MATERI FIQIH KELAS 12 : HUKUM SYAR'I
Senin, September 04, 2017
Tambah Komentar
HUKUM SYARA’
I. PENDAHULUAN
Segala
amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari
ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan
Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada
sumber lain yang diakui syari'at.
Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali,
bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul
fiqh. Sasaran kedua di
siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan
perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh
meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu
fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah
yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha
(tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab
akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di
berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf.
Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab,
halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang
kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas
tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi.
Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam
mempelajari ilmu Ushul fiqh.
II. RUMUSAN
MASALAH
1. Pengertian
hukum syar’i
2. Macam-macam
hukum syar’i
3. Pembagian
macam-macam hukum
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Hukum Syara’
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti
“mencegah” atau “memutuskan”.Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm)
berarti”khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik
berupaiqtidla(perintah,larangan,anjuran untuk melakukan atau anjuran
untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf
untuk memilih antara melkakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan
yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,syarat,atau mani’[penghalang]).[1]
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah
khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud
ialah hukum yang berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu
fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.[2]
Bila dicermati dari definisi diatas,
ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadis-hadis hukum dapat dikategorikan
dalam beberapa macam;
a. Perintah
untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu
sifatnya wajib.
b. Larangan
melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatnya haram.
c. Anjuran
untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan
itu sifatnya mandub.
d. Anjuran
untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk
ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e. Memberi
kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidakmelakukan, dan perbuatan
yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
f. Menetapkan
sesuatu sebagai sebab.
g. Menetapkan
sesuatu sebagai syarat.
h. Menetapkan
sesuatu sebagai mani’(penghalang).
i. Menetapkan
sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal.
j. Menetapkan
sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshah.[3]
2 Macam
–Macam Hukum
Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum
kepadadua macam,yaitu:
· hukum
taklifi
· hukum
wadh’i
Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah :
ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan
perbuatan mukalaf,baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan,
larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan
untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah:
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu
yang menjadipenghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum
tersebut dapat deketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar
antara dua macam hukum tersebut:
a. Hukum
taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan
terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan
suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa
sholat wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu
matahari tergalincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang
menunaikan shalat zuhur.
b. Hukum
taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang
mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia
dan bukan merupakan aktifitas manusia.
3 . Pembagian Macam-Macam Hukum
A. Hukum Taklifi
Hukum
Taklifi dibagi menjadi lima:
· Al-Ijab
(kewajiban)
· An-Nadb(kesunnahan)
· At-tahrim
(keharaman)
· Al-karahah
(kemakruhan)
· Al
ibahah (kebolehan).
1. Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau
pasti.secara terminologi,seperti yang dikemukakan Abd. Al-karim Zaidan, ahli
hukum islam berkebangsaan Irak, wajib berarti:Sesuatu yang diperintahkan
(diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf,
dan apabila dilaksanakanakan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila
tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi menjadi
beberapa bagian. Bila dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban
hukum wajib dibagi menjadi dua macam yaitu:
Ø Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban yang
dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh dan berakal (mukalaf), tanpa
kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali dilakukan sendiri.
Misalnya, kewajiban sholat lima waktu sehari semalam, puasa dibulan Ramadhan.
Ø Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang
dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila mana telah dilaksanakan oleh
sebagian umat islam maka kewajiban itu dianggap sudah terpenuhi sehingga orang yang
tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya
kewajiban sholat jenazah.
Bila
dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi kepada dua
macam:
Ø Wajib mu’ayyan, yaitu: suatu kewajiban
yang dituntut adanya oleh syara’ dengan secara khusus(tidak ada pilihan lain).
Misalnya, sholat lima waktu, puasa Ramadhan,membayar zakat.
Ø Wajib mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban
yang di mana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif.
Misalnya, kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar).[5]
Bila dilihat dari waktu pelaksanaanya ada dua macam:
Ø Wajib mu’aqqat, yaitu: sesuatu yang
dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti dalam waktu tertentu, seperti
shalat lima waktu. Masing-masing sholat itu dibatasi wakti tertentu,artiya
tidak wajib sholat sebelum waktunya dan berdosa jika mengakhirkan sholat tanpa
udhur.
Ø Wajib mutlaq, yaitu:sesuatu yang dituntut
syar’i untuk dilakukan secara pasti tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti
menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Dilihat
dari segi ukurannya ada dua macam:
Ø Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh
syar’i telah ditentukan ukurannya, seperti zakat.
Ø Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban
yang oleh syar’i tidak ditentukan ukurannya, seperti bershodaqoh, infaq.[6]
2. Mandub
Kata mandub secara etimologi berarti “sesuatu yang
dianjurkan”. Secara terminologi yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan oleh
Allah dan Rasul-nya dimana akan diberi pahala jika melaksanakannya. Namun tidak
mendapat dosa orang yang meninggalkannya. Seperti dikemukakan oleh Abdul Karim
Zaidan, mandub terbagi menjadi tiga tingkatan :
Ø Sunnah Muakadah (sunah yang dianjurkan),
Yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya
misalnya salat sunnah dua rakaat sebelum fajar.
Ø Sunnah ghoir muakadah (sunah biasa),
Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya
misalnya : melakukan salat sunah dua kali dua rakkat sebelum salat dhuhur.
Ø Sunah al Zawaid, Yaitu mengikuti
kebiasaan sehari- hari Rasulullah sebagai manusia misalnya sopan santunnya
dalam makan dan tidur.[7]
3. Haram
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang.
Menurut istilah ahli syara’ haram ialah: “pekerjaan yang pasti mendapat siksaan
karena mengerjakanya”. Sedaangkan secara terminologi ushul fiqh kata haram
berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,dimana orang yang
melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang
meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya larangan berzina
dalam firman Allah:ولاتقربواالزنائنه كان فاحشه
وساءسبيلا “Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buru”k.(QS.Al-isra’:32)
Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu
tidak akan dilarang atau diharamkan kecualikarena sesuatu itu mengandung bahaya
bagi kehidupan manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan).[8]Haram terbagi menjadi dua:
Ø haram yang menurut asalnya sendiri adalah
haram. Artinya bahwa hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari
permulaan, seperti zina,mencuri,shalat tanpa bersuci,mengawini salah satu
muhrimnya dengan mengetahui keharamannya
Ø haram karena sesuatu yang baru. Artinya
suatu perbuatan itu pada awalnya ditetapkan sebagai kewajiban, kesunnahan,
kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya haram:
seperti sholat yang memakai baju gosob,jual beli yang mengandung unsur menipu,
thalaq bid’i (talaq yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid).[9]
4. Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang
dibenci”.dalam istilah ushul fiqh kata makruh,menurut mayoritas ulama ushul
fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syari’at untuk ditinggalkan akan mendapat
pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Seperti halnya berkumur dan
memasukkan air ke hidung secara berlebihan di siang hari pada saat berpuasa
karena dikhawatirkan air akan masuk kerongga kerokongan dan tertelan.[10]
5. Mubah
Secara bahasa berarti”sesuatu yang diperbolehkan atau
diijinkan”, menurut para ahli ushul adalah sesuatu yang diberikan kepada
mukalaf untuk memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Misalnya, ketika
didalam rumah tangga terjadi cekcok yang berkepanjangan dan dikhawatirkan tidak
dapatlagi hidup bersama maka boleh (mubah)bagi seorang istri membayar sejumlah
uang kepada suami agar suaminya itu menceraikannya,sesuai dengan
QS.Al-Baqarah:229). Dan juga termasuk mudah bila syar’i memerintahkan suatu perbuatan
dan terdapat alasan yang emnunjukkan bahwa perintah itu berarti
mubah. Misalnya, dalam QS. Al Maidah : 2
وإذا حللتم فاصطادوا…
“Dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu”
Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat
membagi mubah kepada tiga macam:
Ø Mubah yang berfungsi untuk
mengantarkan seseorang pada sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya makan
dan minum hukumnya mubah, namun mengantarkan seseorangsampai ia mampu
mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti sholat dan
mencari rizki. Mubah yang seperti ini bukan berarti dianggap mubah dalam hal
memilih makan atau tidak makan, karena meninggalkan makan sama sekali dalam hal
ini akan membahayakan dirinya.
Ø Sesuatu baru dianggap mudah
bilamana dilakukan sekali-sakali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap
waktu. Misalnya bermain, mendengankan musik.
Ø Sesuatu yang mubah yang
berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Misalnya
membeli perabot rumah untuk untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang itu
hukumnya mubah dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat
persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula, karena untuk
mencapai sesuatu yang mubah tidak layak denag menggunakan sesuatu yang
dilarang.[11]
B. Hukum
Wadh’i
Hukum wadh’i trbagi menjadi tiga. Berdasarkan
penelitian, telah ditetapkan bahwa Hukum Wadh’i adakalanya menjadikan sesuatu
sebagai:
· Sebab
· Syarat
· Mani’.[12]
1. Sebab
Sebab menurut bahasa berarti,”sesuatu
yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut istilah
Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, sebab yaitu: “sesuatu
yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya
sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum”.[13] Misalya,
tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas
pelakunya, tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajibannya mengembalikan
benda yang dirampok kepada pemiliknya, melihat anak bulan Ramadan
menyebabkan wajibnya berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah SWT yang artinya,
“ Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan
(atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu…”(al-Baqarah:
185).
2. Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat secara
bahasa yaitu, “sesuatu yang menghendaki adannya sesuatu yang lain” atau “sbagai
tanda”. Sedangkan menurut istilah Ushul fiqh sprti dikemukakan oleh Abdul Karim
Zaidan syarat adalah: “sesuatu yang tergantung kepadanya ada ssuatu yang lain,
dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu”. Seperti: wudhu
adalah syarat bagi sahnya sholat apabila ada wudhu maka sholatnya
sah, namun adanya wudhu belom pasti adanya sholat, adanya pernikahan merupakan
syarat adanya talaq, jika tidak ada pernikahan maka tentu saja talaq tidak akan
terjadi.
Para ulama Ushul Fiqh membagi syarat kepada dua macam:
Ø Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang
langsung dari syari’at sendiri. Contoh,semua syarat yang ditetapkan olh syar’i
dalam perkawinan, jual beli,hibah, dan wasiat.
Ø Syarat ja’li, yaitu syarat yang datang
dari kemauan orang mukalaf itu sendiri. Cotoh Syarat yang ditetapkan suami
untuk menjatuhkan talaq kepada istrinya dan ketetapan majikan untuk
memerdekakan budaknya. Artinya jatuhnya talaq atau merdeka itu tergantung
pada adanya syarat, tidak adanya syarat pasti tidak
akan ada talaq atau merdeka. Bentuk kalimat talak adalah sebab
timbulnya talaq, tetapi jika telah memenuhi syarat. [14]
3. Mani’
(penghalang)
Mani’ adalah sesuatu yang adannya meniadakan hukum
atau membatalkan sebab. Dalam suatu masalah, kadang sebab syara’ sudah jelas
dan memenuhi syarat-syaratnya, tetapi ditemukan adanya mani’ (penghalang) yang
menghalangi konsekuensi hukum atas masalah tersebut. Sebuah akad misalnya dianggap
sah bilamana telaah memenuhi syarat-syaratnya dan akad yang itu mempunyai
akibat hukumselama tidak terdapat padanya suatu penghalang(mani’). Misalnya
akad perkawinan yang sah karena telah mncukupi syarat dan rukunnya adalah
sebagai sebab waris-mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi
terhalang jika suami membunuh istrinya atau sebaliknya. Di dalam sebauah hadist
dijelaskan bahwa tidak ada waris-mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
Para ahli ushul fiqh membagi mani’ kepada dua macam:
Ø Mani’ al-hukm, yaitu sesuatu yang
ditetapkan srari’at sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan
haidnya wanita itu merupakan mani’ bagi kecakapan wanita untuk melakukan
sholat, oleh karena itu sholat tidak wajib dilakukannya pada waktu haid.
Ø Mani’ as-sabab, yaitu suatu yag
ditetapkan syariat sbagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga
dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contohnya, bahwa
sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat
harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun jika pemilik
harta itu dalam keadaan berhutang dimana hutang itu bila dibayar akan
mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fiqih keadaan berhutang
itu menjadi mani’ bagi wajib zahat pada harta yang dimilikinya itu. Dalam hal
ini, keadaan berhutang telah mnghilangkan predikat orang kaya sehingga tidak
lagi dikenakan kewajiban zakat harta.
IV. KESIMPULAN
1. Hukum
syara’ adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka
yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan
dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
2. Hukum Islam dibagi menjadi dua
macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
3. Hukum taklifi adalah
hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh
para mukallaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan.
Hukum Taklifi ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu wajib,mandub,
haram, makruh, mubah.
4. Hukum Wadh’i adalah
titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang
lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (mani’)
bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Hukum wadh’i dibagi menjadi tiga,
yaitu sebab, syarat, mani’.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami paparkan
tentang hukum syar’i, semoga bermanfa’at bagi pembaca pada umumnyadan pada kami
pada khususnya. Dan tentunya makalah ini tidak lepas dari
kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat kami
butuhkan, guna memperbaiki makalah selanjutnya.
Ingin Mendapatkan Materi ini? Silahkan Download melalui Link dibawah ini:
Belum ada Komentar untuk "MATERI FIQIH KELAS 12 : HUKUM SYAR'I"
Posting Komentar
Tinggalkan komentar terbaik Anda...