MATERI FIQIH KELAS 12 : MURADIF, MUSYTARAK, MUTHLAQ dan MUQAYYAD
Rabu, September 06, 2017
Tambah Komentar
MURADIF, MUSYTARAK, MUTHLAQ dan MUQAYYAD
A. Pendahuluan
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya antara lain sebagai Hudan Linnasi dan sebagai kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (Q.S Ibrahim : 1)
Al-Qur’an merupakan sebagai pusat ajaran Islam. Kitab suci yang menempatkan posisi sebagai sentral, bukan saja dalam perkembangan ilmi-ilmu ke Islaman, tetapi juga sebagai inspirator, pemandu dan pemadu dalam gerakan-gerakan umat Islam sepanjang abad empat belas abad silam. Jika demikian, pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsiran dan pendalaman ilmu kebahasaan, mempunyai peranan penting bagi maju-mundurnya umat Islam terlebih dalam konteks masa kini guna memberikan solusi terhadap problematika umat yang semakin menggelobal.
Oleh karena itu, makalah kecil ini akan mencoba memberikan sedikit wawasan tentang bagaimana memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang “Muradhif dan Musytarak” dan ketentuan-ketentuan hukumnya.
B.Pembahasan
MURADHIF DAN MUSYTARAK
1. Muradhif
Lafal Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna
Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’. Kaidah para Jumhur ulama sebagai beriku:
ايقاع كل من المرادفين مكان الاخر يجوز اذا لم يقم عليه طالع شرعي
Artinya: Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara’.
Al-Qu’ran semenjak di turunkanNya hingga datangnya hari Akhir senantiasa terjaga sebagaimana pertama diturunkan-nya, tidak pernah ada ralat, tidak perlu dikritisi, tidak memerlukan edisi revisi, ataupun pengurangan kosakata, begitu sangat sempurna, Dia-lah Allah yang akan menjaga keutuhannya sepanjang masa, yang telah menurunkan-nya juga kepada Nabinya Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam melalui delegasi terpercanya Malaikat Jibril Alaihi-Salam. Maka karena itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Namun dalam lafal ibadah seperti takbir shalat, Malikiyah berpendapat dan menyatakan bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali kaliamat “Allahu Akbar”, sedang Imam Syafi’i hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Abu Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal dengannya, misalnya kalimat ”Allahul A’djom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.
Hukum Muradhif
Menurut jumhur ulama meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari syara’. Pendapat lain mengatakan bahwa diperbolehkan asal masih satu bahasa. Tentang lafal Qur’an tidak ada perbedaan pendapat lagi bahwa kita harus membaca lafal-lafal itu sendiri.
2. Musytarak
Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja اشترك yang berarti “bersekutu” seperti dalam ungkapan اشترك القوم yang berarti “kaum itu bersekutu”. Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama ushul merumuskan pengertian musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah anatara lain:
اللفظ الواحد الدال على معنيين مختلفين اواكثر دلالة على السوأ عند اهل تلك اللغ
Artinya: “Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:
لفظ يتناول افرادا مختلفة الحدود على سبيل البدل
Artinya: “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian”
Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata قرء yang dalam pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidh, lafadz عين bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata “"يد musytarak antara tangan kanan dan kiri, kata سنة dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi.
a. Sebab-Sebab Terjadinya Lafadz Musytarak
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa arab sangat banyak sekali, namun ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara lain sebagai berikut :
1. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد , dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti “hasta secara sempurna” (كله ذراع). Satu kabilah untuk menunjukkan (الساعدوالكف). Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus “telapak tangan”.
2. Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan تردد) ) antara makna hakiki dan majaz.
3. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan تردد)) antara makna hakiki dan makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz الصلاة yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita ma’lumi.
b. Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak
Apabila dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :
a. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut.
c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.
c. Contoh-contoh Lafadz Musytarak
Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yaitu:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Lafadz المحيض dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehinnga yang dimaksud lafadz المحيض diatas adalah bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).
Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 228 sebagai berikut:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Lafadz quru’ dalam pemakain bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetaui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru’ tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadz tsalatsah adalah lafadz yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidh. Sebab jika lafadz quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).
Dalam surat Al-Baqarah ayat 229:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu “melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa yang berarti “melepaskan tali ikatan secara mutlaq”. Seperti dalam hal lain. “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadz الصلاة pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini contoh lafadz الصلاة yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah dalam surata Al-Ahzab ayat 56:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Lafadz الصلاة pada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena الصلاة dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.
C.Kesimpulan dan Penutup
Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna, jumhur ulama’ menyatakan bahwa mendudukan dua muradif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh pembuat syara’.
Sedangkan Musytarak lafal yang mempunyai dua makna atau lebih dan jumhur ulama memperbolehkan penggunaan musyatrak menurut arti yang dikehendaki atau berbagai makna sesuai proporsinya.
Penjelasan mengenai kaidah-kaidah tersebut sangat diperlukan guna menggali dan menetapkan suatu hukum yang bersumber dari nash-nash.
Dari penjelasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalil-dalil yang terkandung didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman/penjelasan yang jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya. Skema dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an.
MUTHLAQ dan MUQAYYAD
A. Pengertian Muthlaq
Muthlaq adalah lafaz yang menunjukkan suatu hakikat tanpa sesuatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjuk kepada satu individu tidak tertentu dari hakikat tertentu. Lafaz mutlak ini pada umumnya berbentuk lafaz naqirah dalam konteks kalimat positif.
1. Contoh-Contoh Muthlaq
firman Allah berikut ini :
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.” (QS al-Mujâdalah, 58: 3)
Lafazh “raqabah” (hamba sahaya) termasuk lafazh muthlaq yang mencakup semua jenis raqabah (hamba sahaya) tanpa diikat atau dibatasi sesuatu yang lain. Maksudnya bisa mencakup raqabah laki-laki atau perempuan, beriman atau tidak beriman. Jika dilihat dari segi cakupannya, maka lafazh muthlaq adalah sama dengan lafazh ‘amm(umum). Namun keduanya tetap memiliki perbedaan yang prinsip, yaitu lafazh ‘amm mempunyai sifat syumûliy (melingkupi) atau kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuan-satuan, sedangkan keumuman dalam lafazh muthlaq bersifat badaliy (pengganti) dari keseluruhan dan tidak berlaku atas satuan-satuan tetapi hanya menggambarkan satuan yang meliputi.
Hukum yang datang dari ayat yang berbentuk muthlaq, harus diamalkan berdasarkan kemuthlaq-annya, sebagaimana QS al-Mujadalah, 58: 3 di atas. Dengan demikian kesimpulan hukumnya adalah bahwa “seorang suami yang men-zhihar isterinya kemudian ingin menarik kembali ucapannya, maka wajib memerdekakan hamba sahaya, baik yang beriman ataupun yang tidak beriman”.
B. Pengertian Muqayyad
Muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan suatu hakikat dengan qayid (batasan),seperti kata-kata “raqabah” (budak) yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat QS. An-Nisa:92).
Hendaklah pembunuh itu memerdekakan budak yang beriman QS. An-Nisa).
1. Contoh- Contoh Muqayyad
lafazh “raqabah mukminah” (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS an-Nisâ’, 4: 92)
Kata “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini memakai qayid atau ikatan yaitu mu’minah. Maka ketentuan hukum dari ayat ini ialah siapa pun yang melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja, maka dikenai denda atau diyat, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Oleh karena itu, setiap ayat yang datang dalam bentuk muqayyad, maka harus diamalkan berdasarkan qayid yang menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.
C. Macam-Macam Muthlaq dan Muqayyad dan Status
Mutlaq dan Muqayyad mempunyai bentuk-bentuk ‘aqliyah, dan sebagian realitas bentuknya kami kemukakan berikut ini :
1. Sebab dan hukum yang ada dalam muthlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad. Contohnya : puasa untuk kafarah sumpah.
2. Sebab sama namun hukum berbeda, seperti kata tangan dalam wudhu dan tayamum. Membasuh tangan dalam berwudhu dibatasi sampai dengan siku. Allah berfirman :
· Ayat muthlaq :
QS al-Mâidah, 5: 6 tentang tayammum, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Lafazh “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk muthlaq karena tidak ada lafazh lain yang mengikat lafazh “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi s.a.w. yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.
· Ayat Muqayyad:
ٍَQS al-Mâidah, 5: tentang wudhu’, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ…
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
Lafazh “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafazh yang mengikatnya yaitu “ilâ al-marâfiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat muthlaq yang sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat muthlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat muthlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dengan demikian ayat muthlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3. Sebab berbeda tetapi hukumnya sama. Contoh:
a. Muthlaq
QS al-Mujâdalah, 58: 3 tentang kafârah zhihar yang dilakukan seorang suami kepada isterinya.
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Lafazh “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah zhihâr ini berbentuk muthlaq karena tidak ada lafazh yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-zhihâr isterinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.
b. Muqayyad
QS an-Nisâ’, 4: 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) yang tidak sengaja, yaitu :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلاَّ خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, mka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Lafazh “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafazh “mu’minah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafârah zhihâr dan yang lain kafârah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat muthlaq berjalan berdasarkan kemuthlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.
A. Pendahuluan
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya antara lain sebagai Hudan Linnasi dan sebagai kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (Q.S Ibrahim : 1)
Al-Qur’an merupakan sebagai pusat ajaran Islam. Kitab suci yang menempatkan posisi sebagai sentral, bukan saja dalam perkembangan ilmi-ilmu ke Islaman, tetapi juga sebagai inspirator, pemandu dan pemadu dalam gerakan-gerakan umat Islam sepanjang abad empat belas abad silam. Jika demikian, pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsiran dan pendalaman ilmu kebahasaan, mempunyai peranan penting bagi maju-mundurnya umat Islam terlebih dalam konteks masa kini guna memberikan solusi terhadap problematika umat yang semakin menggelobal.
Oleh karena itu, makalah kecil ini akan mencoba memberikan sedikit wawasan tentang bagaimana memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang “Muradhif dan Musytarak” dan ketentuan-ketentuan hukumnya.
B.Pembahasan
MURADHIF DAN MUSYTARAK
1. Muradhif
Lafal Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna
Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’. Kaidah para Jumhur ulama sebagai beriku:
ايقاع كل من المرادفين مكان الاخر يجوز اذا لم يقم عليه طالع شرعي
Artinya: Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara’.
Al-Qu’ran semenjak di turunkanNya hingga datangnya hari Akhir senantiasa terjaga sebagaimana pertama diturunkan-nya, tidak pernah ada ralat, tidak perlu dikritisi, tidak memerlukan edisi revisi, ataupun pengurangan kosakata, begitu sangat sempurna, Dia-lah Allah yang akan menjaga keutuhannya sepanjang masa, yang telah menurunkan-nya juga kepada Nabinya Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam melalui delegasi terpercanya Malaikat Jibril Alaihi-Salam. Maka karena itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Namun dalam lafal ibadah seperti takbir shalat, Malikiyah berpendapat dan menyatakan bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali kaliamat “Allahu Akbar”, sedang Imam Syafi’i hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Abu Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal dengannya, misalnya kalimat ”Allahul A’djom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.
Hukum Muradhif
Menurut jumhur ulama meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari syara’. Pendapat lain mengatakan bahwa diperbolehkan asal masih satu bahasa. Tentang lafal Qur’an tidak ada perbedaan pendapat lagi bahwa kita harus membaca lafal-lafal itu sendiri.
2. Musytarak
Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja اشترك yang berarti “bersekutu” seperti dalam ungkapan اشترك القوم yang berarti “kaum itu bersekutu”. Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama ushul merumuskan pengertian musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah anatara lain:
اللفظ الواحد الدال على معنيين مختلفين اواكثر دلالة على السوأ عند اهل تلك اللغ
Artinya: “Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:
لفظ يتناول افرادا مختلفة الحدود على سبيل البدل
Artinya: “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian”
Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata قرء yang dalam pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidh, lafadz عين bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata “"يد musytarak antara tangan kanan dan kiri, kata سنة dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi.
a. Sebab-Sebab Terjadinya Lafadz Musytarak
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa arab sangat banyak sekali, namun ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara lain sebagai berikut :
1. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد , dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti “hasta secara sempurna” (كله ذراع). Satu kabilah untuk menunjukkan (الساعدوالكف). Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus “telapak tangan”.
2. Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan تردد) ) antara makna hakiki dan majaz.
3. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan تردد)) antara makna hakiki dan makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz الصلاة yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita ma’lumi.
b. Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak
Apabila dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :
a. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut.
c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.
c. Contoh-contoh Lafadz Musytarak
Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yaitu:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Lafadz المحيض dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehinnga yang dimaksud lafadz المحيض diatas adalah bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).
Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 228 sebagai berikut:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Lafadz quru’ dalam pemakain bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetaui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru’ tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadz tsalatsah adalah lafadz yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidh. Sebab jika lafadz quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).
Dalam surat Al-Baqarah ayat 229:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu “melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa yang berarti “melepaskan tali ikatan secara mutlaq”. Seperti dalam hal lain. “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadz الصلاة pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini contoh lafadz الصلاة yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah dalam surata Al-Ahzab ayat 56:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Lafadz الصلاة pada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena الصلاة dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.
C.Kesimpulan dan Penutup
Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna, jumhur ulama’ menyatakan bahwa mendudukan dua muradif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh pembuat syara’.
Sedangkan Musytarak lafal yang mempunyai dua makna atau lebih dan jumhur ulama memperbolehkan penggunaan musyatrak menurut arti yang dikehendaki atau berbagai makna sesuai proporsinya.
Penjelasan mengenai kaidah-kaidah tersebut sangat diperlukan guna menggali dan menetapkan suatu hukum yang bersumber dari nash-nash.
Dari penjelasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalil-dalil yang terkandung didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman/penjelasan yang jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya. Skema dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an.
MUTHLAQ dan MUQAYYAD
A. Pengertian Muthlaq
Muthlaq adalah lafaz yang menunjukkan suatu hakikat tanpa sesuatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjuk kepada satu individu tidak tertentu dari hakikat tertentu. Lafaz mutlak ini pada umumnya berbentuk lafaz naqirah dalam konteks kalimat positif.
1. Contoh-Contoh Muthlaq
firman Allah berikut ini :
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.” (QS al-Mujâdalah, 58: 3)
Lafazh “raqabah” (hamba sahaya) termasuk lafazh muthlaq yang mencakup semua jenis raqabah (hamba sahaya) tanpa diikat atau dibatasi sesuatu yang lain. Maksudnya bisa mencakup raqabah laki-laki atau perempuan, beriman atau tidak beriman. Jika dilihat dari segi cakupannya, maka lafazh muthlaq adalah sama dengan lafazh ‘amm(umum). Namun keduanya tetap memiliki perbedaan yang prinsip, yaitu lafazh ‘amm mempunyai sifat syumûliy (melingkupi) atau kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuan-satuan, sedangkan keumuman dalam lafazh muthlaq bersifat badaliy (pengganti) dari keseluruhan dan tidak berlaku atas satuan-satuan tetapi hanya menggambarkan satuan yang meliputi.
Hukum yang datang dari ayat yang berbentuk muthlaq, harus diamalkan berdasarkan kemuthlaq-annya, sebagaimana QS al-Mujadalah, 58: 3 di atas. Dengan demikian kesimpulan hukumnya adalah bahwa “seorang suami yang men-zhihar isterinya kemudian ingin menarik kembali ucapannya, maka wajib memerdekakan hamba sahaya, baik yang beriman ataupun yang tidak beriman”.
B. Pengertian Muqayyad
Muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan suatu hakikat dengan qayid (batasan),seperti kata-kata “raqabah” (budak) yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat QS. An-Nisa:92).
Hendaklah pembunuh itu memerdekakan budak yang beriman QS. An-Nisa).
1. Contoh- Contoh Muqayyad
lafazh “raqabah mukminah” (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS an-Nisâ’, 4: 92)
Kata “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini memakai qayid atau ikatan yaitu mu’minah. Maka ketentuan hukum dari ayat ini ialah siapa pun yang melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja, maka dikenai denda atau diyat, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Oleh karena itu, setiap ayat yang datang dalam bentuk muqayyad, maka harus diamalkan berdasarkan qayid yang menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.
C. Macam-Macam Muthlaq dan Muqayyad dan Status
Mutlaq dan Muqayyad mempunyai bentuk-bentuk ‘aqliyah, dan sebagian realitas bentuknya kami kemukakan berikut ini :
1. Sebab dan hukum yang ada dalam muthlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad. Contohnya : puasa untuk kafarah sumpah.
2. Sebab sama namun hukum berbeda, seperti kata tangan dalam wudhu dan tayamum. Membasuh tangan dalam berwudhu dibatasi sampai dengan siku. Allah berfirman :
· Ayat muthlaq :
QS al-Mâidah, 5: 6 tentang tayammum, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Lafazh “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk muthlaq karena tidak ada lafazh lain yang mengikat lafazh “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi s.a.w. yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.
· Ayat Muqayyad:
ٍَQS al-Mâidah, 5: tentang wudhu’, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ…
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
Lafazh “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafazh yang mengikatnya yaitu “ilâ al-marâfiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat muthlaq yang sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat muthlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat muthlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dengan demikian ayat muthlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3. Sebab berbeda tetapi hukumnya sama. Contoh:
a. Muthlaq
QS al-Mujâdalah, 58: 3 tentang kafârah zhihar yang dilakukan seorang suami kepada isterinya.
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Lafazh “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah zhihâr ini berbentuk muthlaq karena tidak ada lafazh yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-zhihâr isterinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.
b. Muqayyad
QS an-Nisâ’, 4: 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) yang tidak sengaja, yaitu :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلاَّ خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, mka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Lafazh “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafazh “mu’minah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafârah zhihâr dan yang lain kafârah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat muthlaq berjalan berdasarkan kemuthlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.
Ingin Mendapatkan Materi ini? Silahkan Download melalui Link dibawah ini:
Belum ada Komentar untuk "MATERI FIQIH KELAS 12 : MURADIF, MUSYTARAK, MUTHLAQ dan MUQAYYAD"
Posting Komentar
Tinggalkan komentar terbaik Anda...