HUKUM CALO DALAM ISLAM

MUHAMMAD ROFIUDIN Para Calo atau makelar banyak dijumpai di tengah-tengah masyarakat, mereka mampu meraup pundi-pundi kekayaan lewat profesi ini. Selama ini, terkesan di masyarakat bahwa calo ketika bekerja hanya mengejar keuntungan pribadi, walau kadang harus berbohong kepada konsumen. Bagaimana sebenarnya Islam memandang pekerjaan ini, halal atau haram?  bagaimana cara menentukan upah bagi mereka? Dan apa saja yang dilarang dalam dunia percaloaan tersebut? Tulisan di bawah ini menjelaskannya secara global

Pengertian Calo

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Calo adalah orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah. Sedangkan makelar adalah perantara perdagangan antara pembeli dan penjual, atau orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli. Bisa juga diartikan sebagai orang atau badan hukum yang berjual beli sekuritas atau barang untuk orang lain atas dasar komisi.  Dalam bahasa Arab, calo sering disebut dengan simsarah.

Dalil Kebolehannya

Calo dibolehkan dalam Islam dengan syarat-syarat tertentu. Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :

Pertama : Firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang beriman sempurnakanlah akad-akad ( janji-janji) kalian “ (Qs. al-Maidah : 1)

Pada ayat di atas, Allah  memerintahkan orang-orang beriman untuk menyempurnakan akad –akad, termasuk di dalamnya menyempurnakan perjanjian seorang pedagang dengan calo.

      Kedua : Hadist riwayat Qais bin Abi Gorzah, bahwasanya ia berkata  :

كُنَّا نُسَمَّى فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - السَّمَاسِرَةَ ، فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ ، فَقَالَ : " يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ ! إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ

     “Kami pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam disebut dengan “samasirah“ (calo/makelar), pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo, beliau bersabda : “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang diselingi dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah (palsu), maka perbaikilah dengan (memberikan) sedekah“ (Shahih, HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)  

       Hadist di atas menunjukkan bahwa pekerjaan calo sudah ada sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalam, dan beliau tidak melarangnya, bahkan menyebut mereka sebagai pedagang.

      Ketiga: Calo adalah pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat, karena ada sebagian masyarakat yang sibuk, sehingga tidak bisa mencari sendiri barang yang dibutuhkan, maka dia memerlukan calo untuk mencarikannya. Sebaliknya, sebagian masyarakat yang lain, ada yang mempunyai barang dagangan, tetapi dia tidak tahu cara menjualnya, maka dia membutuhkan calo untuk memasarkan dan menjualkan barangnya.

Cara Menentukan Upah Calo

Para ulama membolehkan seorang calo untuk mengambil upah dari pedagang atau pembeli atau dari keduanya. Walaupun sebagian ulama mengatakan bahwa upah calo diambil dari pedagang, dan ini berdasarkan kebiasaan di pasar pada waktu itu. Berkata Imam Nawawi : “Upah calo dibayar oleh pemilik barang yang memintanya untuk menjualkan barangnya.”

     Apakah Upah Calo Boleh Dalam Bentuk Prosentasi ?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat berdasarkan perbedaan mereka dalam memandang status upah calo ini apakah termasuk dalam akad Ju’alah (semacam sayembara berhadiah), atau akad ijarah (sewa-menyewa) dalam hal ini menyewa tenaga calo, atau akad wakalah (perwakilan)?

Pendapat Pertama : Mayoritas ulama menyatakan bahwa upah calo harus jelas nominalnya, seperti Rp. 500.000,- atau Rp. 1.000.000,-  dan tidak boleh dalam bentuk prosentasi, seperti dapat 10 % dari hasil penjualan.

Alasan mereka, bahwa upah calo masuk dalam katagori Ju’alah, dan syarat Ju’alah harus jelas hadiah atau upahnya.  Hal ini berdasarkan hadist Abu Sa’id al-Khudri yang menyatakan :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اسْتِئْجَارِ الْأَجِيرِ حَتَّى يُبَيَّنَ لَهُ أَجْرُهُ

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang seseorang menyewa seorang pekerja sampai menjelaskan jumlah upahnya“ (HR. Ahmad)

Pendapat Kedua : Madzhab Hanabilah membolehkan seseorang memberikan upah kepada calo dalam bentuk prosentase. Berkata al-Bahuti di dalam Kasyaf al-Qina’ (11/ 382) :

“ Kalau seseorang memberikan hamba sahayanya atau kendaraannya  kepada orang yang bisa mempekerjakannya dengan imbalan upah dari sebagian hasilnya, maka dibolehkan. Begitu juga dibolehkan  jika dia memberikan baju kepada yang bisa menjahitnya, atau  kain kepada yang bisa menenunnya dengan imbalan upah dari sebagian keuntungannya.”

Mereka berdalil dengan hadist Amru bin ‘Auf bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

  الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

"Seorang muslim itu terikat kepada syarat yang telah disepakatinya, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dan berkata Tirmidzi : Hadist ini hasan shohih)

Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Abbas : “Tidak mengapa seseorang berkata kepada temannya,: “Jual-lah baju ini, bila kamu bisa menjual dengan harga lebih dari sekian dan sekian, maka itu untukmu"

Begitu juga dikuatkan dengan perkataan Ibnu Sirrin : “Bila seseorang berkata kepada temannya : "Jual-lah barang ini dengan harga sekian, jika ada keuntungan, maka itu untukmu atau untuk kita berdua, maka hal itu dibolehkan.”

Calo Yang Dilarang

Adapun calo yang dilarang dalam Islam adalah sebagai berikut :

Pertama : Jika dia berbuat sewenang-wenang kepada konsumen dengan cara menindas, mengancam, dan mengintimidasi. Sebagaimana yang sering dilakukan oleh sebagian calo tanah yang akan dibebaskan dan ticket bis pada musim lebaran.

Kedua : Berbuat curang dan tidak jujur, umpamanya dengan tidak memberikan informasi yang sesungguhnya baik kepada penjual maupun pembeli yang menggunakan jasanya.

Ketiga : Calo yang memonopoli suatu barang yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak, dan menaikkan harga lebih tinggi dari harga aslinya, seperti  yang dilakukan oleh calo-calo ticket kereta api pada musim liburan dan lebaran.

Keempat : Pegawai negeri maupun swasta yang sudah mendapatkan gaji tetap dari kantornya, kemudian mendapatkan tugas melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk suatu proyek   dan mendapatkan uang fee karenanya. Maka uang fee tersebut haram dan termasuk uang grativikasi yang dilarang dalam Islam dan dalam hukum positif di Indonesia.

Kelima : Para pengusaha kota yang mendatangi pedagang dan petani di desa-desa dan membeli barang mereka dengan harga murah dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka terhadap harga-harga di kota, dan kadang disertai dengan tekanan dan pemberian informasi yang menyesatkan.  Wallahu A’lam 

Bekasi, 9 Shofar 1434/ 23 Desember 2012

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

Belum ada Komentar untuk "HUKUM CALO DALAM ISLAM"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar terbaik Anda...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel