MATERI FIQIH KELAS 12 : HUKUM SYAR'I

HUKUM SYARA’
 
I.          PENDAHULUAN
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.
Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh.
II.              RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian hukum syar’i
2.      Macam-macam hukum syar’i
3.      Pembagian macam-macam hukum







III.                   PEMBAHASAN
1.        Pengertian Hukum Syara’
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”.Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti”khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupaiqtidla(perintah,larangan,anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melkakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,syarat,atau mani’[penghalang]).[1]
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.[2]
Bila dicermati dari definisi diatas, ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadis-hadis hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam;
a.         Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
b.        Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatnya haram.
c.         Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
d.        Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e.         Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidakmelakukan, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
f.         Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g.        Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h.        Menetapkan sesuatu sebagai mani’(penghalang).
i.          Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal.
j.          Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshah.[3]

2          Macam –Macam Hukum
Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepadadua macam,yaitu:
·           hukum taklifi
·           hukum wadh’i




Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf,baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah: ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu yang menjadipenghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat deketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut:
a.         Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa sholat wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergalincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.
b.        Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia.
3 .    Pembagian Macam-Macam Hukum

A.      Hukum Taklifi
Hukum Taklifi dibagi menjadi lima:
·           Al-Ijab (kewajiban)
·           An-Nadb(kesunnahan)
·           At-tahrim (keharaman)
·           Al-karahah (kemakruhan)
·           Al ibahah (kebolehan).

1.                  Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti.secara terminologi,seperti yang dikemukakan Abd. Al-karim Zaidan, ahli hukum islam berkebangsaan Irak, wajib berarti:Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakanakan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.



Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Bila dilihat dari segi orang yang dibebani  kewajiban hukum wajib dibagi menjadi dua macam yaitu:
Ø  Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh dan berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali dilakukan sendiri. Misalnya, kewajiban sholat lima waktu sehari semalam, puasa dibulan Ramadhan.
Ø  Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila mana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu dianggap sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya kewajiban sholat jenazah.
Bila dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam:
Ø  Wajib mu’ayyan, yaitu: suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara’ dengan secara khusus(tidak ada pilihan lain). Misalnya, sholat lima waktu, puasa Ramadhan,membayar zakat.
Ø  Wajib mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban yang di mana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar).[5]
Bila dilihat dari waktu pelaksanaanya ada dua macam:
Ø  Wajib mu’aqqat, yaitu: sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti dalam waktu tertentu, seperti shalat lima waktu. Masing-masing sholat itu dibatasi wakti tertentu,artiya tidak wajib sholat sebelum waktunya dan berdosa jika mengakhirkan sholat tanpa udhur.
Ø  Wajib mutlaq, yaitu:sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Dilihat dari segi ukurannya ada dua macam:
Ø  Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i telah ditentukan ukurannya, seperti zakat.
Ø  Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i tidak ditentukan ukurannya, seperti bershodaqoh, infaq.[6]






2.      Mandub
Kata mandub secara etimologi berarti “sesuatu yang dianjurkan”. Secara terminologi yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-nya dimana akan diberi pahala jika melaksanakannya. Namun tidak mendapat dosa orang yang meninggalkannya. Seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, mandub terbagi menjadi tiga tingkatan :
Ø  Sunnah Muakadah (sunah yang dianjurkan), Yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya misalnya salat sunnah dua rakaat sebelum fajar.
Ø  Sunnah ghoir muakadah (sunah biasa), Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya misalnya : melakukan salat sunah dua kali dua rakkat sebelum salat dhuhur.
Ø  Sunah al Zawaid, Yaitu mengikuti kebiasaan sehari- hari Rasulullah sebagai manusia misalnya sopan santunnya dalam makan dan tidur.[7]

3.      Haram
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara’ haram ialah: “pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakanya”. Sedaangkan secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya larangan berzina dalam firman Allah:ولاتقربواالزنائنه كان فاحشه وساءسبيلا                                                      “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buru”k.(QS.Al-isra’:32)
Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan kecualikarena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan).[8]Haram terbagi menjadi dua:
Ø  haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya bahwa hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan, seperti zina,mencuri,shalat tanpa bersuci,mengawini salah satu muhrimnya dengan mengetahui keharamannya
Ø  haram karena sesuatu yang baru. Artinya suatu perbuatan itu pada awalnya ditetapkan sebagai kewajiban, kesunnahan, kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya haram: seperti sholat yang memakai baju gosob,jual beli yang mengandung unsur menipu, thalaq bid’i (talaq yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid).[9]



4.      Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”.dalam istilah ushul fiqh kata makruh,menurut mayoritas ulama ushul fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syari’at untuk ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Seperti halnya berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan di siang hari pada saat berpuasa karena dikhawatirkan air akan masuk kerongga kerokongan dan tertelan.[10]
5.      Mubah
Secara bahasa berarti”sesuatu yang diperbolehkan atau diijinkan”, menurut para ahli ushul adalah sesuatu yang diberikan kepada mukalaf untuk memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Misalnya, ketika didalam rumah tangga terjadi cekcok yang berkepanjangan dan dikhawatirkan tidak dapatlagi hidup bersama maka boleh (mubah)bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu menceraikannya,sesuai dengan QS.Al-Baqarah:229). Dan juga termasuk mudah bila syar’i memerintahkan suatu perbuatan dan terdapat alasan yang emnunjukkan bahwa perintah itu berarti mubah. Misalnya, dalam QS. Al Maidah : 2

وإذا حللتم فاصطادوا
“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu”
Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat membagi mubah kepada tiga macam:
Ø  Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang pada sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum hukumnya mubah, namun mengantarkan seseorangsampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti sholat dan mencari rizki. Mubah yang seperti ini bukan berarti dianggap mubah dalam hal memilih makan atau tidak makan, karena meninggalkan makan sama sekali dalam hal ini akan membahayakan dirinya.
Ø  Sesuatu baru dianggap mudah bilamana dilakukan sekali-sakali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya bermain, mendengankan musik.
Ø  Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Misalnya membeli perabot rumah untuk untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang itu hukumnya mubah dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula, karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak denag menggunakan sesuatu yang dilarang.[11]

B.       Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i trbagi menjadi tiga. Berdasarkan penelitian, telah ditetapkan bahwa Hukum Wadh’i adakalanya menjadikan sesuatu sebagai:
·           Sebab
·           Syarat
·           Mani’.[12]

1.    Sebab
Sebab menurut bahasa berarti,”sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, sebab yaitu: “sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum”.[13] Misalya, tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajibannya mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya, melihat anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah SWT yang artinya, “ Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu…”(al-Baqarah: 185).
2.        Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat secara bahasa yaitu, “sesuatu yang menghendaki adannya sesuatu yang lain” atau “sbagai tanda”. Sedangkan menurut istilah Ushul fiqh sprti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan syarat adalah: “sesuatu yang tergantung kepadanya ada ssuatu yang lain, dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu”. Seperti: wudhu adalah  syarat bagi sahnya sholat apabila ada wudhu maka sholatnya sah, namun adanya wudhu belom pasti adanya sholat, adanya pernikahan merupakan syarat adanya talaq, jika tidak ada pernikahan maka tentu saja talaq tidak akan terjadi.
Para ulama Ushul Fiqh membagi syarat kepada dua macam:
Ø  Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari’at sendiri. Contoh,semua syarat yang ditetapkan olh syar’i dalam perkawinan, jual beli,hibah, dan wasiat.
Ø  Syarat ja’li, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu sendiri. Cotoh Syarat yang ditetapkan suami untuk menjatuhkan talaq kepada istrinya  dan ketetapan majikan untuk memerdekakan budaknya. Artinya jatuhnya talaq atau merdeka itu tergantung pada  adanya syarat, tidak adanya syarat pasti tidak akan  ada talaq atau merdeka. Bentuk kalimat talak adalah sebab timbulnya talaq, tetapi jika telah memenuhi syarat.  [14]
                                        
                      
3.        Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah sesuatu yang adannya meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Dalam suatu masalah, kadang sebab syara’ sudah jelas dan memenuhi syarat-syaratnya, tetapi ditemukan adanya mani’ (penghalang) yang menghalangi konsekuensi hukum atas masalah tersebut. Sebuah akad misalnya dianggap sah bilamana telaah memenuhi syarat-syaratnya dan akad yang itu mempunyai akibat hukumselama tidak terdapat padanya suatu penghalang(mani’). Misalnya akad perkawinan yang sah karena telah mncukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris-mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang jika suami membunuh istrinya atau sebaliknya. Di dalam sebauah hadist dijelaskan bahwa tidak ada waris-mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
Para ahli ushul fiqh membagi mani’ kepada dua macam:
Ø  Mani’ al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan srari’at sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haidnya wanita itu merupakan mani’ bagi kecakapan wanita untuk melakukan sholat, oleh karena itu sholat tidak wajib dilakukannya pada waktu haid.
Ø  Mani’ as-sabab, yaitu suatu yag ditetapkan syariat sbagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun jika pemilik harta itu dalam keadaan berhutang dimana hutang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fiqih keadaan berhutang itu menjadi mani’ bagi wajib zahat pada harta yang dimilikinya itu. Dalam hal ini, keadaan berhutang telah mnghilangkan predikat orang kaya sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta.
IV.     KESIMPULAN

1.        Hukum syara’ adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
2.        Hukum Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
3.        Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Hukum Taklifi ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu wajib,mandub, haram, makruh, mubah.
4.        Hukum Wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (mani’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Hukum wadh’i dibagi menjadi tiga, yaitu sebab, syarat, mani’.
V.              PENUTUP
Demikian  makalah yang dapat kami paparkan tentang hukum syar’i, semoga bermanfa’at bagi pembaca pada umumnyadan pada kami pada khususnya. Dan tentunya makalah  ini tidak lepas dari kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat kami butuhkan, guna memperbaiki makalah selanjutnya.


Ingin Mendapatkan Materi ini? Silahkan Download melalui Link dibawah ini:




Belum ada Komentar untuk "MATERI FIQIH KELAS 12 : HUKUM SYAR'I"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar terbaik Anda...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel