Legenda Gunung Pegat Lamongan
Pada zaman Raja Majapahit Raden Wijaya, Lamongan sudah menjadi daerah strategis. Dalam naskah riwayat hari jadi Lamongan, dijelaskan bahwa sudah terdapat jalan purbakala yang menghubungkan pusat kerajaan di Trowulan dengan Kambang Putih (pelabuhan Tuban) yang berada di pesisir utara.
Diduga jalan purbakala tersebut mulai dari Desa Pamotan yang berada di selatan, Garung, Kadungwangi, Sumbersari, Pasarlegi, Ngimbang, Bluluk, Modo, Dradah terus ke utara hingga Gunung Pegat dan berakhir di utara tepatnya di Desa Pucakwangi di Babat. Pada zamannya, jalan purbakala ini ramai dilalui para saudagar, punggawa praja, prajurit hingga rakyat jelata.
Kondisi ini berpengaruh terhadap majunya perkembangan masyarakat di wilayah Lamongan bagian barat ketimbang warga yang hidup di Lamongan bagian timur. Kehidupan teratur masyarakat ini dapat dibuktikan dengan ditemukan banyaknya batu prasasti dan petilasan kuno di sepanjang jalan purbakala ini.
Sejarah Awal Lamongan
Terbentuknya Lamongan sebagai kabupaten tidak lepas dari santri kesayangan Sunan Giri II bernama Rangga Hadi, pemuda asal Desa Cancing, Ngimbang, Lamongan. Karena kecakapan ilmu agama yang dimiliki, Hadi ini lantas dipercaya untuk menyebarkan ajaran Islam ke barat Kasunanan Giri.
Berbeda dengan delapan wali lainnya, Sunan Giri dan Kasunanan Giri memiliki sistem monarki, sehingga putra dan keturunan Giri bisa menggunakan gelar Sunan Giri.
Dengan perbekalan, pengawalan dan seorang pembantu, Hadi berangkat melaksanakan perintah Sunan Dalem menyebarkan ajaran Islam di wilayah Lamongan. Rombongan penyebar agama Islam ini berangkat menyusuri Kali Lamong dengan naik perahu.
Perahu yang dinaiki Hadi akhirnya membawanya di sebuah tempat bernama Dukuh Srampoh, Pamotan, sebuah tempat yang berlokasi tidak jauh dari jalan purbakala Majapahit. Rombongan syiar Islam ini lantas melanjutkan perjalanan darat hingga sampai di Puncakwangi, yang sekarang masuk dalam desa di wilayah Babat.
Karena lokasi tersebut dianggap sesuai dengan pesan Sunan Giri, akhirnya Hadi mengabarkan bahwa dirinya sudah berada di tempat 'kali gunting' atau kali yang bercabang dua. Bertemunya hulu sungai-sungai kecil dari Desa Bluluk dan Modo yang mengalir ke hilir kali besar yang sekarang bernama Bengawan Solo.
Kedatangan Islam di daerah ini diterima cukup baik oleh masyarakat. Perkampungan Islam yang dibangun Hadi lambat laun berkembang cukup pesat. Namun di kemudian hari baru diketahui bahwa lokasi ini bukannya tempat dakwah yang dimaksud Sunan Giri II.
Seiring berkembangnya waktu, perjalanan syiar Islam Hadi berlanjut hingga Sunan Giri III. Karena keberhasilan sebelumnya dalam berdakwah, Hadi mendapat pangkat Rangga yang berarti pejabat.
Keberhasilan dan cara dakwah Rangga Hadi dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah Lamongan, membuatnya dicintai masyarakat. Kemudian warga menyematkan julukan Mbah Lamong lantaran sifat mengasuh dan melayani masyarakat yang benar-benar membekas.
Dalam perkembangannya, wilayah Lamongan menjadi incaran penjajah Portugis yang ingin menguasai pantai utara dan menjajah pulau Jawa. Kemudian Sunan Giri memandang wilayah Lamongan sebagai lokasi strategis namun rawan karena dilalui oleh Bengawan Solo yang mampu dilayari kapal pedagang maupun kapal perang penjajah.
Dengan pertimbangan matang, akhirnya Sunan Giri IV (Sunan Prapen) mengumumkan wilayah kerangga Lamongan ditingkatkan menjadi kadipaten pada tanggal 26 Mei 1569, Rangga Hadi lantas diwisuda menjadi adipati Lamongan pertama yang diberi gelar Tumenggung Surajaya. Rangga Hadi sendiri wafat tahun 1607.
Pusara Rangga Hadi berada di sebelah utara Musala Mbah Lamong yang berada di tengah permukiman penduduk. Terdapat jalan penghubung antara musala dengan makam Rangga Hadi yang berada di bangunan terkunci. Sementara itu di kompleks luarnya juga terdapat sejumlah makam tanpa tulisan di nisan.
Lokasi musala berada di pojok persimpangan antara Gang Kali Lamong dan Gang Kali Wungu, Kelurahan Tumenggungan, Kecamatan Lamongan, Lamongan, Jawa Timur. Menurut penuturan salah satu warga sekitar, Kayah, makam Mbah Lamong hanya akan dibuka di waktu-waktu tertentu, termasuk saat hari jadi Kota Lamongan yang tanggal penetapannya mengacu pada wisuda Rangga Hadi.
"Memang kalau ramai-ramai ya saat hari ulang tahun Lamongan, Bupati sama pejabat-pejabat suka ke sini," terangnya saat berbincang dengan merdeka.com baru-baru ini.
Hal ini juga dibenarkan oleh Chambali, perangkat desa Kelurahan Tumenggungan yang ditemui merdeka.com terpisah. Menurutnya selain di hari ulang tahun Lamongan, makam Mbah Lamong juga akan dibuka saat malam Jumat.
"Biasanya Mbah Mirsad (juru kunci) ikut membantu peziarah mengantarkan doa untuk Mbah Lamong," terang Chambali saat ditemui di kantor kelurahan.
Makam Mbah Lamong ini memang masuk dalam situs sejarah yang dirawat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Lamongan. Perawatan dilakukan secara berkala dari tahun ke tahun.
"Salah satu (situs yang dirawat) makam Tumenggung Surajaya, bupati Lamongan pertama. Dia disebut Mbah Lamong. Ini di zaman Sunan Giri, santrinya. Dia dari daerah Ngimbang, nyantri di Gresik. Setelah lulus dia menyebarkan ajaran Islam di barat, Lamongan," terang Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Lamongan Rudi Gumilar.
Legenda Gunung Pegat
Pada zaman kejayaan Kerajaan Majapahit, ada seorang Prawira sandi yang menikahi putri cantik yang bernama Ledung Sari. Sang Putri mempunyai permintaan jika mereka kelak jadi menikah ia ingin agar keduanya hidup dan membangun rumah tangga di pelosok pedesaan yang jauh dari hiruk-pikuk urusan perpolitikan. Permintaan sang putri Ledung Sari dikabulkan oleh Wira Sandi, namun Majapahit masih berharap walau ia jauh dari kerajaan Wira Sandi masih bisa menyempatkan diri untuk membantu dan memikirkan urusan kerajaan serta berbakti kepada Sang Prabu Raden Wijaya.
Setelah keduanya menikah, sepasang pengantin yang laki-laki ibarat Batara Kamajaya sedang yang perempuan bak Dewi Ratih lambang kecantikan dewa-dewi kayangan ini bermukim jauh dari kotaraja. Mereka berdua memilih lereng gunung Pucuk Wangi bagian selatan sebagai tempat membangun biduk rumah tangga, kearah barat daya dari pusat pemerintahan Majapahit. Kehidupan mereka berdua dihiasi warna-warni pelangi kebahagiaan, bahagia apa adanya, bahagia dengan alam yang telah dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Tanah yang subur, air yang jernih mengalir, dan hewan-hewan liar yang mencukupi kebutuhan hidup, bukan keserakahan dan nafsu tamak yang menghancurkan. harta benda bukan menjadi ukuran kebahagiaan, derajat serta pangkat tak lagi membius ambisi sepasang pengantin surga itu.
Dalam dagrasi kuning senja, puncak gunung Pucuk Wangi kelihatan cerah, udara sepoi-sepoi menyegarkan, saat itu Ledung Sari sedang berada di rumah berhias menunggu sang suami pulang dari sawah. Setelah matahari hampir tenggelam Wira Sandi datang dari pintu depan. Ledung Sari menyambut kedatangan suaminya dengan wajah yang cerah sambil menyapa, suaranya halus merdu bagai dewi Wara Sembadra, “Monggo langsung siram Kang Mas, meniko agemanipun gantos” ujar Ledung Sari sambil menyodorkan pakaian ganti untuk suami. “Ee lha dalah awak lungkrah sido dadi bungah, ngene iki diajeng” sambut Wira Sandi membalas ucapan istrinya.
“Lha kenging nopo toh Kang mas ?”
“Ya mergo awakmu cah ayu, kang dadi pepujaning atiku, Sedino ra ketemu prasasat kadya sewindu” sambung Wira Sandi sambil mencubit dagu sang istri.
Sambil tersipu malu Ledungsari menuju dapur, mempersiapkan makan malam buat suaminya yang seharian bekerja disawah.
Begitulah hari-hari kebagiaan sepasang suami istri yang hidup dalam kesederhanaan, makan dari apa yang ditanam, minum dari air sumber yang banyak terdapat di dekat tempat mereka tinggal, kehidupan yang penuh dengan harmoni dan cinta antara makhluk Tuhan.
Sejenak kita tinggalkan lokasi tempat tinggal Wira Sandi dan istrrinya. Gunung Pucuk Wangi ternyata tidak hanya dihuni oleh manusia saja, namun disitu hidup juga beragam hewan bahkan juga bangsa lelembut atau siluman. Di puncak gunung Pucuk Wangi tepatnya di dalam gua hiduplah sepasang naga siluman. Namanya Naga Diahulu. Wujudnya seperti hewan ular dalam mitologi Cina namun berkepala dua. Satu di depan dan satunya lagi dibagian ekornya. Naga Diahulu mempunyai dua sifat, yang bagian kepala agak tumpul warna hitam putih memiliki sifat naga perempuan. Ia sering disebut sebagai naga Wiling, sedang yang bagian ekor kepalanya agak lonjong dikenal dengan nama naga Wilang dan ia bersifat sebagai naga jantan. Walau naga Diahulu memiliki mulut selebar pintu kandang ternak, namun mangsa naga ini adalah embrio dari janin (bakalan nyawa) seperti telur, janin, dan makhluk hidup yang masih berupa embrio. Naga Diahulu paling senang memangsa bakal jabang bayi manusia yang masih dalam rahim sang ibu.
Kembali ke setting dimana dua sejoli Wira Sandi dan Ledung Sari tinggal, ada siang ada malam dan waktu pun terus berjalan hingga suatu saat keluarga kecil itu kehabisan bahan makanan yang menghajatkan untuk pergi ke pasar. Babat adalah tempat terdekat yang menjadi tujuan mereka untuk berbelanja. Selain itu telah lama juga mereka tidak melihat keramaian manusia yang saling berinteraksi di tempat yang mempertemukan segala macam dan model manusia. Di tempat itu berbagai barang keperluan pun tersedia, garam dari laut, asam dari gunung, perkakas-perkakas rumah tangga dari kota semua tumplek blek di tempat yang disebut pasar. Setelah selesai berbelanja Wira Sandi mengajak istrinya untuk sarapan pagi disebuah warung makan.
“Diajeng ayo sarapan dhisik”
Mereka berdua masuk disebuah warung yang agak luas. Penjualnya seorang perempuan paruh baya, kulitnya hitam manis, wajah sumringah, grapyak semanak mempersilahkan Wira Sandi untuk mencicipi menu yang telah disediakan.
”Monggo pinarak….. ingkang sekeco, ngersakne nopo toh mas ?” sambut si pemilik warung.
“Sarapan mbak Yu” jawab Wira Sandi pendek.
“Daharngagem lawuh menopo ? meniko wonten dendeng banteng, ugi urang watang, meniko jangan lodeh sambel jeruk purut” ujar perempuan itu menawarkan aneka masakan yang ada diwarungnya.
Di pojok ruangan warung, terlihat tiga orang laki-laki berwajah sangar berpakaian hitam-hitam, berkumis lebat memperhatikan Wira Sandi dan istrinya. Namun Wira Sandi tidak begitu memperhatikan. Setelah selesai makan Wira Sandi membayar kepada pemilik warung. Setelah selesai membayar Wira Sandi dan istrinya bergegas pulang, Wira Sandi memanggul belanja, sedang Ledung Sari berjalan di sampingnya. Mereka berdua berjalan lambat karena medannya yang menanjak. Siang itu langit tampak gelap, mendung hitam bergulung-gulung, di sudut-sudut cakrawala petir berkilat menyambar, tanda hujan akan segera turun. Wira Sandi kemudiaan berjongkok ke tanah dan mengambil sebongkah kecil tanah liat yang kering (brogalan) kemudian mengheningkan cipta memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
“Ojo pati ceblok banyu udan sakdurunge lemah sing tak gegem ceblok ning bumi pertiwi”
Tiba-tiba disebuah tikungan jalan yang sepi, melompatlah tiga orang berwajah sangar menghadang jalannya Wira sandi. “Heh ! mandek bondho opo nyawa ?” bentak salah seorang dari manusia asing itu. Ledung sari kaget dan merangkul suaminya. “Kakang…kakang aku wedi !!!”
Wira sandi segera tanggap bahwa ia sedang berhadapan dengan orang-orang yang bermaksud jahat.
Tiga orang berpenampilan sangar itu tertawa terbahak-bahak meledek Wira sandi.
“Hai ! tadi kau di pasar belum membayar !“
“Lha sudah kan, tadi saya mendapatkan uang kembali dari penjualnya” bela Wira Sandi
“Itu tadi kan membayar nasi, ini urusan pajak “
“Pajak Apa itu “ lanjut Wira Sandi heran.
“Ini urusan pajak belanja, pajak buat Negara”
“Sebentar-sebentar, Ki sanak ini siapa memang ?” Tanya Wira sandi
“Ha..ha..ha, ketahuilah, bahwa saya ini adalah pejabat Negara, sudah segera bayar, sebelum saya hukum kamu”.
Wira sandi bukan anak kemarin sore yang gentar akan gertakan, ia dengan tenang membalas ancaman itu dengan kata-kata ejekan.
“Lha ! Pejabat Negara kok mengakali rakyat kecil, ohh…dasar kalian adalah manusia-manusia hina”.
Mitos Gunung Pegat
Musim besaran atau Idul adha, warga sekitar gunung pegat biasa penen ayam hitam. Loh kok bisa? well, bulan Dzulhijjah memang musimnya orang nikahan, dan mereka yang akan melaksanakan pernikahan dengan menyeberangi/ melewati jalan ini biasanya membuang “syarat” seeekor ayam hitam di bukit ini.
Mitos ini entah kapan ada, namun mitosnya biar temanten yang asalnya di utara dan selatan/ dipisahkan oleh bukit ini harus memberikan sesaji agar langgeng pernikahannya.
Gunung pegat sebenernya adalah bukit kapur yang dikepras untuk dibuat jalan, yang masih masuk dalam perbukitan Kapur kendeng utara Jawa yang membentang dari Gresik- Lamongan- Tuban-sampai Ke Blora.
Lewat jalan ini jika malam tentunya agak serem, karena melewati jalur hutan, namun dengan jalanan sekarang yang lebih halus dan lebar daripada tahun 2001-an yang lalu dan sering diperbaiki membuat kesan seram hilang.
Jalan ini terletak diantara jalur Babat- Jombang, kalau dari arah Jombang, letaknya sehabis melewati kota Kecamatan Ngimbang. kalau dari arah Babat, setelah Dradah, Kedungpring/Kalen Lamongan.
Belum ada Komentar untuk "Legenda Gunung Pegat Lamongan"
Posting Komentar
Tinggalkan komentar terbaik Anda...