PANCASILA: CIVIC EDUCATION DALAM MASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA

  1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pancasila dapat dijadikan sebagai dasar atau landasan dalam mendirikan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan Pancasila sebagai dasar negara adalah berupa hukum  nasional yang bersumber pada nilai-nilai luhur pancasila. Hal ini memiliki konsekuensi, bahwa nilai-nilai luhur Pancasila secara yuridis harus diderivasikan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun1945 dan selanjutnya pada seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Pancasila merupakan pedoman seluruh warga negara Indonesia sebagai  falsafat kehidupan. Pancasila mengatur norma-norma kehidupan warga negara Indonesia. Dalam sila pertama, setiap warga negara bebas untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Dalam sila kedua, setiap warga Indonesia harus menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan dan HAM. Dalam sila yang ketiga, setiap warga Indonesia tidak membeda-bedakan suku dan mencintai tanah air Indonesia. Dalam sila keempat, setiap warga Indonesia wajib menghargai pendapat orang lain. Dan dalam sila kelima, setiap warga Indonesia tidak mengeluh dan suka bekerja keras.
Dengan melaksanakan ideologi Pancasila dengan baik akan menjadikan warga negara Indonesia yang makmur dan sentosa serta menjadikan Indonesia Negara yang damai dan sejahtera.





2.      PANCASILA CIVIC EDUCATION
2.1 PANCASILA
Pancasila adalah dasar filsafat negara republik indonesia yang resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam pembukaan UUD 1945, di undangkan dalam berita Republik Indonesia tahun II No. 7 bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945.[1]
Secara etimologis sebelum kita membahasan isi arti dan fungsi pancasila sebagai dasar negara maka terlebih dahulu perlu dibahas asal kata dan istilah “ Pancasila ”  berserta makna yang terkandung didalamnya. Secara etimologis istilah Pancasila berasal dari bahasa sangsekerta dari india (bahasa kasta rahmana) adapun bahasa rakyat bahasa adalah bahasa prakerta. Menurut Muhammad Yamin dalam bahasa sangsekerta  perkataan pancasila memiliki dua macam arti secara leksikal, yaitu :
“ Panca ” artinya lima “ syila ” artinya batu sendi, “ alas ”, atau “ dasar ” “ syiila ” artinya “ peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh ”.
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan “ susila ” yang memiliki hubungan dengan moralitas, oleh karena itu secara etimologis kata pancasila yang dimaksudkan adalah istilah “ pancasyila ” dengan vokal “ i ” pendek yang memiliki makna leksikal “ berbatu sendi lima ” atau secara harfiyah “ dasar yang memiliki lima unsur ”. Adapun istilah “ pancasyiila ” dengan huruf dewanagari “ i ” bermakna lima aturan tingkah laku yang penting.[2]
Pancasila secara historis proses perumusan pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman Widyodiningrat. Mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut, masalah tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk.  Kemudian tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Muhammad Yamin, Soekarno, dan Soepomo.
Pada tanggal 1 juli 1945 didalam sidang tersebut Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia kemudian untuk memberi nama istilah dasar negara tersebut Soekarno memberikan nama pancasila yang artinya lima dasar, hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.
Pada tanggal 17 agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, kemudian keesokan harinya tanggal 18 agustus 1945 disahkan Undang-Undang Dasar 1945 termasuk pembukaan UUD 1945 di mana termuat isi rumusan lima prinsip yang diberi nama pancasila.[3]
Sedangkan secara terminologis proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 itu telah melahirkan negara republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang merdeka, maka Panitia Persiapan Kemerdekaan Negara Indonesia  (PPKI) segera mengadakan sidang. Dalam sidangnya tanggal 18 agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD Negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 tersebut terdiri atas dua bagian yaitu pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 ayat pasal 1, aturan peralihan yang terdiri atas empat pasal dan 1 aturan tambahan yang terdiri atas 2 ayat. Dalam pembagian UUD 1945 yang terdiri 4 alinea tersebut tercantum rumusan pancasila sebagai berikut :
1.         Ketuhanan Yang Maha Esa
2.         Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3.         Persatuan Indonesia
4.         Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
5.         Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia [4]

2.2. CIVIC EDUCATION
Secara bahasa, istilah “Civic Education” oleh sebagian pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah “Pendidikan Kewargaan” diwakili oleh Azra dan Tim ICCE (Indonesian Center for Civic Education) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, sebagai pengembang Civic Education pertama di perguruan tinggi. Penggunaan istilah “Pendidikan Kewarganegaraan” diwakili oleh Winataputra dkk dari Tim CICED (Center Indonesian for Civic Education), Tim ICCE (2005: 6). Menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4), mengemukakan bahwa Citizenship education or civics education didefinisikan sebagai berikut:
Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process.
Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warga negara tersebut. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives", maksudnya adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya.
Menurut Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) mengemukakan bahwa pengertian Pendidikan Kewarganegaraan adalah:

“Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.“

Sementara itu, PKn di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama, walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya. (Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI).
Pendidikan Kewarganegaraan menurut Depdiknas (2006:49), adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI 1945. Lebih lanjut Somantri (2001:154) mengemukakan bahwa:

“PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.”

Menurut Branson (1999:4) civic education dalam demokrasi adalah pendidikan – untuk mengembangkan dan memperkuat – dalam atau tentang pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri; mereka tidak hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain.
Beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan PKn, antara lain (Somantri, 2001:158):
a)      Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu.
b)      Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional.
c)      Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan.
d)      Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya “ide fundamental” Ilmu Kewarganegaraan.
e)      Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD NRI 1945 dan perundangan negara serta sejarah perjuangan bangsa.
f)       Kegiatan dasar manusia.
g)      Pengertian pendidikan IPS
Ketujuh unsur inilah yang akan mempengaruhi pengembangan PKn. Karena pengembangan pendidikan Kewarganegaraan akan mempengaruhi pengertian PKn sebgai salah satu tujuan pendidikan IPS.
Sehubungan dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut (Somantri, 2001:159):
Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu Kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia, yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuanpendidikan IPS.Beberapa faktor yang lebih menjelaskan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan antara lain (Somantri, 2001:161):
a)      PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (intergrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama Pancasila, UUD NRI 1945, GBHN, dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan pada hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara.
b)      PKn adalah seleksi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, Pancasila, UUD NRI 1945 dan dokumen negara lainnya yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
c)      PKn dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat jurusan PMPKN FPIPS maupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi.
d)      Dalam mengembangkan dan melaksanakan PKn, kita harus berpikir secara integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara hubungan pengetahuan intraseptif (agama, nilai-nilai) dengan pengetahuan ekstraseptif (ilmu), kebudayaan Indonesia, tujuan pendidikan nasional, Pancasila, UUD1945, GBHN, filsasat pendidikan, psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas unsur: (i) tujuan pendidikan, (ii) bahan pendidikan, (iii) metode pendidikan, (iv) evaluasi.
e)      PKn menitikberatkan pada kemampuan dan ketrampilan berpikir aktif warga negara, terutama generasi muda, dalam menginternalisasikan nilai-nilai warga negara yang baik (good citizen)dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs).
f)       Dalam kepustakan asing PKn sering disebut civic education, yang salah satu batasannya ialah “seluruh kegiatan sekolah, rumah, dan masyarakat yang dapat menumbuhkan demokrasi.
PKn sebagai pendidikan nilai dapat membantu para siswa membantu siswa memilih sistem nilai yang dipilihnya dan mengembangkan aspek afektif yang akan ditampilkan dalam perilakunya. Seperti yang diungkapkan Al-Muchtar dalam Hand Out Strategi Belajar Mengajar (2001:33), mengemukakan bahwa:
Pendidikan nilai bertujuan untuk membantu perilaku peserta didik menumbuhkan dan memperkuat sistem nilai dipilihnya untuk dijadikan dasar bagi penampilan perilakunya. Pendidikan nilai bertumpu pada pengembangan sikap (afektif) oleh karena itu berbeda dengan belajar mengajar dengan pendidikan kognitif atau psikomotor. Pendidikan nilai secara formal di Indonesia diberikan pada mata pelajaran PPKn yang merupakan pendidikan nilai Pancasila agar dapat menjadi kepribadian yang fungsional.
2.3. TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA
Dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan juga termuat dalam SK Dirjen Dikti. No. 43/DIKTI/KEP/2006, dijelaskan bahwa tujuan materi pancasila dalam rambu-rambu pendidikan kepribadian mengarahkan kepada moral yang diharapkan terwujud dalam kehidupan sehari hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai golongan agama, kebudayaan dan beraneka ragam kepentingan, memantabkan kepribadian mahasiswa agar sejarah konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan penuh rasa tanggung jawab dan bermoral.
Tujuan pendidikan diartikan sebagai seperangkat tindakan intelektual penuh tanggung jawab yang berorientasi pada kompetensi mahasiswa pada bidang profesi masing-masing. Kompetensi kelulusan pendidikan pancasila adalah seperangkat tindakan intelektual, penuh tanggung jawab sebagai seorag warga negara dalam memecahkan berbagai masalah dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan menerapkan pemikiran yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Sifat intelektual tersebut tercermin pada kemahairan, ketepatan dan keberhasilan bertindak, sedangkan sifat penuh tanggung jawab diperlihatkan sebagai kebenaran tindakan ditilik dari aspek iptek, etika ataupun kepatutan agama serta budaya.
Pendidikan Pancasila bertujuan untuk menghasilkan peserta didik yang berperilaku, (1) memiliki kemampuan untuk mengambil sikap yang bertanggungjawab sesuai dengan hati nuraninya, (2) memiliki kemampuan untuk mengenali masalah hidup dan kesejahteraan serta cara-cara pemecahannya, (3) mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta  (4) memiliki kemampuan untuk memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa untuk menggalang persatuan bangsa Indonesia.
Melalui pendidikan Pancasila, warga Negara Republik Indonesia diharapkan mampu memahami, menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten berdasarkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia.[5]
2.4. KARAKTER BANGSA YANG BERSUMBER NILAI-NILAI PANCASILA
Pembudayaan mempunyai arti setingkat lebih tinggi dari pemasyarakatan. Pemasyarakatan adalah mensosialisikan kepada seluruh warga masyarakat tentang nilai-nilai yang perlu diketahui, sekaligus berbagi maslah yang mungkin muncul dalam melaksanakan nilai-nilai yang demikian fundamental bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Secara Etimologis, istilah kebudayaan berasal dari sansekerta budhayah yang merupakan bentuk jamak buddhi yang berarti budi atau akal, dengan demikian budaya berhubungan dengan budi atau akal. Sedangkan menurut Koentjaningrat kebudayaan ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan melalui belajar.[6]
Pembudayaan nilai-nilai pancasila, merupakan peningkatan secara kualitatif dari pemasyrakatan. Sehingga mencakup pengertian yang dalam, karena tidak sekedar memahami belaka akan tetapi juga harius dihayati dan diwujudkan dalam pengamalanya oleh setiap diri pribadi dan seluruh lapisan masyarakat sehingga menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan, mempertajam perasaan, meningkatkan daya tahan, daya tangkal daan daya saing bangsa yang kesemuanya yang tercermin pada sikap tanggap dan sikap perilaku.[7]
Dari berbagai situasi dan kondisi yang melanda bangsa Indonesia, maka perlu ada upaya kebudayaan nilai-nilai luhur pancasila pada berbagai kelompok masyarakat baik kelompok profesi seperti tenaga kerja, notaris, guru dan pengacara, kelompok fungsional seperti wanita, pemuda dan sebagainya.
Sejalan dengan upaya demikian, diharapkan akan terdapat penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur pancasila diberbagai bidang kehidupan bagi setiap anggota masyarakat bahkan diharapkan pada setiap warga masyarakat akan tumbuh jiwa kepemimpinan yang didasari, dijiwai dan disemangati nilai-nilai Pancasila pada semua jenjang dan tingkat kehidupan.[8]
2.5. KARAKTER BANGSA INDONESIA YANG UNGGUL BERDASARKAN NILAI-NILAI PANCASILA
Karakter adalah nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang.
Kepribadian itu selain dipengaruhi oleh bawaan masing-masing individu, juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan masing-masing individu tersebut. Karakter bangsa Indonesia lahir dari realitas bahwa bangsa Indonesia terbentuk oleh berbagai kelompok atau keberagaman. Bhineka Tunggal Ika merupakan karakter kunci bangsa Indonesia. Karakter ini berisikan komitmen dari berbagai kelompok atau keberagaman suku, RAS, pemeluk agama dan golongan, untuk bergabung dang menjadi bagian dari banga Indonesia. Komitmen itu diwujudkan kedalam nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama yaitu pancasila.
Bhinneka Tunggal Ika sangat tepat bagi bangsa Indnesia yang sangat beragam. Prinsip Indonesia sebagai “ Negara Bhinneka Tunggal Ika ” mencerminkan bahwa meskipun dalam realitanya Indonesia memiliki sifat yang sangat hiterogen, baik dari aspek suku bangsa, ras, agama, kebudayaan, adat istiadat dan lain-lain, tetapi tetap terintegrasi dalam kemanunggalan, kesatuan-kesatuan tetap merupakan realias yang tidak berubah. Karakter bangsa Indnesia akan menentukan perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang khas-baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa dan perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila, UUD NKRI 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.[9]
Penerapan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, sebenarnya merupakan deklarasi dari karakter bangsa Indonesia, atau dengan kata lain merupakan deklarasi cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu warga negara Indonesia untuk hidup bekerjasama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara  Indonesia. Karena dalam Pembukaan UUD 1945 (sekarang UUD NRI 1945) terkandung nilai-nilai luhur Pancasila. Penjabaran nilai-nilai luhur Pancasila tersebut secara implementatif tertuang dalam Pembukaan UUD Pembukaan UUD NKRI 1945. Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai sila-sila Pancasila yang memiliki karakter kepejuangan, mengemban tugas melindungi bangsa serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan dan meningkatkan kecerdasan serta ikut aktif melaksanakan ketertiban dunia, serta memiliki cita-cita bangsa yang mesti diwujudkan yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.[10]
Pendidikan yang dirancang untuk membangun karakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila harus dapat mensinergikan potensi empat pilar kecerdasan individu secara seimbang dan bersamaan, yaitu: (1) kecerdasan intelektual, (2) kecerdasan spiritual, (3) kecerdasan emosional, dan (4) kecerdasan sosial. Kecerdasan intelektual sering disebut sebagai kecerdasan yang berdiri sendiri, pengertian cerdas pada umumnya, atau lazim dikenal dengan IQ (intellegence quotion). Pendidikan karakter secara hakiki mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat dan bangsa. Sehingga, pendidikan karakter merupakan serangkaian cara pembiasaan untuk hidup cerdas, baik cerdas secara intelektual, spiritual, emosional, dan juga cerdas secara sosial. [11]









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Alasan mengapa pancasila dijadikan sebagai dasar sistem politik indonesia karena sebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber devariasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungan dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara atau sebagai sistem politik yang di anut Indonesia.
Sebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan nila kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Sebagai dasar negara, Pancasila dijadikan dasar atau landasan dalam menjalankan perintah negara. Pancasila dalam hal ini tidak hanya sebagai suatu pemikiran ilsafat dan dasar negara,melainkan berlanjut dalam bentuk gagasan yang bertindak yang kita sebut ideologi. Ideologi ini tidak saja berkaitan dengan kehidupan kenegaraan, melainkan juga kehidupan masyarakat. Dengan demikian ideologi ini merupakan ideologi negara dan bangsa Indonesia, jadi merupakan ideologi nasional.
Pembudayaan nilai nilai pancasila, merupakan peningkatan secara kualitatif dari pemasyrakatan. Sehingga mencakup pengertian yang dalam, karena tidak sekedar memahami belaka akan tetapi juga harius dihayati dan diwujudkan dalam pengamalanya oleh setiap diri pribadi dan seluruh lapisan masyarakat sehingga menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan, mempertajam perasaan, meningkatkan daya tahan, daya tangkal daan daya saing bangsa yang kesemuanya yang tercermin pada sikap tanggap dan sikap perilaku.[12] 

B.     Saran
Seperti yang kita ketahui, bahwa perjuangan dan pengorbanan para pahlawan kita dalam mencetuskan pancasila bukanlah hal yang mudah, dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara di jalankan asas legalitas yaitu di jalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, dijalankan sesuai demokratis, dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral. Pelaksanaan kekuasaan dan penegakan hukum di nilai bermoral jika selalu dilandasi dengan nilai-nilai pancasila. Maka, kita sebagai generasi penerus bangsa wajib menjaga nilai-nilai pancasila dan meneruskannya kepada generasi setelah kita sebagai bukti penghormatan kita terhadap para pejuang-pejuang bangsa Indonesia yang telah mengorbankan segalanya demi Indonesia semata.












[1] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta:Paradigma,2016), hlm. 1.
[2] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta:Paradigma,2016), hlm. 12.
[3] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta:Paradigma,2016), hlm. 14.

[4] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta:Paradigma,2016), hlm. 16.
[5] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta:Paradigma,2016), hlm. 6.

[6] Suko Wiyono,Reaktualisasi Pamcasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Malang:Universitas Wisnuwardhana Malang Press,2016), hlm. 121.

[7] Suko Wiyono,Reaktualisasi Pamcasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Malang:Universitas Wisnuwardhana Malang Press,2016), hlm. 122.

[8] Suko Wiyono, Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Malang:Universitas Wisnuwardhana Malang Press,2016), hlm. 123.

[9] Suko Wiyono, Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Malang:Universitas Wisnuwardhana Malang Press,2016), hlm.127

[10] Suko Wiyono, Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Malang:Universitas Wisnuwardhana Malang Press,2016), hlm 127
[11] Suko Wiyono, Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Malang:Universitas Wisnuwardhana Malang Press,2016), hlm. 129


Belum ada Komentar untuk "PANCASILA: CIVIC EDUCATION DALAM MASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar terbaik Anda...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel