MATERI FIQIH KELAS 10 : PEREKONOMIAN DALAM ISLAM

Dalam kaidah ushul fiqh, dinyatakan bahwa asal atau pokok dalam masalah transaksi dan muamalah adalah sah sehingga ada dalil yang membatalkan dan yang mengharamkannya.
Jadi, selain yang dilarang, semua kegiatan yang dilakukan dalam memfungsikan harta pada prinsipnya dibolehkan, baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan individu maupun dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat.
A. JUAL BELI
1. Pengertian dan Dasar hukum Jual Beli
Menurut bahasa jual beli berasal dari kata (بَاعَ – يَبِيِعُ – بَيْعًا) artinya tukar menukar sesuatu dengan sesuatu, menurut istilah jual beli adalah suatu transaksi tukar menukar barang atau harta yang mengakibatkan pemindahan hak milik sesuai dengan Syarat dan Rukun tertentu. Dasar hukum jual beli bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits :
Firman Allah SWT:
….واحل الله البيع وحرم الربوا….
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah :275).
Sabda Rasulullah SAW :
“Pendapatan yang paling utama dari seorang adalah hasil usaha sendiri dan hasil jual beli yang mabrur” (HR. Thabrani).
2. Syarat dan Rukun Jual Beli
a. Syarat Barang yang Diperjual Belikan
1) Barang itu suci, artinya bukan barang najis.
2) Barang itu bermanfaat.
3) Barang itu milik sendiri atau milik orang lain yang telah mewakilkan untuk menjualnya.
4) Barang itu dapat diserah terimakan kepemilikannya.
5) Barang itu dapat diketahui jenis, ukuran, sifat dan kadarnya.
b. Syarat Penjual dan Pembeli
1) Berakal sehat, orang yang tidak sehat pikirannya atau idiot (bodoh), maka akad jual belinya tidak sah.
2) Atas kemauan sendiri, artinya jual beli yang tidak ada unsur paksaan.
3) Sudah dewasa (Baligh), artinya akad jual beli yang dilakukan oleh anak-anak jual belinya tidak sah, kecuali pada hal-hal yang sifatnya sederhana atau sudah menjadi adat kebiasaan. Seperti jual beli es, permen dan lain-lain.
4) Keadaan penjual dan pembeli itu bukan orang pemboros terhadap harta, karena keadaan mereka yang demikian itu hartanya pada dasarnya berada pada tanggung jawab walinya.
c. Rukun Jual Beli
1) Ada penjual.
2) Ada pembeli.
3) Ada barang atau harta yang diperjual belikan.
4) Ada uang atau alat bayar yang digunakan sebagai penukar barang.
5) Ada lafadz ijab qabul, yaitu sebagai bukti akan adanya kerelaan dari kedua belah pihak. .
3. Jual Beli yang terlarang
Jual beli yang dilarang dalam islam sangat banyak. Berikut ini dijelaskan sebab – sebab terlarangnya jual beli menurut Wahbah al – Zuhaili.
a. Terlarang sebab ahliah
Orang yang dilarang melakukan transaksi jual beli karena sifat ahliah adalah
1) Orang gila
2) Anak kecil
3) Orang buta
4) Fudul (menjual barang orang lain tanpa seijin pemilik)
5) Orang yang terhalang (halangan itu dapat berupa kebodohan, kebangkrutan, dan penyakit)
6) Orang yang sedang dalam bahaya, yakni menghindar dari perbuatan zalim
b. Terlarang sebab sigat
Ulama’ fiqih telah sepakat bahwa jual beli yang didasarkan pada keridaan antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian antara ijab dan Kabul, berada di satu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah adalah sah.
Sebaliknya, jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah atau masih dipermasalahkan atau diselisihkan para ulama’, seperti macam – macam jual beli berikut :
1) Jual beli mu’tah adalah jual beli yang sudah disepakati oleh pihak yang melakukan akad berkenaan dengan barang dan harganya, tetapi tidak memakai ijab Kabul.
2) Jual beli melalui utusan dan surat. Jual beli semacam ini adalah sah selama utusan dan surat itu sampai pada tujuan. Apabila terjadi sebaliknya, jual belinya tidak sah.
3) Jual beli dengan isyarat atau lisan selama bisa dibaca dan dimengerti. Jika terjadi sebaliknya, jual beli semacam ini dinyatakan tidak sah, misalnya tulisannya tidak terbaca dan isyaratnya tidak dapat dimengerti.
4) Jual beli barang yang tidak ada di tempat.
5) Jual beli yang tidak sesuai dengan ijab Kabul.
6) Jual beli munjiz (jual beli yang ditangguhkan).
c. Terlarang sebab ma’qud ‘alaih (objek akad)
Ma’qud ‘alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang berakad, biasa disebut dengan istilah mabi’ (barang jualan), seperti :
1) Jual beli benda yang dikhawatirkan tidak ada barangnya
2) Jual beli yang tidak dapat diserahkan barangnya
3) Jual beli garar (tipuan) adalah jual beli yang mengandung kesamaran
4) Jual beli barang yang najis dan terkena najis
5) Jual beli air (madzab zahiriyah dan yang lain tidak mengharamkannya
6) Jual beli barng yang tidak jelas (majhul)
7) Jual beli barang yang tidak ada di tempat (gaib)
8) Jual beli sesuatu yang belum dipegang
9) Jual beli buah – buahan atau tumbuh – tumbuhan yang belum jelas buahnya.
d. Terlarang sebab syara’
Jual beli terlarang sebab syara’ adalah :
1) Jual beli riba
2) Jeual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
3) Jual beli barang yang diperoleh dengan cara merampas atau memalak di jalan
4) Jual beli sperma hewan jantan dengan cara mencampurkan hewan tersebut dengan hewan betina
5) Jual beli anggur untuk dijadikan khamar
6) Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
7) Jual beli bersyarat.
B. KHIYAR
1. Pengertian Khiyar
Khiyar menurut bahasa artinya memilih yang terbaik, sedangkan menurut istilah khiyar ialah : memilih antara melangsungkan akad jual beli atau membatalkan atas dasar pertimbangan yang matang dari pihak penjual dan pembeli.
2. Jenis-jenis Khiyar
Khiyar ada 3 macam, yaitu :
a. Khiyar Majlis, artinya memilih untuk melangsungkan atau mmembatalkan akad jual beli sebelum keduannya berpisah dari tempat akad. Sabda Rasulullah SAW. :
“Dua orang yang berjual beli boleh memilih (meneruskan atau mengurungkan) jual belinya selama keduanya belum berpisah” (HR. Bukhari dan Muslim)
b. Khiyar Syarat, yaitu khiyar yang dijadikan syarat waktu akad jual beli, artinya si pembeli atau si penjual boleh memilih antara meneruskan atau mengurungkan jual belinya selama persyaratan itu belum dibatalkan setelah mempertimbangkan dalam dua atau tiga hari.
Khiyar syarat paling lama tiga hari. Sabda Nabi SAW. :
“Engkau boleh melakukan khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam” (Al Baihaqi dari Ibnu Majah).
c. Khiyar Aibi, yaitu memilih melangsungkan akad jual beli atau mengurungkannya bilamana terdapat bukti cacat pada barang.
3. Hikmah dan Manfaat Khiyar
Adapun hikmah khiyar antara lain adalah :
a. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan jual beli.
b. Menghindarkan kemungkinan terjadinya unsur penipuan dalam jual beli.
c. Mendidik penjual agar bersikap jujur dalam menjelaskan kualitas barang dagangannya.
d. Menghindarkan terjadinya penyesalan dikemudian hari bagi penjual dan pembeli.
“Dari Abu Hurairah RA Nabi SAW. bersabda : Barang siapa mencabut (jual beli) terhadap orang yang menyesal, maka Allah mencabut kerugiannya” (HR. Al Bazzar)
C. MUSAQAH, MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
1. MUSAQAH
a. Pengertian dan dasar hukum Musaqah
Menurut bahasa, Musaqah berasal dari kata “As-Saqyu” yang artinya penyiraman. Sedangkan menurut istilah musaqah adalah kerjasama antara pemilik kebun (tanah) dengan petani penggarap, yang hasilnya dibagi berdasarkan perjanjian.
Musaqah hukumnya jaiz (boleh), hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW :
Dari ibnu Umar ra. “bahwasanya Nabi SAW telah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan syarat akan diberi upah separuh dari hasil tanaman atau buah-buahan yang keluar dari lahan tersebut” (HR. Muttafaq Alaih).
b. Rukun dan Syarat Musaqah
Rukun Musaqah (Musaqi) adalah sebagai berikut:
1) Pemilik kebun dan petani penggarap (Saqi).
2) Pohon atau tanaman dan kebun yang dirawat.
3) Pekerjaan yang dilaksanakan baik waktu, jenis dan sifat pekerjaannya.
4) Pembagian hasil tanaman atau pohon.
5) Akad, baik secara lisan atau tertulis maupun dengan isyarat.
Sementara itu syarat-syarat musaqah adalah sebagai berikut :
1) Pohon atau tanaman yang dipelihara harus jelas dan dapat dilihat.
2) Waktu pelaksanaan musaqah harus jelas, misalnya: setahun, dua tahun atau sekali panen atau lainnya agar terhindar dari keributan di kemudian hari.
3) Akad Musaqah yang dibuat hendaknya sebelum nampak buah atau hasil dari tanaman itu.
4) Pembagian hasil disebutkan secara jelas.
c. Hikmah Musaqah
1) Dapat terpenuhinya kemakmuran yang merata.
2) Terciptanya saling memberi manfaat antara kedua belah pihak (si pemilik tanah dan petani penggarap)
3) Bagi pemilik tanah merasa terbantu karena kebunnya dapat terawat dan menghasilkan.
4) Disamping itu kesuburan tanahnya juga dapat dipertahankan.
D. MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
1. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
Menurut bahasa muzara’ah artinya penanaman lahan. Menurut istilah muzara’ah adalah suatu usaha kerjasama antara pemilik sawah atau ladang dengan petani penggarap yang hasilnya dibagi menurut kesepakatan, dimana benih tanaman dari si Pemilik tanah. Adapun zakat dari hasil kerja sama ditanggung oleh pemilik sawah atau ladang. Sedangkan mukhabarah adalah kerjasama antara pemilik sawah atau ladang dengan petani penggarap yang hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan kedua belah pihak, dimana benih tanaman dari petani penggarap.
2. Rukun dan Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
a. Rukun Muzara’ah dan Mukhabarah
1) Pemilik dan penggarap sawah.
2) Sawah atau lading.
3) Jenis pekerjaan yang harus dilakukan.
4) Kesepakatan dalam pembagian hasil (upah).
5) Akad (sighat).
b. Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
a. Pada muzara’ah benih dari pemilik tanah, sedangkan pada mukhabarah benih dari penggarap.
b. Waktu pelaksanaan muzara’ah dan mukhabarah jelas.
c. Akad muzara’ah dan mukhabarah hendaknya dilakukan sebelum pelaksanaan pekerjaan.
d. Pembagian hasil disebutkan secara jelas.
c. Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
1) Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
2) Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
3) Tertanggulanginya kemiskinan.
4) Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.
E. SYIRKAH
1. Pengertian dan Macam Syirkah
Menurut bahasa syirkah artinya : persekutuan, kerjasama atau bersama-sama. Menurut istilah syirkah adalah suatu akad dalam bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam bidang modal atau jasa, untuk mendapatkan keuntungan. Syirkah atau kerjasama ini sangat baik kita lakukan karena sangat banyak manfaatnya, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Kerjasama itu ada yang sifatnya antar pribadi, antar group bahkan antar Negara.
Dalam kehidupan masyarakat, senantiasa terjadi kerjasama, didorong oleh keinginan untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan keuntungan bersama.
Firman Allah SWT.
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah : 2).
2. Macam-Macam Syirkah
Secara garis besar syirkah dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Syirkah amlak (Syirkah kepemilikan) Syirkah amlak ini terwujud karena wasiat atau kondisi lain yang menyebabkan kepemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih.
b. Syirkah uqud (Syirkah kontrak atau kesepakatan), Syirkah uqud ini terjadi karena kesepakatan dua orang atau lebih kerjasama dalam syarikat modal untuk usaha, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Syirkah uqud dibedakan menjadi empat macam :
1) Syirkah ‘inan (harta).
Syirkah harta adalah akad kerjasama dalam bidang permodalan sehingga terkumpul sejumlah modal yang memadai untuk diniagakan supaya mendapat keuntungan.
Sabda Nabi SAW. dari Abu Hurairah ra. :
Rasulullah SAW. bersabda : Firman Allah SWT. Saya adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama seorang diantaranya tidak mengkhianati yang lain. Maka apabila berkhianat salah seorang diantara keduanya, saya keluar dari perserikatannya itu” (HR. Abu Daud dan Hakim menshohihkannya).
Sebagian fuqaha, terutama fuqaha Irak berpendapat bahwa syirkah dagang ini disebut juga dengan qiradl.
2) Syirkah a’mal (serikat kerja/ syirkah ‘abdan)
Syirkah a’mal adalah suatu bentuk kerjasama dua orang atau lebih yang bergerak dalam bidang jasa atau pelayanan pekerjaan dan keuntungan dibagi menurut kesepakatan.
Contoh : CV, NP, Firma, Koperasi dan lain-lain.
3) Syirkah Muwafadah
Syirkah Muwafadah adalah kontrak kerjasama dua orang atau lebih, dengan syarat kesamaan modal, kerja, tanggung jawab, beban hutang dan kesamaan laba yang didapat.
4) Syirkah Wujuh (Syirkah keahlian)
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi baik serta ahli dalam bisnis.
3. Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun dan syarat syirkah dapat dikemukakan sebagai berikut :
Anggota yang berserikat, dengan syarat : baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan mengetahui pokok-pokok perjanjian. Pokok-pokok perjanjian syaratnya :
a. Modal pokok yang dioperasikan harus jelas.
b. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga harus jelas.
c. Yang disyarikat kerjakan (obyeknya) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.
d. Sighat, dengan Syarat : Akad kerjasama harus jelas sesuai dengan perjanjian.
4. Hukum dan Hikmah Syirkah
Pada prinsipnya bahwa hukum syirkah adalah mubah/boleh dan sah-sah saja. Namun apabila terjadi penyimpangan oleh anggota syarikat, maka hal ini sudah tidak benar. Adapun mengenai syirkah kerja menurut madzhab Syafi’i tidak sah dan tidak boleh. Mengenai hikmah syirkah dapat dikemukakan disini sebagai berikut :
a. Dapat meningkatkan daya saing produksi, karena ada tambahan modal yang besar.
b. Dapat meningkatkan hubungan kerja sama antar kelompok sosial dan hubungan bilateral antar negara.
c. Dapat memberi kesempatan kepada pihak yang lemah ekonominya untuk bekerjasama dengan pihak ekonomi yang lebih kuat.
d. Dapat menampung tenaga kerja, sehingga akan dapat mengurangi pengangguran.
F. MURABAHAH
1. Pengertian Murabahah
Akar kata dari murabahah adalah ‘ribh’ yang artinya profit atau laba. Transaksi al-murabahah adalah transaksi jual beli dengan harta pokok yag ditambah dengan keuntungan (laba) di mana harta pokok dan laba dari pihak penjual diketahui oleh pihak pembelinya.
a. Praktik transaksi murabahah pada bank syariah.
Nasabah berjanji akan membeli komoditi dari bank syariah dengan menggunakan akad wa’ad (janji). Lalu bank mewakilkan pembelian komoditi tersebut kepada nasabah menggunakan akad wakalah, dengan akad wakalah itu, nasabah pergi ke supplier/dealer/developer untuk membeli komoditi atas nama bank.
b. Setelah bank mendapatkan nasabah dengan menggunakan akad murabahah. Hal-hal yang dilarang dalam transaksi perbankan syariah yang menggunakan akad al-murabahah.
1) Transaksi bay al-murabahah hanya diperbolehkan untuk transaksi jual beli barang atau komoditi tidak untuk penambahan modal atau digunakan untuk modal kerja. Untuk modal kerja bisa menggunakan akad lain seperti mudharabah (bagi hasil) dan musyarakah (kemitraan, bagi hasil, dan bagi rugi), bukan akad murabahah.
2) Nasabah menggunakandana pinjaman dari pihak bank dengan akad murabahah untuk di gunakan pada keperluannya yang lain, bukn untuk membeli komodati dari bank. Padahal jelas sekali akad bay al-murabahahadalah akad jual beli dimana bank syariah bertindak sebagai pihak penjual.
3) Bank menjual komoditi kepada nasabah sebelum bank memiliki komoditi tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip ekonomi syariah dimana bank sebagai pihak penjual harus sudah memiliki barang yang hendak dijualnya kepada pihak pembeli.
4) Bank dan nasabah melakukan perjanjian akad murabahah pada saat nasabah sudah membeli komoditi dari pihak lain. Seharusnya nasabah membeli komoditi dari bank pada saat akad berlangsung. Bukannya membeli barang pada pihak lain dan mendapatkan pinjaman pembayarannya dari pihak bank. Dalam hal ini transaksinya sama dengan memberi pinjaman denagn imbalan bunga (riba) pada Bank Konvensional.
5) Murabahah tidak boleh di roll-over, karena prinsip murabahah adalah jual beli, bukan pinjaman berbasis bunga.
6) Nasabah tidak boleh dikenakan sangsi untuk late or default payment, karena sekali lagi transaksi murabahah adalah prinsip syariah berdasarkan jual beli, bukan pinjaman dengan imbalan bunga. Kalau memang nasabahnya dengan sengaja memanfaatkan kondisi seperti ini, maka bank syariah dapat mengenakan sanksi berupa denda atas keterlambatan pembayaran kepada nasabah, dan ahrus menyalurkan pendapatnya dari pembayaran denda tersebut kepada Badan Zakat.
7) Pemberlakuan praktik da wa ta’ajjal (ضع و تعجل) atau pemberian diskon pada nasabah yang rajin membayar cicilannya sebelum jatuh tempo. Sebagian besar ulama melarang praktik ini kalau diskon tersebut di kaitkan dengan waktu pembayaran yang dipercepat, dengan alasan ada indikasi riba, dimana riba terjadi ketika satu pihak diuntungkan dan pihak yang lain dirugikan.
Namun, sebagian dari pada ulama klasik mengizinkan praktik ini, tetapi kebanyakan dari para ulama juga menolak da wa ta’ajjal ini diterapkan termasuk para ulama-ulama dari pengikut golongan 4 mazhab, yaitu: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Pada dasarnya transaksi al-murabahah adalah transaksi jual beli yang sederhana, bukannya suatu skema pembiayaan, namun dengan diizinkannya pembayaran transaksi murabahah dengan cara dicicil, maka bank syariah boleh melakukan pembayaran dengan akad murabahah, hanya apabila nasabahnya membutuhkan untuk membeli suatu barang/komoditi seperti rumah, kendaraan roda dua atau kendaraan roda empat, dan baramg elektronik, bukan untuk modal kerja atau work-ing capital. Kalau ada bank syariah yang memberi pembiayaan murabahah untuk keperluan modal kerja, dapat kita katakan disini bahwa bank syariah tersebut sudah melanggar syarat dan ketentuan daripada prinsip ekonomi syariah.
G. Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola(mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100% modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.
1) Tipe mudharabah
a. Mudharabah mutlaqah, dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha
b. Yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).
c. Mudharabah muqayyadah, dimana praktik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha, dan sebagainya.
2) Keistimewaan mudharabah
a) Berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi resiko.
1. Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
2. Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.
b) Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari.
H. Salam
1. Pengertian Salam
As-Salam dinamai juga As-salaf ialah suatu akad jual beli antara dua orang atau lebih dan barang yang akan dijual belum ada wujudnya tetapi ciri-ciri atau kriterianya, baik kualitas dan kuantitasnya, besar dan kecilnya, timbangannya, dan lain sebagainya telah disepakati. Sedang pembayarannya dilakukan pada saat terjadi transaksi. Misalny: seperti si A memesan sebuah almari pakaian kepada si B, dengan ukuran, kualitas kayu, warna cat, telah ditentukan. Si B menerima pesanan si A dengan harga tertentu dan pembayarannya dilakukan oleh si A secara kontan pada saat terjadinya transaksi.
Dengan demikian, salam merupakan jual beli pesanan dari calon pembeli dengan pembayaran kontan dan hutang bagi calon penjual, karena barangnya baru berupa pesanan dan akan diserahkan sesuai dengan kesepakatan kedua pihak. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw., bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَدِمَ النَّبِيُّ . ص . م . اَلْمَدِيْنَةَ وَهُمْ يُسْلِفُوْنَ نَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ : مَنْ اَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ اِلَى اَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Nabi saw. tiba di Madinah dan orang-orang (Madinah) meminjamkan buah-buahan satu tahun dan dua tahun, maka beliau bersabda: “Bagi siapa yang meminjamkan (mengutangkan) buah-buahan, maka hendaklah ia mengutangkan dengan takaran dan timbangan yang jelas dan sampai batas waktu yang jelas”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas oleh para ulama dijadikan dasar kebolehan jual beli salam.
2. Rukun dan syarat Salam
a. Rukun Salam
b. Penjual (muslam ‘alaih)
c. Pembeli (muslam atau rabbus salam)
d. Barang (muslam fih) dan harga atau modal (ra’sul mal)
e. Sigat (akad)
3. Syarat-syarat Salam
a. Uang hendaknya dibayar pada saat terjadi transaksi atau di majlis akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu.
b. Barang menjadi utang atau tanggungan penjual dan diberikan kepada pembeli sesuai dengan kesepakatan, baik mengenai waktunya maupun tempatnya.
c. Barang itu hendaknya jelas kriterianya, baik ukuran, kualitas, jenis, timbangan dan lain sebagainya sesuai dengan jenis barang yang dijual. Dengan kriteria tersebut dapat dibedakan antara satu barang dengan barang lain, sehingga tidak terdapat keraguan yang dapat menyebabkan perselisihan antara keduanya (penjual dan pembeli).
4. Hukum Jual Beli Salam
Para ulama sepakat bahwa jual beli salam hukumnya boleh selama rukun dan syaratnya terpenuhi dan tidak terjadi garar (penipuan). Dasar hukum yang dijadikan pegangan selain nas seperti telah disebutkan di atas adalah bahwa jual beli salam mengandung unsur-unsur kemaslahatan dan hikmah yang dibutuhkan oleh manusia.
5. Hikmah Salam
Diantara hikmah jual beli salam adalah:
a. Terpenuhinya kebutuhan. Setiap orang mempunyai kebutuhan dan kemampuan yang berbeda dengan orang lain. Ada di antara mereka, misalnya si A mempunyai cukup uang tetapi tidak memiliki barang yang dia perlukan. Sementara ada orang lain, misalnya si B memiliki kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan si A namun tidak mempunyai modal untuk mewujudkannya. Dalam keadaan seperti ini, si A memesan barang yang ia perlukan, dan si B, dengan modal yang ia terima bekerja untuk memenuhi permintaan si A. Dengan demikian, kebutuhan kedua belah pihak terpenuhi.
b. Adanya asas tolong-menolong. Dengan terpenuhinya kebutuhan masing-masing seperti digambarkan di atas, berarti si A telah menolong si B sehingga dia bekerja dan memanfaatkan keahliannya, si B menolong si A karena dia telah memenuhi kebutuhan si A. Asas tolong-menolong ini merupakan cari manusia sebagai makhaluk sosial dan sangat dianjurkan oleh agama.
ikhtisar
1. Jual beli merupakan syariat Allah SWT bagi manusia untuk dapat memiliki sesuatu atau benda dengan jaln yang benar, bukan dengan cara – cara yang kotor, seperti menipu, mengeksploitasi, atau meremehkan dengan jalan mencuri.
2. Dalam akad jual beli, para ulama’ memberikan rambu – rambu agar dalam praktik jual beli atau kerja samasesuai dengan syariat islam,yakni tidak saling merugikan atau saling membohongiantara satu dengan yang lain, seperti mencari keuntungan dengan cara- cara dengan menyakiti hati orang lain.
3. Disyariatkan berbagai akad dalam perekonomian, seperti musaqah, muzaraah, mukhabarah, dan syirkah agar antara manusia saling bekerja sama mencari keuntungan dalam berniaga, saling membantu antara satu dengan yang lainnya sehingga kekayaan tidak saja dikuasai oleh kelompok tertentu saja yang mengakibatkan kesan ekonomi menjadi pincang.
4. Dalam segala bentuk akad, setiap orang diwajibkan untuk mengikuti syariat islam dengan niat mencari ridho Allah dan tak lupa untuk mengeluarkan zakat atas hasil yang didaapatkan demi keunungan dalam perniagaan itu.




Ingin Mendapatkan Materi ini? Silahkan Download melalui Link dibawah ini:





Belum ada Komentar untuk "MATERI FIQIH KELAS 10 : PEREKONOMIAN DALAM ISLAM"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar terbaik Anda...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel