MAKALAH BIOGRAFI SINGKAT, PEMIKIRAN DAN KARYA KH. AHMAD DAHLAN


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar dan terpenting yang ada di Indonesia. Menyebut Muhammadiyah yang berdiri pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M di Yogyakarta, tidak terlepas dari nama pendirinya, KH.Ahmad Dahlan.
KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi islam berikut dengan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial budaya dan kesehatan, dengan tujuan “menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Alasan berdirinya Muhammadiyah yaitu: tidak murninya Islam di Indonesia, pendidikan Islam tidak maju, kemiskinan rakyat, adanya misi Kristen, umat islam bersifat fanatisme sempit, taklid buta, masih diwarnai konservartisme, formalisme dan tradisionalisme.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah hidup dan pemikiran KH Ahmad Dahlan?
2.      Bagaimana KH Ahmad Dahlan memperoleh pendidikan?
3.      Apa saja karya dan pemikirannya?
4.      Usaha apa saja dalam mengenbangkan lembaga yang didirikannya?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui sejarah hidup dan pemikiran KH Ahmad Dahlan
2.      Mengetahui darimana KH Ahmad Dahlan memperoleh pendidikan
3.      Memahami dan mampu menjelaskan karya dan pemikirannya
4.      Mengetahi usaha apa saja yang dilakukan KH Ahmad Dahlan dalam mengenbangkan lembaga yang didirikannya.


PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan
KH. Ahmad Dahlan lahir dikampung Kauman, Yogyakarta, pada tanggal 1 agustus 1868. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara. Adapun saudara Muhammad Darwis menurut urutannya adalah 1)  Nyai Chatib Arum, 2) Nyai Muhsinah (Nur), 3) Nyai H Sholeh, 4) Muhammad Darwis (KH. Ahmad Dahlan), 5) Nyai Abdurrahman, 6) Nyai Muhammad Faqih (Ibu H. Ahmad Badawi), 7) Muhammad Basir,[1] dari seorang ayah bernama KH. Abu Bakar bin Kiai Sulaiman- seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu-dan seorang ibu bernama Siti Aminah puteri dari H Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta. Ahmad Dahlan semasa kecil dikenal dengan nama Muhammad Darwis.[2]
Ia lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat religius yang tinggi, yaitu masyarakata Kauman. Bahkan dalam catatan sejarah, setelah Masjid Agung Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat selesai dibangun, beberapa keraton yang ahli dalam masalah Islam diminta untuk tinggal disekitar masjid dan diseahi tugas untuk memelihara dan memakmurkannya.[3] Dari mereka inilah disebut-sebut sebagai cikal-bakal penduduk asli kampung Kauman. Maka sangat wajar jika Ahmad Dahlan tumbuh menjadi seorang yang ahli agama. Karena sejak kecil ia hidup dalam lingkunagn yang didasari agama yang sangat kuat.
Latar Belakang Pendidikan
1.      Belajar dari Home Schooling
Pada saat usianya memasuki usia sekolah, Muhammad Darwis tidak disekolahkan di sekolah formal, melainkan diasuh dan didik mengaji al-Quran dan dasar-dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah. pada usia delapan tahun ia telah lancer membaca al-Quran hingga khatam. Tidak hanya itu, ia juga mempunyai keahlian membuat barang-barang kerajinan dan mainan. Tapi, Dahlan kecil juga sangat senang bermain gasing dan laying-layang, seperti anak laki-laki pada umumnya.[4]
2.      Belajar dari Guru ke Guru
KH Ahmad Dahlan tidak pernah merasa puas hanya dengan belajar dengan satu guru. Berbagai guru dari beragam disiplin ilmu sudah ia temui. Guru-Guru KH. Ahmad Dahlan yaitu diantaranya:
a.       KH Abu Bakar (ayahnya)
b.      KH. Ahmad Sholeh (Kakak Iparnya)
c.       Ilmu Fiqih (KH. Muchsin)
d.      Ilmu Nahwu (KH. Abdul Hamid)
e.       Ilmu Falaq (KH. Raden Dahlan dan Syeck Misri Mekkah)
f.       Ilmu Fiqih dan Hadis (Kiai Mahfud)
g.      Ilmu Hadist (Syeck Khayyat dan Sayyid Babussijjil)
h.      Qiroatul Quran (Syeckh Amin dan Sayyid Bakri Syatha, Syekh Asyari Baceyan)
i.        Ilmu Pengobatan dan Racun (Syeck Hasan)
KH Ahmad Dahlan juga bertemu dan berdialog dengan ulama dalam negeri yang bermukim di Mekkah ketika berhaji, yaitu: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Kiai Nawawi Al-Bantatni, Kiai Mas Abdullah Surabaya, Kiai Faqih (Pondok Mas Kumambang) Gresik, Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, kiai Najrowi dari Banyumas.[5] Selama di Mekkah itu, seorang gurunya yang bernama Syekh Bakri Syatha memberikan nama baru kepada Muhammad Darwis, yaitu Ahmad Dahlan.[6]
Kitab-kitab yang beliau pelajari serta mengilhami kehidupan dan perjuangannya adalah:
1.      Ahlu - sunah wal jama’ah dalam ilmu aqaid
2.      Mazhab imam syafi’ie dalam ilmu fiqih
3.      Imam ghozali dalam ilmu tasawuf[7]
4.      Kitab Tauhid (Syeikh Muhammad Abduh)
5.      Kitab Tafsir Juz Amma (Syeikh Muhammad Abduh)
6.      Kitab Kanzul ‘Ulum (Gudang Ilmu-ilmu)
7.      Kitab Dairatul Maarif (Farid Wajdi)
8.      Kitab fil Bid’ah (Inbu Taimiyah), diantaranya adalah At-Tawasul Wasilah karya Ibnu Taimiyah
9.      Kitab Islam wan Nashraniyyah (Syeikh Muhammad Abduh)
10.  Kitab Izzharul Haqq (Rahmatullah al-Hindi)
11.  Kitab-kitab Hadist (Ulama Al-Hanbali)
12.  Kitab-kitab Tafsir al-Manar (Sayyid Rasyid Ridha) dan majalah Urwatus Wustqa
13.  Tafshilun Nasjatain Tashilus Sahadatain
14.  Matan al-Hikam Ibnu Athailah
15.  Al-Qashaid ath-thasyiah Abdullah al-Aththas, dan lain-lain.[8]
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari pernikahannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
            Di samping itu Ahmad Dahlan pernah menikah dengan Nyai Abdullah, janda dari H. Abdullah. Pernah juga menikah dengan Nyai Rumu (Bibi Prof. A. Kahar Muzakir) adik kanjengan Penghulu Cianjur, dan konon ia juga pernah menikah dengan Nyai Solikah putri kanjeng penghulu M. Syafii adiknya Kiai Yasin Pakualam Yogyakarta.[9]
B.     Usaha KH Ahmad Dahlan Pembaharuan Pemikiran Islam
            Pembaharuan dalam kehidupan keagamaan bisa berupa pemikiran maupun gerakan, sebagai reaksi atau tanggapan terhadap keyakinan dan urusan sosial umat islam. Ada dua kecenderungan pembaharuan, yaitu salafi yang mengutamakan pemurnian ibadah dan akidah dari bid’ah, khurahat, tahayul dan syirik, maupun kecenderungan kearag modernism. Kecenderungan kedua adalah  reformis/modernis, gerakan ini mengarah pada pembaharuan bidang pendidikan , politik, sosial, budaya, mengangkat harkat martabat kaum wanita.[10]
         KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 18 Nopember 1912 di Yogyakarta, yang bergerak dibidang keagamaan, pendidikan, sosial budaya dan kesehatan.[11] Muhammdiyah berdiri setelah organisasi islam sebelumnya tidak lagi menunjukkan aktifitasnya, yakni Jami’atul Khair (Didirikan oleh orang-orang Arab) dan Al-Irsyad (Keduanya hanya bergerak dibidang pendidikan). Sebelumnya pada 1909 KH Ahmad Dahlan juga memasuki perkumpulan Budi Utomo, satu-satunya organisasi yang ditata secara modern pada waktu itu. Ia mengharapkan agar ia dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggota perkumpulan itu, dan selanjutnya mereka akan meneruskannya ke kantor dan sekolah masing-masing. Demikian juga ia mengharapkan agar guru-guru yang telah mendengar ceramahnya selanjutnya menyampaikannya lagi kepada muridnya masing-masing.[12]
Ceramah Ahmad Dahlan kepada para anggota Budi Utomo mendapat tanggapan positif dan mereka menyarankan agar Ahmad Dahlan mendirikan sekolah yang teratur secara organisatoris dan sesuai dengan sekolah modern. Saran ini kemudian berhasil dipenuhi pada tahun 1911 dengan mendirikan sekolah dengan sistem sebagaiman sekolah Belanda, bukan lagi belajar di surau. Di sekolah ini, yang diajarkan bukan saja ilmu-ilmu agama, melainkan juga ilmu-ilmu umum seperti berhitung, ilmu bumi dan ilmu tubuh manusia. Murid perempuan-perempuan tidak lagi dipisahkan dari murid laki-laki, sebagaimana di surau-surau.[13]
Alasan berdirinya Muhammadiyah yaitu: tidak murninya Islam di Indonesia, pendidikan Islam tidak maju, kemiskinan rakyat, adanya misi Kristen, umat islam bersifat fanatisme sempit, taklid buta, masih diwarnai konservartisme, formalism dan tradisionalisme.
            Sebenarnya usaha pemabaruan KH. Ahmad Dahlan sudah dimulai sejak 1896, yaitu:
1.      Mendirikan surau dengan arah kiblat yang benar dan berlanjut membuat garis shaf di Masjid Agung, yang akibatnya tidak hanya garis shaf harus dihapus, tapi suraunya di bongkar.
2.      Menganjurkan supaya berpuasa menurut dan berhari raya menurut hisab
3.      Penolakan terhadap bid’ah dan khufarat
Menurut KH Ahmad Dahlan upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola pikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.
            Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajuan umat islam adalah kembali kepada al-Quran dan hadits. Mengarahkan umat pada pengembangan ajaran islam secara komprehensif, menguasai berbagai disiplin ilmu pegetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan. Kemudian Ahmad Dahlan secara pribadi merintis pembentukan sebuah sekolah yang memadukan pengajaran ilmu agama islam dan umum.[14]

C.    Resistensi dengan Kaum Tradisional dan Relasi dengan Organisasi Budi Utomo dan Syarekat Islam
Ahmad Dahlan mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih mendasar, seperti persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi, ide baru ini tidak begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan di serambi masjid besar karena mempersoalkan arah kiblat salat merupakan suatu hal yang sangat peka pada waktu itu. Ahmad Dahlan memerlukan waktu hampir satu tahun untuk menyampaikan masalah ini. Itu pun hanya terbatas pada para ulama yang sudah dikenal dan dianggap sepaham di sekitar Kampung Kauman. Pada satu malam pada tahun 1898, Ahmad Dahlan mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di surau milik keluarganya di Kauman.
Diskusi antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan berbagai kitab acuan ini berlangsung sampai waktu subuh, tanpa menghasilkan kesepakatan. Akan tetapi, dua orang yang secara diam-diam mendengar pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan para jemaah salat dzuhur waktu itu. Akibatnya, Kanjeng Kyai
Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu. Sebagai realisasi dari ide pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan yang merenovasi surau milik keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau tersebut ke arah kiblat yang sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural berbeda dengan arah masjid besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari untuk kegiatan Ramadhan, Ahmad Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng Penghulu untuk membongkar surau tersebut, yang tentu saja ditolak. Akhirnya, surau tersebut dibongkar secara paksa pada malam hari itu juga. Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun kembali surau tersebut sesuai dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil dibujuk oleh saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan membuat garis petunjuk di bagian dalam masjid.
Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan Ahmad Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai Khatib Amin semakin berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung para murid yang ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di Jawa Tengah.  Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja, dan orang tua yang telah lama berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya Ahmad Dahlan mengadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja yang berlangsung setiap malam Jum`at.[15]
Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.
Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah agama Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang secara langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau keterbelakangan penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial. Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal maupun formal antara Ahmad Dahlan dengan organisasi seperti : Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.
Secara personal Ahmad Dahlan mengenal organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan atau diskusi dengan Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di Yogyakarta yang mempunyai hubungan dekat dengan dr. Wahidin Sudirohusodo, salah seorang pimpinan Budi Utomo yang tinggal di Ketandan Yogyakarta. Melalui Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan berkenalan dengan dr. Wahidin Sudirohusodo secara pribadi dan sering menghadiri rapat anggota maupun pengurus yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di Yogyakarta walaupun secara resmi ia belum menjadi anggota organisasi ini. Setelah banyak mendengar tentang aktivitas dan tujuan organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan pribadi dan kehadirannya dalam pertemuan -pertemuan resmi, Ahmad Dahlan kemudian secara resmi menjadi anggota Budi Utomo pada tahun 1909.[16]
Dalam perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi anggota biasa, melainkan ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta. Sementara itu, pada sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab. Keterlibatan secara langsung di dalam Budi Utomo memberi pengetahuan yang banyak kepada Ahmad Dahlan tentang cara berorganisasi dan mengatur organisasi secara modern.
Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang Islam, ia juga mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model sekolah. Semua ini tentu saja merupakan suatu hal yang baru dan sangat berpengaruh bagi langkah-langkah yang dilakukan Ahmad Dahlan pada masa selanjutnya, seperti pendirian sekolah model Barat maupun pembentukan satu organisasi.
Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah organisasi. Ia sering memanfaatkan forum pertemuan pengurus maupun anggota Budi Utomo sebagai tempat untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam, bidang yang sangat ia kuasai. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai. Kepiawaian Ahmad Dahlan dalam menyampaikan informasi tentang agama Islam dalam berbagai pertemuan informal itu telah menarik perhatian para pengurus maupun anggota Budi Utomo yang sebagian besar terdiri dari pegawai pemerintah dan guru sehingga sering terjadi diskusi yang menarik di antara mereka tentang agama Islam.
Di antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah agama Islam adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu menjabat sebagai guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua orang guru ini Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis, setelah kepala sekolah setuju dan memberikan izin.  Pelajaran agama Islam di sekolah guru milik pemerintah itu diberikan di luar jam pelajaran resmi, yang biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu sore.
Dalarn mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun membaca Quran, Ahmad Dahlan menerapkan metode pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan siswa sehingga mampu menarik perhatian para siswa untuk menekuninya. Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa waktu pelajaran agama Is1am pada hari Sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab itu, beberapa orang siswa, termasuk mereka yang belum beragama Islam sering datang ke rumah Ahmad Dahlan di Kauman pada hari Ahad untuk bertanya maupun melakukan diskusi lebih lanjut tentang berbagai persoalan yang berhubungan dengan agama Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengalaman berorganisasi di Budi Utomo dan Jamiat Khair memberikan pelajaran kepada siswa Kweekschool dan didukung oleh perkembangan pendapat masyarakat umum pada waktu itu yang mulai menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana yang penting bagi kemajuan penduduk pribumi. Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan menyampaikan ide pendirian sekolah yang mengacu pada metode pengajaran seperti yang berlaku pada sekolah milik pemerintah kepada berbagai pihak, termasuk kepada para santri yang belajar di Kauman maupun penduduk Kauman secara umum. Sebagian besar dari mereka bersikap acuh tak acuh, bahkan ada yang secara tegas menolak ide pendidikan sistem sekolah tersebut karena dianggap bertentangan dengan tradisi dalam agama Islam.
Akibatnya, para santri yang selama ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu per-satu berhenti. Walaupun belum mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya, Ahmad Dahlan tetap berkeinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum. Sekolah tersebut dimulai dengan 8 orang siswa, yang belajar di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m dan ia bertindak sendiri sebagai guru. Keperluan belajar dipersiapkan sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri. Sementara itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan tulis dibuat dari kayu suren.
Delapan orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih setia, serta anak-anak yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ahmad Dahlan. Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya kecuali beberapa orang pemuda. Pada tahap awal proses belajar mengajar belum berjalan dengan lancar. Selain ada penolakan dan pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali, di samping ia terus mencari siswa baru. Seiring dengan pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan juga menambah meja dan bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi 20 orang.
Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan dengan anggota dan pengurus Budi Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool Jetis, Ahmad Dahlan mendapat dukungan yang besar. Di antara para pendukung itu adalah : Mas Raji yang menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R. Budiarjo yang menjadi guru di Kweekschool Jetis sangat membantu Ahmad Dahlan mengembangkan sekolah tersebut sejak awal.
R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi Utomo Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang penyelenggaraan sebuah sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis. Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk meminta subsidi kepada pemerintah jika sekolah yang didirikan itu sudah teratur, dengan dukungan dari Budi Utomo. Selain itu, pendirian sekolah itu juga mendapat dukungan dari kelompok terpelajar yang berasal dari luar Kauman serta para siswa Kweekschool Jetis yang biasa datang ke rumahnya pada setiap hari Ahad.
Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo, organisasi ini menempatkan Kholil, seorang guru di Gading untuk mengajar ilmu pengetahuan umum pada sore hari di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan. Oleh sebab itu, para siswa masuk dua kali dalam satu hari karena Ahmad Dahlan mengajar ilmu pengetahuan agama Islam pada pagi hari. Walaupun masih mendapat tantangan dari beberapa pihak, jumlah siswa terus bertambah sehingga Ahmad Dahlan harus memindahkan ruang belajar ke tempat yang lebih luas di serambi rumahnya.
Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang baru saja terbentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan.
D.    Sikap Kraton dan Reaksi Hindia Belanda Terhadap Berdirinya Muhammadiyah
Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan dukungan dalam rangka merealisasi ide pembentukan sebuah organisasi, Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan tersebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah difokuskan pada persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus organisasi yang akan dibentuk. Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan didapatkan beberapa ha1 yang berhubungan secara langsung dengan rencana pembentukan sebuah organisasi.
Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi mereka tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya larangan dari inspektur kepala dan anjuran agar pengurus supaya diambil dari orang-orang yang sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian perkumpulan baru tersebut. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan pembentukan sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih intensif, melalui pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit membicarakan dan merumuskan masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
            Walaupun secara praktis organisasi yang akan dibentuk bertujuan untuk mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih dahulu, akan tetapi dalam pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selanjutnya tujuan pembentukan organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan pengajaran agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran dasar organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu di Kweekscbool Jetis.
Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama "Muhammadiyah", nama yang berhubungan dengan nama nabi terakhir Muhammad SAW."' Berdasarkan nama itu diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman. Sementara itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung Kauman, yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M. Tamim untuk menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan formal Budi Utomo dalam proses permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembentukan Muhammadiyah.
Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan setelah melakukan shalat istikharah akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Dalam kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akan membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, maupun para pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh Budi Utomo secara resmi mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran dasar yang diajukan kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah merupakan organisasi yang bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra di Jawa dan Madura serta memajukan pengetahuan agama para anggotanya. Pada waktu itu terdapat 9 orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai kctua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam
E.     Karya-karya dan Lembaga yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan
1.      Sekolah Calon Guru, “Al-Qismul Arqa’”
2.      Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (Setaraf dengan Volkschool)
3.      Dalam buku Islamic Movement in Indonesia, yang diterbitkan Pusat ,Muhammadiyah, diungkapkan bahwa jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah dari TK-Perguruan Tnggi tidak kurang dari 9500 unit.[17]
4.      Mencetak selebaran berisi doa sehari-hari, jadwal sholat, jadwal puasa ramadhan, dan masalah agama islam lainnya.[18]
5.      Menerbitkan buku-buku meliputi masalah fiqih, akaid, tajwid, hadist, sejarah Para Nabi dan Rasul dan terjemahan ayat-ayat al-Quran mengenai akhlak dan hukum.
6.      Menerbitkan terjemahan bku-buku untuk pengajian tingkat lanjut bagi orang tua, seperti Maksiat Anggota yang Tujuh dari Ihyaul Ulumiddin karya Al- Ghazali.
7.      Terbitan lainnya yaitu, Rukuning Islan lan Iman, Aqaid, Salat, Asmaning Para Nabi kang selangkung, Nasab Dalem Sarta Putra Dalem Kanjeng Nabi, Sarat lan Rukuning Wudhu Tuwin salat,Rukun lan Bataling Shiyam, Bab Ibadah lan Maksiyating Nggota utawi Poncodriyo, serta tulisan syeikh Abdul Karim Amrullah di dalam sejarah Al-Munir yang di termahkan ke dalam bahasa jawa.[19]
8.      Panti Asuhan Yatim Piatu (PAYP), Khusus PAYP putra diasuh oleh Muhammadiyah, sedangkan PAYP putri diasuh oleh Aisyiah.
9.      Majlis Pembina Kesehatan dan Majlis Penegmbanagan Masyarakat.
10.  Ikatan Seniman dan Budayawan Muhammadiyah (ISBM), namun ada kendala dalam lemabag ini baik kurangnya dukungan dari ulama ataupun kondisi politik yang kurang kondusif. Namun, berdasarkan keputusan Munas tarjih ke-22 tahun 1995 ditetapkan bahwa seni hukumnya mubah selama tidak mengakibatkan kerusakan, bahaya, kedurhakaan, dan terjauhkan dari Allah.
11.  Majlis Ekonomi Muhammadiyah

Organisasi Otonom Muhammadiyah
1.      Aisyiah
2.      Pemuda Muhammadiyah
3.      Nasyiatul Aisyiah
4.      Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
5.      Ikatan Remaja Muhammadiyah
6.      Tapak Suci Putra Muhammadiyah
7.      Hizbul Wathon

F.     Usaha KH. Ahmad Dahlan dalam Mengatur Lembaga yang Didirikannya (Muhammadiyah)
Strategi yang dilakukan KH Ahmad Dahlan untuk mengatur Lembaga yang didirikannya ialah:[20]
1.      Semua bentuk kegiatan Muhammadiyah harus mengarah pada terlaksananya maksud dan tujuan persyarikatan dan menjalankan misi utama Muhammadiyah dengan sebaik-baiknya sebagai misi dakwah
2.      Pimpinan lembaga Muhammadiyah diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan persyarikatan dalam kurun waktu tertentu.
3.      Pimpinan Lemabga Muhammadiyah adalah anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian tertentu dibidang lembaga tersebut, agar yang bersangkutan memahami betul apa fungsi lembaga tersebut bagi persyarikatan dan bukan semata-mata untuk mencari nafkah
4.      Pimpinan lembaga Muhammadiyah berkewajiban melaporkan pengelolaan lembaga yang menjadi tanggung jawabnya.
5.      Usaha mendapat pengakuan Badan hukum dari Pemerintah.
6.      Untuk lembaga sekolah, metode pengajaran tidak hanya menekankan pemahaman secara teoritis namun juga sangat memperhatikan pada hal-hal yang bersifat praktis.

PENUTUP
Kesimpulan
KH. Ahmad Dahlan lahir dikampung Kauman, Yogyakarta, pada tanggal 1 agustus 1868. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara. Lahir di lingkungan sangat religius. Memperoleh pendidikan dengan cara homeschooling dan setelah dewasa menimba ilmu dari satu guru ke guru yang lain karena KH Ahmad Dahlan tidak pernah merasa puas hanya dengan satu guru.
            Mendirikan organisasi islam, Muhammadiyah pada 18 Nopember 1912 di Yogyakarta, berangkat dari keprihatinnanya pada islam di Indonesia yang terselubungi dengan syirik dan khufarat.
            Menurut KH Ahmad Dahlan upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola pikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.




DAFTAR PUSTAKA

Junus Salam, K.H Ahmad Dahlan dan Perjuangannya, (Tangerang: Al-Wasat Publising.2009).

Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan, Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah. (Jakarta: Best Media Umat,2010)
Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan (Surakarta: LPID Univ. Muhammadiyah Surakarta.2008)
Pembaruan Sosial Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2010).

Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995)
M. Sukardjo & Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya (Jakarta: Raja Grafindo Press,2009)

Majelis Diktiltbang dan LPI PP Muhammadiyah, Satu Abad Muhammadiyah; Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2010). H. 45
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
M. Sukardjo & Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya (Jakarta: Raja Grafindo Press,2009)


[1] Junus Salam, K.H Ahmad Dahlan dan Perjuangannya, (Tangerang: Al-Wasat Publising.2009). Hal. 57
[2] Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan, Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah. (Jakarta: Best Media Umat,2010). H. 49.
[3] Ibid. H. 50
[4] Ibid. H. 57
[5] Majelis Diktiltbang dan LPI PP Muhammadiyah, Satu Abad Muhammadiyah; Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2010). H. 17
[6] Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995). H. 97
[7] Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan, Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah. (Jakarta: Best Media Umat,2010). H. 61
[8] Junus Salam, K.H Ahmad Dahlan dan Perjuangannya, (Tangerang: Al-Wasat Publising.2009). Hal. 59
[9] http://www.muhammadiyah.or.id/ di akses 8 maret 2015
[10] Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan (Surakarta: LPID Univ. Muhammadiyah Surakarta.2008). H. 2
[11] Ibid. Hal 27
[12] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 94
[13] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 99
[14] M. Sukardjo & Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya (Jakarta: Raja Grafindo Press,2009). H. 112
[15] http://muhammadiyah.or.id// diakses 12 maret 2015
[16] Majelis Diktiltbang dan LPI PP Muhammadiyah, Satu Abad Muhammadiyah; Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2010). H. 21
[17] Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan (Surakarta: LPID Univ. Muhammadiyah Surakarta.2008). H. 153
[18] Majelis Diktiltbang dan LPI PP Muhammadiyah, Satu Abad Muhammadiyah; Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2010). H. 39
[19]Majelis Diktiltbang dan LPI PP Muhammadiyah, Satu Abad Muhammadiyah; Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2010). H. 45
[20] Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan (Surakarta: LPID Univ. Muhammadiyah Surakarta.2008). H. 206

Belum ada Komentar untuk "MAKALAH BIOGRAFI SINGKAT, PEMIKIRAN DAN KARYA KH. AHMAD DAHLAN"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar terbaik Anda...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel