PANCASILA: CIVIC EDUCATION DALAM MASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA
Senin, Maret 11, 2019
Tambah Komentar
- PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pancasila
dapat dijadikan sebagai dasar atau landasan dalam mendirikan bangunan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan Pancasila sebagai dasar negara adalah
berupa hukum nasional yang bersumber
pada nilai-nilai luhur pancasila. Hal ini memiliki konsekuensi, bahwa
nilai-nilai luhur Pancasila secara yuridis harus diderivasikan dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun1945 dan selanjutnya pada seluruh
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Pancasila
merupakan pedoman seluruh warga negara Indonesia sebagai falsafat kehidupan. Pancasila mengatur
norma-norma kehidupan warga negara Indonesia. Dalam sila pertama, setiap warga
negara bebas untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Dalam
sila kedua, setiap warga Indonesia harus menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan
dan HAM. Dalam sila yang ketiga, setiap warga Indonesia tidak membeda-bedakan
suku dan mencintai tanah air Indonesia. Dalam sila keempat, setiap warga
Indonesia wajib menghargai pendapat orang lain. Dan dalam sila kelima, setiap
warga Indonesia tidak mengeluh dan suka bekerja keras.
Dengan
melaksanakan ideologi Pancasila dengan baik akan menjadikan warga negara
Indonesia yang makmur dan sentosa serta menjadikan Indonesia Negara yang damai
dan sejahtera.
2.
PANCASILA CIVIC EDUCATION
2.1 PANCASILA
Pancasila adalah dasar filsafat negara
republik indonesia yang resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945
dan tercantum dalam pembukaan UUD 1945, di undangkan dalam berita Republik
Indonesia tahun II No. 7 bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945.[1]
Secara etimologis
sebelum kita membahasan isi arti dan fungsi pancasila sebagai dasar negara maka
terlebih dahulu perlu dibahas asal kata dan istilah “ Pancasila ” berserta makna yang terkandung didalamnya. Secara
etimologis istilah Pancasila berasal dari bahasa sangsekerta dari india (bahasa
kasta rahmana) adapun bahasa rakyat bahasa adalah bahasa prakerta. Menurut
Muhammad Yamin dalam bahasa sangsekerta
perkataan pancasila memiliki dua macam arti secara leksikal, yaitu :
“ Panca ” artinya lima “ syila ” artinya
batu sendi, “ alas ”, atau “ dasar ” “ syiila ” artinya “ peraturan tingkah
laku yang baik, yang penting atau yang senonoh ”.
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa
Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan “ susila ” yang memiliki hubungan dengan
moralitas, oleh karena itu secara etimologis kata pancasila yang dimaksudkan
adalah istilah “ pancasyila ” dengan vokal “ i ” pendek yang memiliki makna
leksikal “ berbatu sendi lima ” atau secara harfiyah “ dasar yang memiliki lima
unsur ”. Adapun istilah “ pancasyiila ” dengan huruf dewanagari “ i ” bermakna
lima aturan tingkah laku yang penting.[2]
Pancasila secara historis proses perumusan pancasila
diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman Widyodiningrat.
Mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut, masalah
tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan
dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang
tersebut tiga orang pembicara yaitu Muhammad Yamin, Soekarno, dan Soepomo.
Pada tanggal 1 juli 1945 didalam sidang
tersebut Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon
rumusan dasar negara Indonesia kemudian untuk memberi nama istilah dasar negara
tersebut Soekarno memberikan nama pancasila yang artinya lima dasar, hal ini menurut
Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang
tidak disebutkan namanya.
Pada tanggal 17 agustus 1945 Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya, kemudian keesokan harinya tanggal 18 agustus
1945 disahkan Undang-Undang Dasar 1945 termasuk pembukaan UUD 1945 di mana
termuat isi rumusan lima prinsip yang diberi nama pancasila.[3]
Sedangkan secara terminologis proklamasi kemerdekaan
17 agustus 1945 itu telah melahirkan negara republik Indonesia. Untuk melengkapi
alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang merdeka,
maka Panitia Persiapan Kemerdekaan Negara Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang. Dalam
sidangnya tanggal 18 agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD Negara
Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 tersebut
terdiri atas dua bagian yaitu pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang
berisi 37 ayat pasal 1, aturan peralihan yang terdiri atas empat pasal dan 1
aturan tambahan yang terdiri atas 2 ayat. Dalam pembagian UUD 1945 yang terdiri
4 alinea tersebut tercantum rumusan pancasila sebagai berikut :
1.
Ketuhanan
Yang Maha Esa
2.
Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab
3.
Persatuan
Indonesia
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
5.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia [4]
2.2. CIVIC EDUCATION
Secara
bahasa, istilah “Civic Education” oleh sebagian pakar diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Istilah “Pendidikan Kewargaan” diwakili oleh Azra dan Tim ICCE (Indonesian
Center for Civic Education) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta,
sebagai pengembang Civic Education pertama di perguruan tinggi. Penggunaan
istilah “Pendidikan Kewarganegaraan” diwakili oleh Winataputra dkk dari Tim
CICED (Center Indonesian for Civic Education), Tim ICCE (2005: 6). Menurut Kerr
(Winataputra dan Budimansyah, 2007:4), mengemukakan bahwa Citizenship education
or civics education didefinisikan sebagai berikut:
Citizenship
or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young
people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the
role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that
preparatory process.
Dari
definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dirumuskan
secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran
dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan
termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses
penyiapan warga negara tersebut. Cogan (1999:4) mengartikan civic education
sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare
young citizens for an active role in their communities in their adult
lives", maksudnya adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang
dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa
dapat berperan aktif dalam masyarakatnya.
Menurut
Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) mengemukakan bahwa pengertian Pendidikan
Kewarganegaraan adalah:
“Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk
mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis,
melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi
adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga
masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning proses yang tidak dapat begitu saja
meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan
mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.“
Sementara
itu, PKn di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi
warga negara yang memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hakikat negara
kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan
modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan
atau nasionalisme yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan
bersama di bawah satu negara yang sama, walaupun warga masyarakat tersebut
berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya. (Risalah sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI).
Pendidikan
Kewarganegaraan menurut Depdiknas (2006:49), adalah mata pelajaran yang
memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan
hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas,
terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI 1945. Lebih lanjut
Somantri (2001:154) mengemukakan bahwa:
“PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik
dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar
warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar
menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.”
Menurut
Branson (1999:4) civic education dalam demokrasi adalah pendidikan – untuk
mengembangkan dan memperkuat – dalam atau tentang pemerintahan otonom (self
government). Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa warga negara aktif
terlibat dalam pemerintahannya sendiri; mereka tidak hanya menerima didikte
orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain.
Beberapa
unsur yang terkait dengan pengembangan PKn, antara lain (Somantri, 2001:158):
a)
Hubungan
pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan
ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu.
b)
Kebudayaan
Indonesia dan tujuan pendidikan nasional.
c)
Disiplin
ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan.
d)
Disiplin
ilmu-ilmu sosial, khususnya “ide fundamental” Ilmu Kewarganegaraan.
e)
Dokumen
negara, khususnya Pancasila, UUD NRI 1945 dan perundangan negara serta sejarah
perjuangan bangsa.
f)
Kegiatan
dasar manusia.
g)
Pengertian
pendidikan IPS
Ketujuh
unsur inilah yang akan mempengaruhi pengembangan PKn. Karena pengembangan
pendidikan Kewarganegaraan akan mempengaruhi pengertian PKn sebgai salah satu
tujuan pendidikan IPS.
Sehubungan
dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS yang menekankan pada
nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik, maka
batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut (Somantri, 2001:159):
Pendidikan
Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial,
ilmu Kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia, yang
diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai
salah satu tujuanpendidikan IPS.Beberapa faktor yang lebih menjelaskan mengenai
Pendidikan Kewarganegaraan antara lain (Somantri, 2001:161):
a)
PKn
merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan
pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (intergrated) dari berbagai
disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama Pancasila, UUD NRI
1945, GBHN, dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan pada
hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara.
b)
PKn
adalah seleksi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora,
Pancasila, UUD NRI 1945 dan dokumen negara lainnya yang diorganisasikan dan
disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
c)
PKn
dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat jurusan PMPKN
FPIPS maupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah serta
perguruan tinggi.
d)
Dalam
mengembangkan dan melaksanakan PKn, kita harus berpikir secara integratif,
yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara hubungan pengetahuan intraseptif
(agama, nilai-nilai) dengan pengetahuan ekstraseptif (ilmu), kebudayaan
Indonesia, tujuan pendidikan nasional, Pancasila, UUD1945, GBHN, filsasat
pendidikan, psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin ilmu-ilmu
sosial dan humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas
unsur: (i) tujuan pendidikan, (ii) bahan pendidikan, (iii) metode pendidikan,
(iv) evaluasi.
e)
PKn
menitikberatkan pada kemampuan dan ketrampilan berpikir aktif warga negara,
terutama generasi muda, dalam menginternalisasikan nilai-nilai warga negara
yang baik (good citizen)dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah
kemasyarakatan (civic affairs).
f)
Dalam
kepustakan asing PKn sering disebut civic education, yang salah satu batasannya
ialah “seluruh kegiatan sekolah, rumah, dan masyarakat yang dapat menumbuhkan
demokrasi.
PKn
sebagai pendidikan nilai dapat membantu para siswa membantu siswa memilih
sistem nilai yang dipilihnya dan mengembangkan aspek afektif yang akan
ditampilkan dalam perilakunya. Seperti yang diungkapkan Al-Muchtar dalam Hand
Out Strategi Belajar Mengajar (2001:33), mengemukakan bahwa:
Pendidikan
nilai bertujuan untuk membantu perilaku peserta didik menumbuhkan dan
memperkuat sistem nilai dipilihnya untuk dijadikan dasar bagi penampilan
perilakunya. Pendidikan nilai bertumpu pada pengembangan sikap (afektif) oleh
karena itu berbeda dengan belajar mengajar dengan pendidikan kognitif atau
psikomotor. Pendidikan nilai secara formal di Indonesia diberikan pada mata
pelajaran PPKn yang merupakan pendidikan nilai Pancasila agar dapat menjadi
kepribadian yang fungsional.
2.3.
TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA
Dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional dan juga termuat dalam SK Dirjen Dikti. No. 43/DIKTI/KEP/2006,
dijelaskan bahwa tujuan materi pancasila dalam rambu-rambu pendidikan
kepribadian mengarahkan kepada moral yang diharapkan terwujud dalam kehidupan
sehari hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai golongan agama, kebudayaan
dan beraneka ragam kepentingan, memantabkan kepribadian mahasiswa agar sejarah
konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan
cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni dengan penuh rasa tanggung jawab dan bermoral.
Tujuan pendidikan diartikan sebagai
seperangkat tindakan intelektual penuh tanggung jawab yang berorientasi pada
kompetensi mahasiswa pada bidang profesi masing-masing. Kompetensi kelulusan
pendidikan pancasila adalah seperangkat tindakan intelektual, penuh tanggung
jawab sebagai seorag warga negara dalam memecahkan berbagai masalah dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan menerapkan pemikiran yang
berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Sifat intelektual tersebut tercermin pada
kemahairan, ketepatan dan keberhasilan bertindak, sedangkan sifat penuh
tanggung jawab diperlihatkan sebagai kebenaran tindakan ditilik dari aspek
iptek, etika ataupun kepatutan agama serta budaya.
Pendidikan Pancasila bertujuan untuk
menghasilkan peserta didik yang berperilaku, (1) memiliki kemampuan untuk
mengambil sikap yang bertanggungjawab sesuai dengan hati nuraninya, (2)
memiliki kemampuan untuk mengenali masalah hidup dan kesejahteraan serta
cara-cara pemecahannya, (3) mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni, serta
(4) memiliki kemampuan untuk memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai
budaya bangsa untuk menggalang persatuan bangsa Indonesia.
Melalui pendidikan Pancasila, warga Negara
Republik Indonesia diharapkan mampu memahami, menganalisis dan menjawab
masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsanya secara berkesinambungan
dan konsisten berdasarkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia.[5]
2.4.
KARAKTER BANGSA YANG BERSUMBER NILAI-NILAI PANCASILA
Pembudayaan
mempunyai arti setingkat lebih tinggi dari pemasyarakatan. Pemasyarakatan
adalah mensosialisikan kepada seluruh warga masyarakat tentang nilai-nilai yang
perlu diketahui, sekaligus berbagi maslah yang mungkin muncul dalam
melaksanakan nilai-nilai yang demikian fundamental bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Secara Etimologis, istilah kebudayaan
berasal dari sansekerta budhayah yang merupakan bentuk jamak buddhi yang
berarti budi atau akal, dengan demikian budaya berhubungan dengan budi atau
akal. Sedangkan menurut Koentjaningrat kebudayaan ialah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan melalui belajar.[6]
Pembudayaan nilai-nilai pancasila,
merupakan peningkatan secara kualitatif dari pemasyrakatan. Sehingga mencakup
pengertian yang dalam, karena tidak sekedar memahami belaka akan tetapi juga
harius dihayati dan diwujudkan dalam pengamalanya oleh setiap diri pribadi dan
seluruh lapisan masyarakat sehingga menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan,
mempertajam perasaan, meningkatkan daya tahan, daya tangkal daan daya saing
bangsa yang kesemuanya yang tercermin pada sikap tanggap dan sikap perilaku.[7]
Dari berbagai situasi dan
kondisi yang melanda bangsa Indonesia, maka perlu ada upaya kebudayaan
nilai-nilai luhur pancasila pada berbagai kelompok masyarakat baik kelompok
profesi seperti tenaga kerja, notaris, guru dan pengacara, kelompok fungsional
seperti wanita, pemuda dan sebagainya.
Sejalan dengan upaya demikian, diharapkan
akan terdapat penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur pancasila diberbagai
bidang kehidupan bagi setiap anggota masyarakat bahkan diharapkan pada setiap
warga masyarakat akan tumbuh jiwa kepemimpinan yang didasari, dijiwai dan
disemangati nilai-nilai Pancasila pada semua jenjang dan tingkat kehidupan.[8]
2.5. KARAKTER BANGSA INDONESIA YANG UNGGUL
BERDASARKAN NILAI-NILAI PANCASILA
Karakter adalah nilai-nilai yang khas-baik
(tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak
baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri. Karakter secara koheren
memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa
seseorang atau sekelompok orang.
Kepribadian itu selain
dipengaruhi oleh bawaan masing-masing individu, juga sangat dipengaruhi oleh
lingkungan masing-masing individu tersebut. Karakter bangsa Indonesia lahir
dari realitas bahwa bangsa Indonesia terbentuk oleh berbagai kelompok atau
keberagaman. Bhineka Tunggal Ika merupakan karakter kunci bangsa Indonesia.
Karakter ini berisikan komitmen dari berbagai kelompok atau keberagaman suku,
RAS, pemeluk agama dan golongan, untuk bergabung dang menjadi bagian dari banga
Indonesia. Komitmen itu diwujudkan kedalam nilai-nilai yang menjadi kesepakatan
bersama yaitu pancasila.
Bhinneka Tunggal Ika sangat tepat bagi
bangsa Indnesia yang sangat beragam. Prinsip Indonesia sebagai “ Negara
Bhinneka Tunggal Ika ” mencerminkan bahwa meskipun dalam realitanya Indonesia
memiliki sifat yang sangat hiterogen, baik dari aspek suku bangsa, ras, agama,
kebudayaan, adat istiadat dan lain-lain, tetapi tetap terintegrasi dalam
kemanunggalan, kesatuan-kesatuan tetap merupakan realias yang tidak berubah.
Karakter bangsa Indnesia akan menentukan perilaku kolektif kebangsaan Indonesia
yang khas-baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa dan
perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai luhur
Pancasila, UUD NKRI 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan
komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.[9]
Penerapan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus
1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, sebenarnya
merupakan deklarasi dari karakter bangsa Indonesia, atau dengan kata lain
merupakan deklarasi cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap
individu warga negara Indonesia untuk hidup bekerjasama, baik dalam lingkup
kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Karena dalam Pembukaan UUD 1945
(sekarang UUD NRI 1945) terkandung nilai-nilai luhur Pancasila. Penjabaran
nilai-nilai luhur Pancasila tersebut secara implementatif tertuang dalam
Pembukaan UUD Pembukaan UUD NKRI 1945. Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai
sila-sila Pancasila yang memiliki karakter kepejuangan, mengemban tugas
melindungi bangsa serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan dan
meningkatkan kecerdasan serta ikut aktif melaksanakan ketertiban dunia, serta
memiliki cita-cita bangsa yang mesti diwujudkan yaitu merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.[10]
Pendidikan yang dirancang untuk membangun
karakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila harus dapat
mensinergikan potensi empat pilar kecerdasan individu secara seimbang dan
bersamaan, yaitu: (1) kecerdasan intelektual, (2) kecerdasan spiritual, (3)
kecerdasan emosional, dan (4) kecerdasan sosial. Kecerdasan intelektual sering
disebut sebagai kecerdasan yang berdiri sendiri, pengertian cerdas pada
umumnya, atau lazim dikenal dengan IQ (intellegence quotion). Pendidikan
karakter secara hakiki mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu
orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga,
masyarakat dan bangsa. Sehingga, pendidikan karakter merupakan serangkaian cara
pembiasaan untuk hidup cerdas, baik cerdas secara intelektual, spiritual, emosional,
dan juga cerdas secara sosial. [11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Alasan mengapa pancasila
dijadikan sebagai dasar sistem politik indonesia karena sebagai dasar filsafat
negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber devariasi peraturan perundang-undangan,
melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungan dengan
legitimasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara atau sebagai sistem politik yang di anut Indonesia.
Sebagai
dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber peraturan
perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam
hubungannya dengan nila kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Sebagai
dasar negara, Pancasila dijadikan dasar atau landasan dalam menjalankan
perintah negara. Pancasila dalam hal ini tidak hanya sebagai suatu pemikiran
ilsafat dan dasar negara,melainkan berlanjut dalam bentuk gagasan yang
bertindak yang kita sebut ideologi. Ideologi ini tidak saja berkaitan dengan
kehidupan kenegaraan, melainkan juga kehidupan masyarakat. Dengan demikian
ideologi ini merupakan ideologi negara dan bangsa Indonesia, jadi merupakan
ideologi nasional.
Pembudayaan
nilai nilai pancasila, merupakan peningkatan secara kualitatif dari
pemasyrakatan. Sehingga mencakup pengertian yang dalam, karena tidak sekedar
memahami belaka akan tetapi juga harius dihayati dan diwujudkan dalam
pengamalanya oleh setiap diri pribadi dan seluruh lapisan masyarakat sehingga
menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan, mempertajam perasaan, meningkatkan daya
tahan, daya tangkal daan daya saing bangsa yang kesemuanya yang tercermin pada
sikap tanggap dan sikap perilaku.[12]
B. Saran
Seperti
yang kita ketahui, bahwa perjuangan dan pengorbanan para pahlawan kita dalam
mencetuskan pancasila bukanlah hal yang mudah, dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara di
jalankan asas legalitas yaitu di jalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, dijalankan
sesuai demokratis, dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral.
Pelaksanaan kekuasaan dan penegakan hukum di nilai bermoral jika selalu
dilandasi dengan nilai-nilai pancasila. Maka, kita sebagai generasi penerus
bangsa wajib menjaga nilai-nilai pancasila dan meneruskannya kepada generasi
setelah kita sebagai bukti penghormatan kita terhadap para pejuang-pejuang
bangsa Indonesia yang telah mengorbankan segalanya demi Indonesia semata.
[1] Kaelan, Pendidikan Pancasila
(Yogyakarta:Paradigma,2016), hlm. 1.
[2] Kaelan, Pendidikan Pancasila
(Yogyakarta:Paradigma,2016), hlm. 12.
[3] Kaelan, Pendidikan Pancasila
(Yogyakarta:Paradigma,2016), hlm. 14.
[4] Kaelan, Pendidikan Pancasila
(Yogyakarta:Paradigma,2016), hlm. 16.
[5] Kaelan, Pendidikan Pancasila
(Yogyakarta:Paradigma,2016), hlm. 6.
[6] Suko Wiyono,Reaktualisasi
Pamcasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Malang:Universitas
Wisnuwardhana Malang Press,2016), hlm. 121.
[7] Suko Wiyono,Reaktualisasi
Pamcasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Malang:Universitas
Wisnuwardhana Malang Press,2016), hlm. 122.
[8] Suko Wiyono, Reaktualisasi Pancasila
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Malang:Universitas Wisnuwardhana Malang
Press,2016), hlm. 123.
[9] Suko Wiyono, Reaktualisasi Pancasila
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Malang:Universitas Wisnuwardhana
Malang Press,2016), hlm.127
[10] Suko Wiyono, Reaktualisasi Pancasila
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Malang:Universitas Wisnuwardhana
Malang Press,2016), hlm 127
[11] Suko Wiyono, Reaktualisasi Pancasila
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Malang:Universitas Wisnuwardhana
Malang Press,2016), hlm. 129
Belum ada Komentar untuk "PANCASILA: CIVIC EDUCATION DALAM MASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA"
Posting Komentar
Tinggalkan komentar terbaik Anda...