang berimandalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara Rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar. (QS. Ali lmran (3): 179).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Bagi siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul­rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh jauhnya. (QS. Al-Nisa' (4): 136).
Ayat-ayat diatas Allah menyuru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), Al­Qur'an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian Allah mengancam orang-orang yang mengingkari dan menentang seruan­-Nya.
Di samping itu, Allah juga memerintahkan kepada kaum muslimin agar menaati dan melaksanakan segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawa oleh Rasul-Nya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul-Nya sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah ini. Firman Allah SWT:
Artinya: Katakanlah Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya; jika kamuberpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".(QS. Ali lmran (3): 32).
Dalam firman-Nya yang lain:
Artinya :     Hai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, Rasul, dan UlilAmri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapattentang sesuatu, akan kembalilah kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian ini lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS. AN-Nisa (4): 59).
Kemudian dalam ayat yang lain, Allah juga berfirman:
Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yangdilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah,sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. AI-Hasyr (59):7).




Artinya:   Dan taatlah kamu kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, dan berhati-hatilah. (QS. Al-Maidah (5): 92).
Artinya:      Katakanlah: Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul SAW itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk (QS. A1-Nur (24): 54).
Dari ayat- ayat Al-Qur'an di atas tergambar bahwa setiap ada perintah taat kepada Allah SWT dalam Al-Qur'an selalu diikuti dengan perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikian pula mengenai peringatan (ancaman) karena durhaka kepada Allah, sering disejajarkan atau disamakan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul Muhammad SAW.
b.   Dalil Al-Hadits
Mari kita pahami Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaandengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur'an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:




Artinya: "Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya". (HR. Malik).
Saat Rasulullah ingin mengutus Mu'adz bin Jabal untuk menjadipenguasa di Negeri Yaman, terlebih dahulu dia diajak dialog oleh RasulullahSAW.
                        
Artinya:   "(Rasul bertanya), bagaimana kamu akan menetapkan hukum bila dihadapkan padamu sesuatu yang memerlukan penetapan hukum? Mu'az menjawab: saya akan menetapkannya dengan kitab Allah. Lalu Rasul bertanya; seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah, Mu'az menjawab: dengan Sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi, seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah dan juga tidak dalam Sunnah Rasul, Mu'az menjawab: saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakangan Mu'az seraya mengatakan "segala puji bagi Allah yangtelah menyelaraskan utusan seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki". (HR. Abu Daud dan Al-Tirmidzi).
Dalam hadits lain Rasul bersabda:
Artinya:   "Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan Sunnahku danSunnah Khulafa Ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya. (HR. Abu Daud dan Ibun Majah).
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa berpegang teguh kepada hadits atau menjadikan hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur'an.
c.    Kesepakatan Ulama (Ijma')
Seluruh Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum Syari'at Islam yang wajib diikuti dan diamalkan; karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur'an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum Syariat Islam.
kesepakatan umat Islam dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan semua ketentuan yang terkandung di dalam hadits ternyata sejak Rasulullah masih hidup hingga sekarang tidak ada yang mengingkarinya. Banyakdiantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isikandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal, memelihara, danmenyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Mari kita menengok peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanyakesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam pada masa sahabat, antara lain dapat diperhatikan peristiwa di bawah ini :
a. Pada saat Abu Bakar Ra. dibaiat menjadi Khalifah, ia dengan tegasberkata “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan /dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut menjadi orang bila meninggalkan perintahnya".
b. Pada saat Khalifah Umar Ibnu Khattab ada di depan Hajar Aswad isberkata: “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya sendiri tidak melihat Rasulullah menciummu, maka saya tidak akan menciummu".
c. Pada suatu saat pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) masalah ketentuan shalat safar dalam Al-Qur'an. la menjawab: "Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul".
d. Diceritakan dari Sa'id bin Musayyab bahwa Khalifah Usman bin Affanberkata: “Saya duduk sebagaimana mengikuti duduknya Rasulullah SAW, saya juga makan sebagaimana makannya Rasulullah, dan saya mengerjakan shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.
      Sebenarnya Masih banyak lagi contoh-contoh yang dilakukan oleh para sahabat yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selaluditinggalkan oleh mereka. ( Muzilanto : 2008, hal 27 )
d.     Sesuai dengan Petunjuk Akal
Muhammad SAW, sebagai Nabi dan Rasul Allah telah diakui dan dibenarkan oleh seluruh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Allah. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada dalil yang menghapuskannyanya
Dan apabila kerasulan Muhammad SAW telah diimani dan dibenarkan, maka konsekwensi logisnya segala peraturan dan perundang­-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Di samping itu secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul Allah mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Semua umat Islam telah sepakat dengan bulat bahwa Hadits Rasuladalah sumber dan dasar hukum Islam setelah Al-Qur'an, dan umat Islamdiwajibkan mengikuti dan mengamalkannya sebagaimana diwajibkanmengikuti dan mengamalkan Al-Qur'an.
Al-Qur'an dan Hadits merupakan dua sumber hukum pokok syariat Islam yang tetap, dan orang Islam tidak akan mungkin bisa memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulama' pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil salah satu dari keduanya.
  Berdasarkan uraian di atas bisa diketahui bahwa hadits merupakan salahsatu sumber hukum Islam dan menduduki urutan kedua setelah Al-Qur'an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan hukum zhanny, kecuali hadits yang mutawatir.
4.   Fungsi Al-Hadits terhadap Al-Qur’an
      Dalam Al-Qur’an masih banyak ayat bersifat umum dan global yang memerlukan penjelasan. Dan penjelasan itu diberikan oleh Rasulullah SAW. Yang berupa Al-Hadits. Tanpa penjelasan dari beliau banyak ketentuan Al-Qur’an yang tidak bisa dilaksanakan. Maka dari itu Al-Hadits memiliki beberapa fungsi terhadap Al-Qur’an antara lain :
a. Bayanut Tafsir yaitu sebagai penjelas atau merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang masih global dan memberikan batasan terhadap ayat Al-Qur’an yang dalam pelaksanaannya belum ada batasannya. Misal hadits tentang tata cara ibadah sholat, tata cara ibadah haji dan lain-lain.
b. Bayanut Taqrir yaitu sebagai penguat ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Misal hadits tentang rukun Islam dan lain-lain.
c. Bayanut Tasyri’ yaitu menetapkan hukum suatu perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an. Misal hadits tentang penyembelehan janin dalam perut induknya sama dengan penyembelehan induknya dan lain-lain. ( HM. Suparta: 2006, hal 67 ).        
C.  Ijma'
1.   Pengertian Ijma'
Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), kata Ijma' merupakan masdar (kata benda verbal) dari kata yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu. Ia juga bisa berarti kesepakatan bulat (konsensus). Menurut Abdul Wahhab Khalaf, secara istilah Ijma' adalah :
                   Artinya : "Ijma' adalah kesepakatan (konsensus) seluruh mujtahid padasuatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasul atas hukum syara' untuk satu peristiwa (kejadian) ".
Dari rumusan di atas dapat diambil beberapa penjelasan sebagai berikut 
1.   Kesepakatan adalah kesamaan pendapat baik disampaikan secara tegas melalui lisan maupun tulisan atau dengan beramal sesuai dengan hukum yang disepakati itu. Kesepakatan seperti itu disebut Ijma' yang sebenarnya atau ijma' bayani atau disebut juga Ijma' Qauli. Jika kesepakatan itu ditunjukkan dengan diam yaitu tidak memberikan tanggapan maka dinamakan ijma' sukuti, karena diam itu tidak memberikan tanggapan dipandang sebagai telah menyetujui terhadap hukum yang sudah sampai kepadanya.
2.   Seluruh mujtahid berarti masing-masing mujtahid menyatakan kesepakatannya.Jika seorang saja tidak menyetujuinya maka tidak terjadi ijma'. Demikian pula jika pada suatu masa hanya ada pada seorang mujtahid saja, maka tidak ada ijma' sebab tidak terjadi kesepakatan.
3.   Pada zaman Rasulullah SAW tidak ada ijma' sebab setiap terjadi ketiadaan hukum, para sahabat bertanya kepada Rasul, lalu beliau menetapkan hukumnya.
4.          Atas hukum syara' ijma' hanya terjadi bagi masalah yang berhubungandengan hukum. Syara' dan berdasar kepada hukum syara' pula baik berupa nash yang qoth'i yaitu Al-Qur'an dan hadits mutawatir, sebab ijma' bukanlah dalil syar'i yang berdiri sendiri. (Muzilanto 2008, hal 30-31 ).
    2.      Dasar Kehujjahan Ijma’ dan Kedudukannya sebagai sumber hukum
Ijma' sebagai dasar hukum walaupun terjadi perbedaan, namun mayoritas ulama' telah sepakat sebagai sumber hukum Islam yang ke tiga setelah Al-Qur'an dan AI-Hadits. Apabila sudah terjadi ijma' maka hukum tersebut menjadi dasar beramal yang tidak boleh diingkari.
Artinya            "Apa-apa yang menurut pendapat kaum muslimin baik, maka baik (pula) di sisi Allah (HR. Ahmad di dalam Kitab Sunnah-nya)".
Artinya            "Umatku tidak bersepakat atas kesesatan". (H. R. Ibnu Majah
3.         Macam dan Tingkatan Ijma’                      
a.   Ijma' Sharih(Sharih dari segi bahasa artinya jelas) yaitu Ijma' yangmemaparkan pendapat banyak Ulama' secara jelas dan terbuka, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Pada saat semua Ulama' memaparkan pendapatnya, ternyata mereka menghasilkan pendapat yang sama atas hukum suatu perkara. ljma' jenis ini kita akui sangat langka karena sangat sulit dicapai darim sekian banyak Ulama' memberikan sebuah paparan yang sama. Oleh karena itu, sebagian Ulama' berpendapat bahwa Ijma' semacam ini hanya dapat terlaksana pada zaman sahabat ketika jumlah mujtahid masih sedikit dan tempat mereka berdekatan. Ijma' Sharih ini menempati peringkat Ijma' tertinggi. Hukum yang ditetapkannya bersifat qat'i, sehingga umat wajibmengikutinya. Maka seluruh Ulama' sepakat dan menerima untukmenjadikan ijma Sharih ini sebagai dalil yang sah dan kuat dalampenetapan hukum syari'at Islam.
b. ljma' sukuti, (Sukuti dari segi bahasa artinya diam) yaitu sebagian mujtahid memaparkan pendapat-pendapatnya secara terang dan jelas mengenai suatu hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan, sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan komentar apakah ia menerima atau menolak. ljma' sukuti ini bersifat dzan dan tidak mengikat. Oleh seabab itu, tidak ada halangan bagi para mujtahid untuk memaparkan pendapat yang berbeda setelah Ijma' itu diputuskan. Bagi Imam Syafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa ljma' sukuti ini tidak dapat dijadikan dasar hukum. Namun Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat lain yaitu menjadikannya sebagai dasar hukum. Mereka yang menerima ljma' sukuti sebagai hujah sebab menurut kedua Imam tersebut, diamnya mujtahid sebagai tanda setuju. ( Muzilanto : 2008, hal 32 ).
D.  Qiyas
      1.   Pengertian Qiyas                  
      Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukurkan sesuatu dengan yang lain. Para ahli Ushul Fiqih merumuskan qiyas dengan:
Artinya "Menyamakan atau mengukur satu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash tentang hukumnya di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada kesamaan antara dua kejadian itu di dalam ilat hukum tersebut".
2.   Rukun Qiyas
Dari rumusan diatas dapat dijelaskan beberapa rukun qiyas sebagai berikut :
a.             Kejadian adalah peristiwa, perbuatan, tindakan yang tidak ada hukumnya atau belum jelas hukumnya baik di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Dalam ilmu Ushul Fiqih hal ini disebut "Far'un"
Suatu peristiwa dapat disebut far'un apabila adanya kemudian, ada kesamaan illat dengan peristiwa yang akan disamainya.
b.    Kejadian yang telah ada ketentuan hukumnya baik di dalam Al-Qur'an maupun sunnah disebut ashal a atau disebut juga "maqiis'alaih"
yaitu sesuatu yang akan diqiyaskan kepadanya, atau "musyabbah bih" yaitu sesuatu yang akan diserupakan dengannya.
Suatu kejadian dapat disebut ashl apabila :
1)        Hukumnya adalah hukum syari'ah amali dan berdasar nash.
2)        illat hukumnya dapat Diketahui secara aqli
3)         Hukumnya bukan merupakan cabang (far'un) dari ashal mansukh
4)        Nash hukum ashal tidak meliputi hukum far'un.
5)        Hukum ashal adalah hukum yang disepakati dan tidak mansukh
6)        Hukum pada ashal tidak mempunyai qiyas rangkap.
c.        Illat yaitu suatu sifat yang menjadi dasar hukum pada ashal. Sifat inipula yang harus ada pada “far'un". Haramnya minum khamr adalah ashal karena ada nash yang menyatakan itu, yaitu firman Allah SWT :
        (maka jauhilah) karena sifatnya yang memabukkan.
Perasan anggur adalah "far'un" yang tidak disebutkan hukumnya tetapi sifatnya saja yaitu memabukkan. Karena sifatnya sama maka rasa anggur dan semua makanan dan minuman yang memiliki sifat memabukkan hukumnya disamakan dengan khamar yaitu haram.
       Kata ‘illah : penggunaannya sering tumpang tindih dengan sebab dalam hukum wadh'i sebab biasanya berhubungan dengan suatu asalan yang tidak bisa dipahami akal. Jadi, setiap sabab pastilah 'illah, tetapi tidak semua 'illahmerupakan sabab.
d. Hukum ashal yaitu hukum suatu kejadian yang sudah disebutkan dan akan ditetapkan bagi far'un karena sama sifatnya (illatnya). Suatu sifat dapat dijadikan sebagai illat, apabila jelas atau dzonni (dapat dibuktikan), dapat dibatasi secara pasti sama antara ashal dengan far'un serta munasabah yaitu dugaan kuat bahwa sifat tersebut merupakan alasan hukum pada ashal, sehingga adanya menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum.

Al-Ashlu
Al-Far’u
‘Ilah
Hukum
Khamar
Narkoba
Memabukkan
Haram
3.     Dasar Kehujjahan Qiyas dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum
   Sebagian Ulama' Sunni berpendapat bahwa qiyas adalah salah satu sumber hukum Islam. Ulama' yang menjadikan qiyas sebagai sumber hukum atau disebut (musbitul qiyas) dan mereka mempunyai dasar yang kuat baik dari nas maupun dari akal. Dalam Al-Qur'an terdapat banyak ayat yang menyuruh manusia menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Tidak kurang dari 50 ayat Al-Qur'anyang mendorong manusia menggunakan akalnya. Di antaranya dapat dilihat dalam Surat al-Hasyr ayat 2 berikut ini :
Artinya:             Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.
Dasar qiyas sebagai sumber hukum adalah sebuah.hadits dari Ibnu Abbas :
     
Artinya: Dari Ibnu Abbas, seorang perempuan dari kabilah Juhainah telahdatang kepada Nabi. la bertanya, "sesungguhnya ibuku telahbernazar akan pergi haji tapi ia tidak melaksanakannya sampaiwafat". Apakah saya boleh mengerjakan haji untuk ibuku?" Nabimenjawab, "Ya boleh, kerjakanlah haji untuknya. Bagaimanapendapatmu kalau ibumu sewaktu wafat meninggalkan utang,bukankah engkau yang membayarnya? Hendaklah kamu bayar hak Allah sebab hak Allah lebih utama untuk dipenuhi". (HR.Bukhari).
Dari hadits di atas, dapat dijelaskan bahwa membayar hutang kepada Allah disamakan dengan hutang kepada manusia. Kalau hutang kepada manusia saja wajib dibayar, maka hutang kepada Allah juga harus dibayar.
4.     Macam-macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya `illah yang ada pada asal dan furu', adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Qiyas aula, yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum. Hukum cabang memiliki nilai yang lebih utama dari pada hukum yang ada pada al-ashal. Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan "ah", "eh", "busyet" atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman Allah QS. Al­lsra' (17): 23.
      Artinya: "Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah".
     Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan "ah", "busyet" dan sebagainya hukumnya Iebih utama. Rasionalnya, berkata "ah" saja dilarang, apalagi memukulnya. Memukul tentu lebih menyakitkan dibanding berkata "ah" bukan?
b.   Qiyas musawi, yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum. Hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada cabang nilainya sama. Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman Allah Surah an-Nisa' (4): 10.
 Artinya: Sebenarnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dari ayat di atas, kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.
c.   Qiyas adna yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum.Hukum cabang nilainya lebih lemah dari pada hukum ashal. Sebagai contoh,mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar-menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam kasus ini, `illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan, yang bisa dimakan dan ditukar. Namun ada segi yang lain dari 'illah gandum yang tidak terdapat pada apel, apa itu apel tidak makanan pokok. Oleh karenanya, 'illah yang ada pada apel lebih lemah dibandingkan dengan illat yang ada pada gandum yang menjadimakanan pokok. ( Muzilanto : 2008, hal 35-36 ).
      5. Sebab-sebab dilakukan Qiyas
             Diantara sebab-sebab dilakukan qiyas adalah :
a. Adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur’an dan As-Hadits tidak ditemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma’
b. Nash baik yang berupa Al-Qur’an maupun Al-Hadits telah berakhir dan tidak turun lagi
c. Adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nash. (MS Wawan : 2008, hal 48 ).



Ingin Mendapatkan Materi ini? Silahkan Download melalui Link dibawah ini:




Belum ada Komentar untuk "MATERI FIQIH KELAS 12 : SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI PARA ULAMA"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar terbaik Anda...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel